Artinya, " Apabila seorang Muslim mati, iringilah jenazahnya" [HR. Muslim]. Dalam mengiringi jenazah ada beberapa adab tertentu yang hendaknya diperhatikan sebagaimana dinasihatkan Imam al-Ghazali dalam risalahnya berjudul Al-Adab fid Din dalam Majmu'ah Rasail al-Imam al-Ghazali (Kairo, Al-Maktabah At-Taufiqiyyah, halaman 438), sebagai berikut:
loading...Mengingat kematian akan menimbulkan rasa tidak suka terhadap dunia yang sarat dengan tipu daya, dan mendorong seseorang untuk mempersiapkan diri untuk kehidupan Akhirat. Foto/Ist Kematian adalah sesuatu yang pasti dan semua makhluk akan mengalaminya, tidak terkecuali manusia. Dalam Buku "Di balik Tabir Kematian" karya Imam Al-Ghazali disebutkan beberapa keutamaan mengingat kematian dalam setiap Islam, Imam Al-Ghozali wafat Tahun 505 Hijriyah atau 1111 M menukil beberapa pesan Nabi Muhammad sholallahu 'alaihi wasallam dalam Hadis. Beliau bersabdaأكثروا من ذكر هاذم اللذاتArtinya "Sering-seringlah mengingat sesuatu yang merusak kelezatan-kelezatan." HR At-TirmidziMaksudnya, rusaklah kenikmatan-kenikmatan dengan cara mengingat kematian, sehingga terhentilah kecenderungan kalian kepadanya, lalu kalian fokus menghadap Allah Ta' SAW juga bersabdaلو تعلمو البهائم من الموت ما يعلم ابن ادم ما أكلتم منها سميناArtinya "Seandainya binatang-binatang ternak tahu seperti yang diketahui oleh anak cucu Adam tentang maut, niscaya kalian tidak akan tega memakan yang sangat gemuk daripadanya." HR Al-BaihaqiSayyidah Aisyah radhiyallahu 'anha bertanya "Wahai Rasulullah, apakah ada orang yang akan dikumpulkan bersama para syuhada?" Beliau bersabda "Ya, ada. Yaitu orang yang ingat mati sebanyak dua puluh kali sehari semalam."Alasan keutamaannya adalah, karena mengingat kematian otomatis akan menimbulkan rasa tidak suka terhadap dunia yang sarat dengan tipu daya, dan mendorong seseorang untuk mempersiapkan diri untuk kehidupan Akhirat. Sebaliknya, lalai dari mengingat kematian akan mendorongnya untuk tenggelam dalam kesenangan duniawi. Rasulullah SAW bersabdaتحفة المؤمنين الموتArtinya "Kematian adalah hadiah yang sangat berharga bagi orang yang beriman." HR Ibnu Abu Dun-ya dan ath-ThabraniBeliau bersabda seperti itu karena dunia memang penjara bagi orang yang beriman. Di dalam dunia, ia selalu berada dalam kesulitan karena harus mengalami kerasnya siksaan batin, melatih diri untuk menaklukkan keinginan-keinginan nafsunya, dan melawan setan. Kematian akan membebaskannya dari siksaan tersebut. Jadi, baginya itu jelas merupakan hadiah yang sangat SAW juga berpesan yang artinya "Kematian adalah kaffarat tebusan bagi setiap muslim."Menurut Nabi, seorang muslim sejati dan seorang mukmin yang hakiki adalah yang tidak menyakiti kaum muslimin dengan lisan maupun dengan tangannya. Hal itu terwujud dalam akhlak orang-orang mukmin yang belum tercemari oleh kemaksiatan-kemaksiatan, kecuali sebatas dosa-dosa paling kecil dan remeh. Kematian akan membersihkannya dari dosa-dosa seperti itu. Kematian juga menjadi tebusan baginya jika ia menjauhi dosa-dosa besar dan mengerjakan amalan-amalan yang diwajibkan oleh syariat. Baca Juga Wallahu A'lam rhs
Merekaberada di peringkat pertama dalam hal selalu hadirnya bayangan kematian dan nihilnya angan kehidupan. Mereka adalah golongan yang tidak memiliki angan-angan kehidupan duniawi sama sekali. Kedua, orang-orang shaleh. Mereka memiliki angan-angan kehidupan duniawi yang minim, sehingga tidak sampai menyebabkan lalai dari urusan akhirat.
Setiap yang bernyawa pasti akan mati. Tidak dipungkiri lagi bahwa kita hanyalah menunggu waktu untuk kembali kepada Sang Pencipta, tanpa tahu kapan hal itu akan terjadi, di mana kita akan mati dan bagaimana kita mati. Semua merupakan rahasia Illahi yang tidak akan pernah diketahui oleh manusia. Kematian merupakan suatu hal yang mutlak akan dihadapi makhluk hidup di dunia. Bila telah digariskan waktunya, siapapun, kapanpun, dan dimanapun kematian akan tetap menjemput. Sebagaimana firman Allah SWT berikut ini “Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang hari kiamat; dan Dialah Yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui dengan pasti apa yang akan diusahakannya besok. Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” QS. Luqman 34. BACA JUGA Tidak Ada Hal Gaib yang Lebih Engkau Sukai daripada Kematian Hanya saja dengan bekal keimanan dan ketakwaannya, sesorang bisa saja lebih peka terhadap tanda-tanda kematian yang akan mendatanginya. Sebagaimana Imam Al-Ghazali yang diriwayatkan telah mengetahui tanda-tanda akan datangnya kematian sehingga beliaupun mempersiapkan diri dalam menghadapi sakaratul maut. Termasuk dengan mandi, berwudlu dan mengenakan kain kafan hingga sebatas tubuhnya karena untuk bagian kepala beliau meminta bantuan kakaknya, yaitu Imam Ahmad. Hingga akhirnya beliau wafat ketika sang kakak mengkafani bagian wajahnya. Adapun tanda-tanda akan datangnya kematian menurut Imam Al-Ghazali adalah seperti berikut ini 1 Tanda-tanda kematian 100 hari Pertama Tanda kematian di 100 hari sebelum ajal menjadi peringatan bagi hamba yang dikehendaki-Nya. Karena pada dasarnya semua umat muslim akan merasakan tanda ini, hanya saja kemungkinan ada yang menyadari sebagai tanda kematian namun ada pula yang mungkin mengabaikannya. Adapun tandanya lazim terjadi setelah waktu Asar, dimana seluruh tubuh dari ujung rambut hingga ujung kaki seolah bergetar hingga menggigil. Bagi mereka yang menyadari tanda ini tentu akan memanfaatkan waktu hidupnya dengan sebaik mungkin untuk mencari bekal yang akan dibawa mati nanti. 2 Tanda Kedua 40 hari sebelum kematian Tanda kematian di 40 hari sebelum ajal lazim terjadi setelah waktu Asar, dimana pada bagian pusat akan terasa berdenyut. Selain itu diriwayatkan pula bahwa sebelum ajal menjemput telinga terasa berdengung secara terus menerus. 3 Tanda Ketiga Tujuh hari sebelum kematian Pada orang yang tengah sakit keras, pada hari ke-tujuh menjelang kematian selera makan justru meningkat sehingga ingin menikmati makanan tertentu sesuai keinginannya. BACA JUGA Stop Menghujat! Sungguh Lisan Anda Itu Bisa Menghidupkan dan Mematikan 4 Tanda Keempat 3 hari sebelum kematian Lazim dirasakan adanya denyutan pada tengah dahi, nafsu makan menurun atau bahkan tidak mau makan. Mata akan terlihat memudar sehingga tidak lagi bersinar, hidung perlahan turun, telinga terlihat layu dan telapak kaki sukar ditegakkan. 5 Tanda Kelima 1 hari sebelum kematian Sesudah waktu Asar, akan terasa sebuah denyutan pada bagian ubun-ubun sebagai pertanda bahwa tidak akan menemui waktu Asar di keesokan harinya. 6 Tanda akhir dimana kematian telah datang Akan terasa dingin di bagian pusat hingga turun ke pinggang selanjutnya menjalar naik ke bagian halkum, sehingga harus senantiasa berdzikir dan mengucapkan kalimat syahadat secara terus menerus sampai malaikat maut menghampiri dan menjemput ruh untuk kembali kepada Allah yang memilikinya. Lalu bagaimana dengan kematian mendadak yang sering terjadi di sekitar kita? Ada kalanya kita masih menjumpai sanak saudara atau tetangga di pagi hari, namun ternyata di sore hari mereka sudah berpulang, entah karena mengalami musibah atau bahkan dalam keadaan yang tidak sakit sedikitpun. Tentu semua adalah ketentuan dari Allah Yang memberikan kehidupan dan kemudian mewafatkan. Manusia sedikit pun tidak memiliki daya upaya untuk menghindar atau menunda terjadinya kematian. Allah SWT berfirman “Tiap-tiap umat mempunyai batas waktu; maka apabila telah datang waktunya mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaat pun dan tidak dapat pula memajukannya.” QS. Al-A’raf 34. BACA JUGA Apakah Jin Mengalami Kematian? Kematian mendadak tentu menjadi fenomena yang patut diwaspadai agar tidak menimbulkan penyesalan di alam kubur nanti. Dalam beberapa riwayat, banyaknya kematian mendadak merupakan tanda akhir zaman yang ternyata sudah sering kita temui saat ini. Sudah sepatutnya bagi kita untuk senantiasa mempersiapkan diri menghadapi kematian kapanpun ajal menjemput. Berserah diri kepada Allah dan memanfaatkan waktu yang tersisa dengan sebaik-baiknya melalui peningkatan keimanan maupun ketakwaan serta akhlak yang lebih baik lagi akan menjadikan kita lebih tenang dan damai dalam menghadapi kematian. Dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu, Rasulullah SAW bersabda “Kematian mendadak adalah keringanan terhadap seorang mukmin, dan siksaan yang membawa penyesalan terhadap orang kafir.” HR. Ath-Tabrani. Wallahualam. [] SUMBER TONGKRONGANISLAMI Halitu senada dengan apa yang dinyatakan oleh Imam Al Ghazali dalam Ihya' Ulumuddin bahwa kematian bukan sekedar sesuatu yang menakutkan, namun di dalamnya terdapat potensi yang bisa menjerumuskan manusia ke dalam bahaya. Potensi bahaya itu akan muncul jika manusia tidak pernah memikirkan sedikit pun tentang hakikat kematian itu sendiri. This article talk about maqāṣid al-Qur’ān on exegesis worked by Syaikh Ihsan Jampes, aspecially toward some verses at book of Sirāj aṭ-Ṭālibῑn vol. II. For that, there are three question should be answer; about the type of Quranic-exegesis, the operational process of Maqasid Alquran, and finally the main theme of Maqasid Alquran on the book of Sirāj aṭ-Ṭālibῑn vol. II. So, by using study of library-research and descriptive-analysis writing, otomatically the researcher make those verses as object of material and the book as primary-object soon the other books as secondary, such as book of Jawāhir al-Qur’ān worked by al-Ghazali. The results of this research are; firstly, the book of Sirāj al-Ṭālibῑn use type of tafsir isyari just to explain the majority exegesis of those verses within. Secondly, by modelling of maqāṣid al-Qur’ān arranged by al-Ghazali, the researcher find at least 80 main-verses on the book of Sirāj al-Ṭālibῑn, which is talking about knowing of Allah and the prophectic-wisdom are more dominate themes than about life of mankind. Thirdly, the implication of those, there are two big groups of maqāṣid following maqāṣid al-Qur’ān of al-Ghazali; monotheism-escatology, and wellnes during other themes such as morality, wisdom, islamology, and properiousity of mankind. Four of these big themes bring to some understanding that the main maqāṣid al-Qur’ān on the book of Sirāj aṭ-Ṭālibῑn is the wellness kemaslahatan on the world and hereafter for all mankind. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free Cholid Ma’arif QOF, Vol. 4, No. 1, 2020 57 MAQĀṢID ALQUR’ĀN AL-GHAZALI DALAM KITAB SIRĀJ AŢ-ṬĀLIBĪN KARYA SYEKH IHSAN AL-JAMPESI Cholid Ma`arif UNU Blitar cholidmaarif Abstract This article talk about maqāṣid al-Qur’ān on exegesis worked by Syaikh Ihsan Jampes, aspecially toward some verses at book of Sirāj aṭ-Ṭālibῑn vol. II. For that, there are three question should be answer; about the type of Quranic-exegesis, the operational process of Maqasid Alquran, and finally the main theme of Maqasid Alquran on the book of Sirāj aṭ-Ṭālibῑn vol. II. So, by using study of library-research and descriptive-analysis writing, otomatically the researcher make those verses as object of material and the book as primary-object soon the other books as secondary, such as book of Jawāhir al-Qur’ān worked by al-Ghazali. The results of this research are; firstly, the book of Sirāj al-Ṭālibῑn use type of tafsir isyari just to explain the majority exegesis of those verses within. Secondly, by modelling of maqāṣid al-Qur’ān arranged by al-Ghazali, the researcher find at least 80 main-verses on the book of Sirāj al-Ṭālibῑn, which is talking about knowing of Allah and the prophectic-wisdom are more dominate themes than about life of mankind. Thirdly, the implication of those, there are two big groups of maqāṣid following maqāṣid al-Qur’ān of al-Ghazali; monotheism-escatology, and wellnes during other themes such as morality, wisdom, islamology, and properiousity of mankind. Four of these big themes bring to some understanding that the main maqāṣid al-Qur’ān on the book of Sirāj aṭ-Ṭālibῑn is the wellness kemaslahatan on the world and hereafter for all mankind. Keywords Maqāṣid al-Qur’ān, exegesis, verses, maslahah Abstrak Penelitian ini menyoroti aspek maqāṣid al-Qur’ān dalam penafsiran Syekh Ihsan al-Jampesi terhadap ayat-ayat dalam kitab Sirāj aṭ-Ṭālibῑn Juz II. Untuk itu setidaknya akan menempuh tiga rumusan masalah yang diajukan, yaitu tentang corak penafsiran, proses operasionalisasi maqasid Alquran, dan terakhir kandungan pokok maqasid Alquran dalam kitab tersebut. Sehingga studi ini dilakukan dengan menggunakan analisis kepustakaan bercirikan deskriptif-analitis terhadap teks berupa ayat-ayat al-Qur’an dalam kitab tersebut sebagai objek material. Sehingga kitab itu sendiri digunakan sebagai sumber primer, dan didukung dengan sumber sekunder utama yaitu kitab Jawāhir al-Qur’ān karya al-Ghazali. Hasil penelitian yang didapat adalah sebagai berikut Pertama; format penafsiran ayat al-Qur’an dengan corak tafsir isyari sufi akhlaqiy nampak mendominasi pensyarahan Syekh Ihsan dalam kitab Sirāj al-Ṭālibῑn, Kedua; temuan pertama tersebut ditunjukkan dengan model operasional maqāṣid al-Qur’ān al-Ghazali untuk menganalisa delapan 80 ayat utama dalam kitab Sirāj al-Ṭālibῑn, dimana ayat tentang mengenal Allah dan hikmah kenabian lebih dominan daripada ayat mengenai kehidupan di dunia. Ketiga; Implikasi terdapat dua kelompok besar maqāṣid yaitu ketauhidan yang meliputi tema ketuhanan dan eskatologi, serta kemaslahatan yang meliputi lebih banyak tema yaitu akhlak, hikmah, islamologi, dan kemakmuran. Domain empat tema besar ini mengantarkan pada pemahaman bahwa maqāṣid al-Qur’ān dalam kitab Sirāj aṭ-Ṭālibῑn tidak lain adalah kemaslahatan di dunia dan akhirat. Kata kunci Maqāṣid al-Qur’ān, tafsir, ayat, maslahah. PENDAHULUAN Konsep maqasid pertama kali dicetuskan oleh al-Juwaini w. 478 dalam kitab al-Burhân. Kemudian al-Ghazali w. 505 H, al-Āmidi w. 631 H, Izuddin Abdussalam w. 660 H, al-Razi w. 606 H, dan al-Shatibi w. 790 H, menyusul kemudian Muhammad Thaha Ibnu Asyur. Meskipun demikian, istilah tersebut belum menjadi sebuah disiplin ilmu tersendiri, karena mereka hanya Cholid Ma’arif 58 QOF, Vol. 4, No. 1, 2020 sekilas menyebutkan istilah tersebut dan belum berorientasi dalam proses penafsiran al-Qur’ tawaran di antara mereka adalah jika al-Juwaini dipandang sebagai peletak maqasid secara umum, lalu al-Ghazali menguatkannya dengan basis teologis, al-Syatibi berbasis linguistik-teologis, dan al-Razi sebagai perintis maqasid dalam penafsiran, sedangkan Ibn Asyur selangkah lebih maju dengan mengkonstruk bangun tafsir maqasidi dengan konsep maṣlaḥat al-âmmah dan al-khâşşah yang lebih peka pada isu kontemporer. Dalam rumpun konsep yang sama, sejarah khazanah Islam di Indonesia sendiri juga telah bermunculan para tokoh maqasid dan fuqaha di bidang syariah bahkan sejak abad ke-17. Hal ini salah satunya nampak pada rumusan formulasi hukum Islam dengan realitas yang tidak taklid seutuhnya pada Jazirah Arab sebagai pusat kelahiran Islam, namun bercirikan Nusantara. Asumsi yang hendak penulis tawarkan dari fakta tersebut adalah peluang yang sama pasti juga terjadi pada bangun keilmuan lain, termasuk bidang maqasid Al-Qur’an yang masih dalam cakupan paradigma tafsir Nusantara. Satu diantaranya karya klasik yang mengandung praktik maqasid Al-Qur’an adalah kitab Sirāj al-Ṭālibῑn karya Syeikh Ihsan al Jampesi Kediri. Kitab ini merupakan syarah dari kitab Minhāj al-Ābidῑn karya Imam Ahmad Abu Hamid al Ghazali w. 1111. Walaupun populer sebagai sebuah karya monumental Nusantara di bidang tasawuf, namun di dalamnya Syeikh Ihsan juga melakukan pengutipan baik secara langsung maupun tidak langsung, seperti modifikasi atas inisiatifnya terhadap beberapa ayat Al-Qur’an.. Pendekatan Maqāşid Alqur’ān dipilih karena implikasi hikmah dan rahasia yang akan tergali dari konsep suatu ayat diyakini mampu mengungkap nilai-nilai universal secara global. Hal yang menarik untuk dipedomani adalah ungkapan al-Shatibi yang mengatakan bahwa maqasid adalah ruhnya segala tindakan. Ungkapan ini tidak terbatas pada maqasid pelaku maupun tindakannya itu sendiri, melainkan meliputi semua aspek; sebagaimana ruhnya Al-Qur’an adalah maqasid, ruhnya Sunnah adalah maqasid, ruhnya hukum-hukum syariat adalah maqasid-nya, bahkan ruh beragama terletak pada maqasidnya sejauh bagaimana seseorang mampu mewujudkannya. Pertanyaan yang hendak dijawab dalam penelitian ini adalah; apa corak tafsir Alquran yang digunakan oleh Syaikh Ihsan dalam syarahnya kitab Sirāj aṭ-Ṭālibῑn. Lalu, bagaimanakah jejak maqasid Alquran al-Ghazali dalam kitab karyanya yang kemudian disyarahi oleh Syaikh Ihsan Jampes. Terakhir, apa kandungan pokok maqasid Alquran dalam penafsiran ayat-ayat Alquran di dalamnya. Praktis, kitab Sirāj aṭ-Ṭālibῑn menjadi sumber primer, sedangkan sumber sekundernya adalah kitab Jawahir Al-Qur’an karya al Ghazali, yang sekaligus menjadi rujukan teoritisasi penggalian makna ayat-ayat dalam karya Syekh Ihsan. Kajian terhadap masterpiece karya Syaikh Ihsan ini tentu bukan yang pertama kali. Moh. Bakir, “Konsep Maqasid Alquran Perspektif Badi’ al-Zaman Sa’id Nursi”, Jurnal el-Furqonia, 1 2015, 4. Jabbar Sabil, “Dinamika Teori Maqasid”, Jurnal Ilmiah Islam Futura, 2 2011, 41. Dapat disebutkan beberapa diantara mereka adalah Nuruddin ar-Raniry w. 1658 M dengan karya monumentalnya Ṣirāṭ al-Mustaqῑm, Syeikh Abdurrauf as-Singkili w. 1615 M dengan kitabnya Mir’āt al-Ṭullāb, Syekh Arsyad al-Banjari, Syeikh Nawawi al-Bantani, hingga Munawir Sadzali, KH Ali Yafie, dan lainnya. Lihat, Mursyid Jawwas, “Jejak Maqashid al-Syariah Di Nusantara Melacak Fuqahā Berbasis Maqashid al-Syari’ah dan Hasil Ijtihadnya”, Conference Proceedings – ARICIS I, 155. Moh. Arifin, Moh. Asif, “Penafsiran al-Qur`an KH. Ihsan Jampes; Studi Intertekstualitas Dalam Kitab Sirāj al-Ṭālibīn, Jurnal al-Itqon, 2 2015, 63. Ahmad al Raysuni, Maqasid al Maqasid al Ghayat al Ilmiyyah wa al Amaliyyah li Maqasid al Shari’ah Beirut al Shabakah al Arabiyyah li al Abhath wa al Nashr, 2013, ii. Cholid Ma’arif QOF, Vol. 4, No. 1, 2020 59 Beberapa penelitian terdahulu mengenai yang menjadikan kitab ini sebagai objek diantaranya adalah a “Al-Harâkah al-Fikriyyah wa al-Turath inda al-Shaikh Ihsan Jampes Kediri Mulahazah Tamhidiyyah” yang ditulis oleh Ahmad Barizi dalam Jurnal Studia Islamica vol. 11, No. 3, tahun 2004 ini memuat pemikiran tasawuf Kiai Ihsan Jampes; b “Penafsiran Al-Qur’an KH. Ihsan Jampes; Studi Intertektualitas dalam Kitab Siraj al-Talibin oleh Moch. Arifin mahasiswa STAI Al-Anwar Sarang-Rembang dalam jurnal Studi Al-Qur’an, Al- Itqan vol. 1, No. 2, Juli-Desember 2015 ini memuat corak dan karakteristik penafsiran Kiai Ihsan Jampes dalam kitab Siraj al-Talibin; Berikutnya adalah; c Buku seri disertasi berjudul “Tasawuf Nusantara Kiai Ihsan Jampes; Menggapai Jalan Ma’rifat, Menjaga Harmoni Umat Telaah Terhadap Pemikiran Tasawuf Kiai Ihsan Jampes” oleh Dr. Wasid SS dari UIN Sunan Ampel Surabaya ini membahas mengenai pemikiran tasawuf Kiai Ihsan Jampes ditinjau dari kondisi sosio-historis; d lalu skripsi berjudul “Interpretasi Sufistik Hadis Tentang Ru’yatullah Fi al-Akhirah Dalam Pandangan Ulama Nusantara Studi Kitab Siraj al-Talibin Karya Kiai Ihsan Jampes oleh Rofiatul Adamiyah pada Program Jurusan Ilmu Hadis Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Sunan Ampel pada tahun 2018. Dengan demikian, menurut penulis, kajian maqasid Al-Qur’an yang memfokuskan pada objek kitab yang sama yaitu Siraj al-Talibin belum pernah dilakukan sebelumnya. MAQASID AL-QUR’AN AL-GHAZALI Istilah “maqāṣid” berasal dari lafaz “qa-ṣa-da”, yang mempunyai perubahan bentuk morfologi seperti “al-qaṣdu, al-maqṣad, al-qāṣid, al-maqāṣid, al-iqtiṣād”, dan lainnya. Menurut Ibn Jinni, asal kata “maqṣad” adalah rangkaian huruf “q-ṣ-d”, yang dalam tradisi lisan bangsa Arab berarti niat al-i`tizām, orientasi at-tawajjuh, fokus an-nuhūd, bergerak maju an-nuhūḍ menuju sesuatu titik atau demikian, secara ringkas dapat dipahami bahwa maqasid adalah langkah utama menuju suatu tujuan inti tanpa adanya penyimpangan arah. Secara terminologis, “maqṣad” berarti tujuan dan sasaran. Lebih lengkapnya adalah tujuan dan sasaran yang dikehendaki oleh Pembuat Syariat dalam pensyariatan hukum-hukum bagi manusia. Beberapa persamaan kata dari lafaz maqāṣid’ yang sering digunakan di kalangan ahli fikih dan uṣūl adalah sasaran al-ahdāf, tujuan al-ghāyāt, target al-aghrāḍ, hikmah al-ḥikam, makna al-ma`āni, dan rahasia al-asrār. Diantara sekian sinonimitas tersebut, penulis memfokuskan pada kata yang bermakna hikmah. Hal ini untuk menyelaraskan objek penelitian yaitu kajian kitab bernuansa tasawuf. Pengertian maqasid Al-Qur’an dalam sejarahnya disinggung pertama kali oleh `Izzudin ibn `Abdussalam. Yaitu kebanyakan maqasid Al-Qur’an ialah suatu hal yang berkaitan dengan kemaslahatan dan sebab-sebabnya, sebaliknya juga konsekuensi dari tindakan yang menimbulkan kerusakan dan sebab-sebabnya. Pemahaman ini ia dasarkan pada asumsi bahwa di dalam Al-Qur’an tidak lain terdapat perintah untuk berbuat kebaikan karena dapat menarik kemaslahatan dan larangan berbuat keburukan yang dapat menolak kerusakan. Secara lebih radikal, al Raysuni berangkat dari pengertiannya bahwa tafsir an-nuṣūṣ tekstual sebagai proses digalinya hukum-hukum dengan menghadirkan makna-makna, hikmah, dan kemaslahatan yang berlaku atas syara’ dengan selalu mewujudkan dan merealisasikannya. Hal Abdul Karim Hamidiy, Madkhal Ila Maqasid al-Qur’an. Riyadh Maktabah al-Rusyd, 2007, 18 Hamidiy, Madkhal Ila Maqasid, 20. Cholid Ma’arif 60 QOF, Vol. 4, No. 1, 2020 itu diakuinya dapat dilakukan dengan memberlakukan dampak kemaslahatannya dalam memahami nash dan mengarahkan kecenderungannya dalam penggalian hukum, walaupun harus mengubah nash dari makna lahirnya. Karena masih dimungkinkan untuk dibatasi atau dikhususkan atau diumumkan lafadz lahirnya. Poin penting dalam hal ini adalah takaran kemaslahatan yang dihadapi nash untuk sedapatnya mengungkap maqasid umum Alquran, sedikitnya ada dua cara yang harus ditempuh. Pertama, mengetahui tujuan, karakter, dan `ilat yang muncul pada nash Alquran itu sendiri, berikut latar belakangnya, serta pengaruh dan faedah bagi yang membaca dan mengikutinya, tanpa lagi membutuhkan tafsir dan syarah. Kedua, membuktikan kandungan dan hukum-hukumnya yang terperinci, menggali unsur-unsur yang berkaitan keseluruhannya dan memfokuskan saripatinya. Kedua langkah tersebut juga didasarkan pada maqsad diturunkannya Alquran, yaitu sebagai petunjuk terhadap makhluk, kemaslahatan manusia, dan kelestarian diantara faedah maqasid Alquran adalah penjelasan Alquran secara global seperti mengenai hikmah diutusnya Sang Rasul, diturunkannya kitab-kitab, penjelasan tentang ketauhidan dan hukum, ketaklifan dan keistimewaannya, hingga tentang dibangkitkannya para makhluk di kehidupan setelah mati nantinya. Beberapa catatan tersebut dilandaskan pada ayat-ayat yang mengandung maqasidi, seperti tentang tujuan penciptaan untuk ibadah menyembah dan mengabdi hanya kepada Allah,asal muasal penciptaan dan tujuan kembalinya para makhluk,serta keterkaitan antara Alquran sebagai kitab suci Petunjuk bagi orang-orang yang bagian ini, al Raysuni menyebutnya sebagai langkah Alquran berbicara mengenai maqasidnya ia pemahaman melalui penggalian makna ayat tanpa membutuhkan penjelasan dan keterangan lainnya. Termasuk dalam maqasid bagian ini adalah mampu dirumuskannya tujuan atau partikularitas syariah yang lima yaitu penjagaan dan pemeliharaan jiwa, agama, akal, keturunan, dan sini diketahui kontribusi pendekatan maqasidi dalam penafsiran Al-Qur’an. Salah satunya bahwa pandangan maqāşid Alqur’ān yang holistik mampu memperluas cakupan obyek ayat. Dari yang sebelumnya terfokus pada ayat-ayat ahkām menjadi hampir keseluruhan ayat baik itu tematik tentang keimanan, eskatologis, maupun kisah-kisah dalam Al-Qur’an. Metode ini dikembangkan dari pemahaman ayat-ayat Al-Qur’an dalam bentuk tema-tema, prinsip-prinsip, dan nilai-nilai dominan yang didasari pada sebuah persepsi tentang Al-Qur’an sebagai sesuatu kesatuan yang berintegrasi. Imam al-Ghazali w. 505/ 1111 M kemudian mengembangkan interpretasi tersebut dengan berbasis kemaslahatan yang dikenal kemudian dengan konsep tujuan-tujuan syariah maqāṣid al-sharῑ`ah. Di dalamnya terkandung prinsip-prinsip yang lima kulliyyah al-khams, Muḥammad Naṣif al-`Aṣri, Al-Fikr al-Maqāṣidi `Inda al-Imām Mālik wa `Alāqatuhu bi al-Munādhirāt al-Uṣūliyyah wa al-Fiqhiyyah fi al-Qarni al-Tsani al-Hijri, Kairo Markaz at Turaz al Tsaqafi al Maghribi, 2008, 171. Muḥammad Naṣif al-`Aṣri, Al-Fikr al-Maqāṣidi., 25. al-Ḥāmidiy, Madkhal , 29. QS. Adz-Dzāriyat 56. Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah kepada-Ku. QS. Al-Mukminun 115. Maka Apakah kamu mengira, bahwa Sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main saja, dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada kami? QS. Al-Isra’ 9. Sesungguhnya Al Quran ini memberikan petunjuk kepada jalan yang lebih Lurus QS. Al Baqarah 2. ..; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa. Al-Raysūniy, Maqāṣid al-Maqāṣid., 4. Al-Khādimiy, Al- Ijtihād al-Maqāṣidiy,. 70. Jaser Audah, Al Maqasid Untuk Pemula, terj. Ali Abdelmon’im Yogyakarta Suka Press, 2013, 82 . Cholid Ma’arif QOF, Vol. 4, No. 1, 2020 61 yaitu pemeliharaan jiwa ḥifzh al-nafs, agama ḥifzh al-dῑn, akal pikiran hifzh al-`aql, kehormatan hifzh al-`irdh, dan harta hifzh al-māl. Dalam versi lain, salah satu dari poin diatas tergantikan dengan prinsip pemeliharaan keturunan hifz al-nasl. Kemunculan maqasid al-syariah yang lima tersebut tidak bisa dilepaskan dari maqasid Al-Qur’an yang sebenarnya lebih dulu ia rumuskan. Bahwa dalam pendahuluan karyanya, ia menginformasikan tiga pokok pembahasan kitab Jawāhir al-Qur’ān. Yaitu terdiri dari al-muqaddimāt, al-maqāṣid, dan bagian pertama pembahasan tentang pembagian secara garis besar atau pengantar al-muqaddimāt, bagian kedua pembahasan tentang maqasid utama atau dengan istilah al-Ghazali yaitu al-Jawāhir sebagaimana penyebutan nama kitab, dan terakhir lebih pada lampiran-lampiran ayat dengan kategori dimaksud. Adapun pembagian al Ghazali terhadap maqāṣid Al-Qur’an menjadi enam bagian. Tiga bagian pertama disebut dengan ”Maqṣad Pokok Penting” al-Uṣūl al-Muhimmah dan tiga terakhir lagi namakan “Maqṣad Pendukung Penyempurna” at-Tawābi` al-Mutimmah.Struktur Maqṣad Pokok yang Penting terdiri atas tiga tema 1 mengenalkan Dzat Yang Disembah ta`rῑf al-mad`ū ilaih, 2 menjelaskan jalan yang lurus untuk menuju sulūk kepada Tuhan ta`rῑf al-ṣirāṭ al-mustaqῑm li sulūki ilaihi, dan 3 menerangkan keadaan ketika manusia di akhirat ta`rῑf al-wuṣūl ilaihi. Sedangkan struktur Maqṣad Pendukung Penyempurna juga terdiri dari tiga tema 1 menguraikan keadaan para sālik orang yang taat pada Allah dan para nākib orang yang ingkar pada Allah atau sebagai motivasi at-tarġῑb dan kewaspadaan at-tarhῑb, 2 menceritakan kisah keadaan para penentang dan cara membantahnya ḥikāyah aḥwāl al-jāḥidῑn wa kaṣfu juhulihim, dan 3 menunjukkan pemahaman cara hidup di dunia sebagai bekal dan persiapan akhirat ta`rῑf `imārah manāzil aṭ-ṭarῑq li-isti`dād wa zād. Diantara keenam bagian maqasid Al-Qur’an menurut al-Ghazali tersebut, maqsad terakhir adalah paling mendekati aspek maqasid kemaslahatan. Karena di dalamnya terdapat pembahasan sebab-sebab menjaga kemaslahatan. Diantaranya seperti makan-minum dalam rangka memelihara badan dan menikah untuk menjaga keturunan. Jadi diciptakannya makanan untuk menjaga kehidupan dan perempuan untuk kepentingan biologis merupakan kebutuhan fitrah manusia yang haus diarahkan sesuai tujuannya yaitu menggapai sulūk keridhaan Allah swt, agar tidak terjadi perebutan dengan saling membunuh antar sesama manusia yang mengarah pada kerusakan. Diketahui bahwa bagian inti maqasid disini merupakan rangkaian dari pengembangan bagian al-muqaddimāt. Dimana pada akhir pembahasan tersebut, al Ghazali memerinci kembali pokok enam maqasid menjadi sepuluh kata kunci, yaitu 1 tentang Dzat Allah; 2 Sifat Allah; 3 Af`āl Allah; 4 tentang Akhirat; 5 Ṣirāṭ al-Mustaqῑm; 6 Penyucian hati; 7 kisah para Wali; 8 kisah para musuh Allah; 9 Bantahan terhadap kafir; dan 10 pada sepuluh kata kunci tersebut yang dinamai dengan ilmu-ilmu keagamaan, al Ghazali kembali mengelompokkannya menjadi tiga bagian besar, yaitu 1 ilmu al-ṣadāf kerang, dan 2 ilmu al-jawhar permata dan al-lubāb saripati.Pada level kerang akan didapati beberapa ilmu yang Muḥammad Naṣif al-`Aṣri, Al-Fikr al-Maqāṣidi, 130. Imam Abu al-Ḥāmid al-Ghazāli, Jawāhir al-Qur’ān, 14. al-Ghazāli, Jawāhir al-Qur’ān, 23. al-Ghazāli, Jawāhir al-Qur’ān, 24. al-Ghazāli, Jawāhir al-Qur’ān, 33. al-Ghazāli, Jawāhir al-Qur’ān, 34. al-Ghazāli, Jawāhir al-Qur’ān , 35. Cholid Ma’arif 62 QOF, Vol. 4, No. 1, 2020 mengantarkan perkenalan pada Al-Qur’an, seperti ilmu bahasa, ilmu, nahwu, qiraat, fonologi, dan lain sebagainya. Adapun pada level saripati dibagi menjadi dua tingkatan, yaitu tingkat terendah dan tingkat teratas. Tingkat terendah yang disebut dengan “at-tawābi` al-mutimmah” terdiri dari tiga, yaitu mengetahui kisah-kisah dalam Al-Qur’an, tentang mendebat dan menyingkap kegagalan argumen kaum penentang, dan ketiga pengetahuan tentang hukuman-hukuman tingkat teratas juga terdiri dari tiga bagian, yaitu makrifat pada Allah, jalan menuju kepadaNya seperti penyucian diri, dan keadaan di akhirat. Dalam pembahasan bagian al-maqāṣid, al-Ghazali membagi inti Al-Qur’an menjadi dua bagian dengan istilah yang familiar, sangat mulia, dan berharga sesuai maknanya. Pertama; al-Jawāhir, yaitu ayat-ayat mengungkap tentang Dzat, Sifat, serta Perbuatan Allah swt, dan konsep ini disebut dengan bagian ilmu atau pengetahuan. Kedua; al-durar, yaitu ayat-ayat yang menjelaskan tentang ṣirāṭ al-mustaqῑm jalan mencapai Allah, baik anjuran-anjuran maupun larangan-larangannya, sehingga konsep ini disebut sebagai bagian amal atau perbuatan. Sebagai perbandingan al Ghazali menyebut terdapat keseluruhan ada 763 ayat permata dalam Al-Qur’an dan yang 14 ayat ada di surat al-Baqarah dan seterusnya. Sedangkan contoh ayat mutiara Al-Qur’an terdapat 741 ayat dan 46 ayat diantaranya terdapat pada surat ketiga dari kitab Jawāhir al-Qur’ān adalah al-Lawāḥiq penambahan, lampiran. Yaitu catatan bagi yang menghendaki untuk dituliskan secara ringkas dan terpisah dari pembahasan utamadan dinamai dengan “catatan 40 pokok amal duniawi”, baik lahir maupun batin. Amal lahir terbagi menjadi sepuluh bagian. Sedangkan amal batin berupa penyucian hati dari akhlalk tercela. Akhlak tercela ini terdiri dari 10 pokok, begitu juga dengan akhlak terpuji. Rincian catatan 40 tersebut terbagi ke dalam bagian mengenal Allah, amal lahir, akhlak tercela, dan akhlak terpuji. Bagian mengenal Allah terdiri 10 macam, yaitu pokok dalam Dzat Allah, penyucian Dzat, Qadrat, Ilmu, Iradah, Mendengar dan Melihat, Kalam, Perbuatan, Hari Akhir, dan Kenabian. Begitu juga amal lahir terdiri dari 10, yaitu pokok dalam salat, zakat, puasa, haji, membaca Al-Qur’an, zikir, mencari kehalalan, budi pekerti, amar ma`ruf nahi munkar, dan mengikuti sunnah halnya akhlak tercela juga terbagi 10 macam, yaitu rakus makan, banyak bicara, marah, dengki, cinta dunia, gengsi tinggi, cinta harta, sombong, bangga diri, dan pamer. Terakhir dalam hal akhlak tercela juga sama terbagi 10, yaitu taubat, rasa takut dan berharap, zuhud, sabar, syukur, ikhlas dan jujur, tawakal, rasa cinta, ridha atas qadha, dan hakikat kematian termasuk di dalamnya siksa ruh pada api neraka. SYEKH IHSAN DAN KITAB SIRĀJ AṬ-ṬĀLIBῑN Syekh Ihsan al-Jampesi merupakan satu simpul dari rangkaian jejaring ulama-santri yang turut berkontribusi pada perjuangan merebut kemerdekaan Republik Indonesia. Lahir pada tahun 1901 di Jampes, salah satu daerah di aliran Sungai Brantas di wilayah Kediri, Syekh Ihsan al-Ghazāli, Jawāhir al-Qur’ān, 36. al-Ghazāli, Jawāhir al-Qur’ān, 39. al-Ghazāli, Jawāhir al-Qur’ān, 41. al-Ghazāli, Jawāhir al-Qur’ān, 17. al-Ghazāli, Jawāhir al-Qur’ān,147. al-Ghazāli, Jawāhir al-Qur’ān., 17 al-Ghazāli, Jawāhir al-Qur’ān., 18 al-Ghazāli, Jawāhir al-Qur’ān, 19 Zainul Milal Bizawie, Masterpiece Islam Nusantara Sanad dan Jejaring Ulama Santri Periode tahun 1830-1945, Ciputat Pustaka Compas, 2016, 63. Cholid Ma’arif QOF, Vol. 4, No. 1, 2020 63 ditakdirkan menjadi penerus Pondok Pesantren Jampes. Sebuah pusat pendidikan agama yang didirikan pada tahun 1886 M oleh ayahandanya, KH. Dahlan bin KH. Saleh Bogor, yang masih keturunan Sunan Gunung Jati Syarif Hidayatullah dari Cirebon. Sedangkan ibunya, Ny. Artimah adalah putri KH. Sholeh Banjarmelati Kediri. Syekh Ihsan memiliki adik kandung yang bernama KH. Marzuqi Dahlan dan menjadi pengasuh Pesantren Lirboyo Kediri setelah menikah dengan putri KH. Abdul Karim Manaf, Pendiri Lirboyo. Di samping memang jejak pendidikan agamanya yang cukup mumpuni. Yaitu mulai dari nyantri’ di Pesantren Bangkalan di bawah asuhan langsung KH. Kholil, Pesantren Bendo Pare Kediri dengan asuhan KH. Khozin yang masih pamannya sendiri, Pesantren Jamsaren Solo, Pesantren asuhan KH. Dahlan Semarang, Pesantren Mangkang Semarang, Pesantren Punduh Magelang, dan Pesantren Gondanglegi Nganjuk. Sebagaimana lazim pula diketahui, bahwa pondok pesantren masa penjajahan dulunya selain sebagai tempat pendidikan agama juga menjadi ajang penyemaian semangat perjuangan melawan penjajah dari kiai ke santri. Dalam hal ini, selain sebagai tokoh yang dimintai doa dan restu oleh para pejuang, Syekh Ihsan juga mendorong santri-santrinya untuk bergabung dalam perang melawan pihak penjajah Belanda. Estafet perjuangan Syekh Ihsan berlanjut pada para santrinya yang telah mewarisi keilmuan dan semangat pengabdiannya. Diantara mereka terdapat nama Kiai Soim pengasuh pesantren di Tanggir Tuban, KH. Zubaidi Abdul Ghofur pengasuh pondok pesantren Mamba`ul Ma`arif di Mantenan Blitar, KH. Mustholih Kesugihan Cilacap, KH. Busyairi Sampang Madura, K. Hambili Plumbon Cirebon, K. Khazin Tegal, dan lain sebagainya. Warisan terpenting dari Syekh Ihsan adalah produk keilmuannya yang beberapa terdokumentasikan dengan baik. Diantaranya adalah berupa karya kitab Taṣriḥl-`Ibārāt setebal 48 halaman pada tahun 1930 yang merupakan penjelas dari kitab Natῑjāt al-Miqāt karya KH. Ahmad Dahlan Semarang. Kemudian pada 1932 menyusul karya monumental berjudul Sirāj aṭ-Ṭālibῑn, sebagai syarah dari kitab Minhāj al-`Ābidῑn karya al-Ghazali, dengan tebal 800-an halaman yang bernuansa tasawuf. Berikutnya kitab Manāhij al-Imdād yang terbit tahun 1940 setebal 1088 halaman ini juga mengulas tasawuf karena merupakan syarah dari kitab Irshād al-`Ibād karya Syekh Zainuddin al-Malibari. Terakhir adalah karya bernama Irshād al-Ikhwān fi Bayān Ḥukm Shurb al-Qahwah wa al-Dukhān yang merupakan adaptasi puitik juga syarah dari kitab Tadzkirah al-Ikhwān fi Bayāni al- Qahwah wa al-Dukhān karya gurunya, KH. Ahmad Dahlan Semarang, dengan tebal 50-an halaman dan mengulas tentang polemik hukum merokok dan minum kopi. Kitab Sirāj al-Ṭālibῑn `alā Minhāj al-`Ābidῑn ilā Jannati Rabb al-`Ālamῑn merupakan suatu penjelasan dan komentar dari pengarangnya, yaitu al-Syaikh Iḥsān Muḥammad Daḥlān al-Jampesῑ al-Kadῑrῑ w. 1952 -atau biasa ditulis Syekh Ihsan-, atas karya monumental al- Abi Ḥāmid Muḥammad bin Muḥammad al-Ghazāli w. 1111. Hingga saat sekarang kitab Sirāj al-Ṭālibῑn Sang buyut, atau nenek dari ayahnya, yang bernama Ny. Isti`anah merupakan putri dari KH. Mesir bin K. Yahuda seorang ulama sakti asal Lorog Pacitan kemudian bersambung pada Panembahan Senopati pendiri Kerajaan Mataram abad ke-16. Adapun dari jalur ibu, buyut dari Syekh Ihsan tersebut merupakan cicit dari Syekh Hasan Besari Tegalsari Ponorogo yang masih keturunan Sunan Ampel. Zainul Milal Bizawie, Masterpiece Islam Nusantara., 103. A. Ginanjar Sya’ban, Mahakarya Islam Nusantara Kitab, Naskah, Manuskrip,dan Korespondensi Ulama Nusantara, Ciputat Pustaka Compas, 2017, 449. A. Ginanjar Sya’ban, Mahakarya Islam Nusantara, 104. A. Ginanjar Sya’ban, Mahakarya Islam Nusantara, 447. Cholid Ma’arif 64 QOF, Vol. 4, No. 1, 2020 menjadi satu-satunya kitab syarah atas kitab Minhāj al-`Ābidῑn. Bahkan oleh salah satu penerbit di Timur Tengah pernah suatu kali karya ulama Nusantara ini diterbitkan atas karya al-Syaikh Aḥmad Zayni Daḥlān al-Ḥasani al-Hashimi al-Qurayshi Ihsan menyelesaikan penulisan kitab syarah ini hanya dalam tempo delapan bulan kurang beberapa hari saja, tepatnya selesai pada hari Selasa 29 bulan Sya’ban 1351 H atau berkesesuaian dengan tanggal 28 Desember 1932 M di desa Jampes Kediri. Sebagai kitab penjelas yang memuat komentar terhadap kitab sumbernya, Sirāj al-Ṭālibῑn karangan Syekh Iḥsān tentu mempunyai format dan karakter yang sama secara umum, terutama dalam pengutipan ayat-ayat Al-Qur’an, hadits, dan syair-syair Arab. Perbedaannya, dalam mengurai penjelasan ayat-ayat tersebut Syaikh Ihsan mengutip banyak ragam sumber penafsiran. Terkait hal ini Syekh Ihsan dalam syarahnya menempuh intratekstulitas dengan munasabah ayat. Termasuk dengan memunculkan ayat Al-Qur’an lain yang tidak ada dalam kitab matannya. Kemudian cara intertekstualitas yaitu dengan melibatkan teks-teks hadits dan teks lainnya seperti syair-syair Arab serta maqolah lain ke dalam syarah karyanya. AYAT AL-QUR’AN DALAM KITAB SIRĀJ AT-TĀLIBῑN MENURUT RUMUSAN AL-GHAZALI Menurut pengamatan penulis, setidaknya terdapat 18 tematik ayat diantara puluhan pembagian tema dalam kitab tersebut. Dalam tiap tematik ayat terdapat setidaknya antara 3 – 5 penggalan ayat dari surat yang berbeda dengan jumlah keseluruhan 80 ayat. Merujuk pada sistematisasi maqāṣid Al-Qur’an al-Ghazali yang terdiri dari enam bagian dan dikelompokkan menjadi dua bagian besar, maka pembagian dari keseluruhan ayat dalam kitab Sῑraj al-Ṭālibῑn akan terklasifikasikan sebagaimana dalam tabel berikut Tematik kitab Sῑraj al-Ṭālibῑn Kutipan Ayat yang digunakan QS. 65 7, QS. 94 2-3, QS. 94 5-6, QS. 2 193, & QS. 33 43 QS. 39 53, QS. 27 70, QS. 3 135, QS. 15 49-50, QS. 3 30, & QS. 48 1-2. QS. 40 3, QS. 42 25, & QS. 110 3 Menjelaskan Jalan sulūk Menuju Allah QS. 2 197, QS. 65 2-3, & QS. 25 58. QS. 47 19, QS. 42 25, QS. 5 3, QS. 40 55, QS. 110 3 Sebagai informasi, al-Imām al-Ghazzālῑ sendiri mempunyai tiga buah karya masterpiece’ di bidang tasawuf, yaitu selain Minhāj al-Ābidῑn, ada pula Bidāyah al-Hidāyah yang di-syarah oleh Syeikh Nawawi al-Bantanῑ w. 1897 dengan kitabnya Murāqi al-Ubūdiyyah, kemudian Iḥyā` Ulūm al-Dῑn yang di-syarah oleh Syekh Muḥammad Murtadhā al-Zabῑdῑ w. 1790 melalui kitabnya Iṭāf al-Sādah al-Muttaqῑn dan oleh Abdul Ṣamad Palembang w. 1832 dengan bahasa Melayu dalam kitab Sair al-Sālikῑn., Ibid. Salah satu contoh edisi kitab yang diatasnamakan sebagai karya Syaikh Ahmad Zaini Dahlan adalah kitab Sirāj al-Ṭālibῑn terbitan Dar al-Kutub al-Ilmiyyah di Libanon pada tahun 2006. Catatan keterangan dan penanggalan ini sebagaimana diinformasikan sendiri olehnya dalam pengantar kitab. Lih. A. Ginanjar Sya’ban, Mahakarya Islam Nusantara., 448. Kitab yang berjudul asli Al Jami‟ Li Ahkam al-Qur’an adalah ensiklopedi tafsir yang memiliki nilai tinggi dan berharga. Al-Qurthubi telah mencurahkan kemampuannya untuk menyusun kitab yang bercirikan kritikan yang obyektif, tarjih, dan di sandarkan pada kekuatan dan ketajaman mata batin. Berisikan pendapat ulama tafsir yang hidup sebelumnya. Imam Al Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkaam al-Qur’an, Jilid I, Alih bahasa Fathurrahman, Ahmad Hotib, Nasirul Haq, xvii Cholid Ma’arif QOF, Vol. 4, No. 1, 2020 65 Taat pada Allah dan RasulNya QS. 20 2, QS. 15 87-88, QS. 43 33-35, Merasa sebagai makhluk yang lemah QS. 90 4, QS. 33 72, QS. 76 1, Menerangkan keadaan di Akhirat Pahala dan Dosa Atas Perbuatan Hamba sendiri QS. 53 39, QS. 25 68-69, QS. 19 60, QS. 25 70, QS. 39 16 Penghuni surga hidup kekal QS. 48 5, QS. 23 107-108 Penggolongan catatan amal menjadi kanan dan kiri QS. 56 8-11, QS. 56 88-89, QS. 19 85-86, QS. 76 21-22, QS. 41 40 Keadaan Arwah Para Syuhada’ Menjelaskan orang yang taat dan ingkar pada Allah sālik wa nākib Kisah sebagian Umat Nabi Musa as. yang haq dan adil Kisah Muhammad ibn Munkadar yang hangus amal Kisah Bal`am bin Baura`yang mendustakan ayat Kisah Nabi Daud as. yang bertaubat atas kesalahannya Kisah Nabi Yunus as. dan kesabarannya atas ujian Allah 35, QS. 68 48, QS. 21 88, QS. 37 142-144, QS. 68 48-50 Kisah kaum munafik Madinah Kisah kekafiran Abu Sufyan Kisah para penyihir Fir’aun yang masuk Islam Kisah Nabi Musa & Harus as. menang karena mukjizat Allah Kisah Nabi Muhammad tentang karunia Al-Qur’an Kisah doa Nabi Ibrahim tentang anugrah dan keislaman QS. 14 35, QS. 29 67, QS. 2 128, QS. 14 36 Kisah doa Nabi Yusuf tentang tetap dalam keimanan Keadaan Para Penentang Allah dan Mengungkap Kebodohannya Membantah kesia-siaan penciptaan manusia QS. 23 115, QS. 75 36 QS. 4 123, QS. 18 103-104 Hujjah Kenikmatan Dunia Bagi Kafir sebagai Istidraj Islam sebagai nikmat Allah pada hamba, bukan sebaliknya Menjelaskan Cara Mengisi Kehidupan Dunia `Imārat Manāzil Al-ṭarῑq Tidak membunuh tanpa alasan dan tidak berzina Zakat sebagai pintu rahmat Ibadah haji sebagaimana warisan Nabi Ibrahim Setelah diklasifikasi secara umum berdasarkan enam tema besar di atas, beberapa ayat tersebut kemudian dianalisis pada tingkatan berikutnya, yaitu al-Jawāhir permata dan al-durar mutiara Untuk membatasi meluasnya pembacaan terhadap banyak ayat sebagaimana di atas, penulis membatasi hanya pada ayat yang sama persis dijadikan contoh oleh al-Ghazali dalam kitabnya Jawahir al-Qur’an bagian al-jawahir dan al-durar. Adalah sebagai berikut Cholid Ma’arif 66 QOF, Vol. 4, No. 1, 2020 Dari total 16 ayat di atas, dimana porsi ayat al-durar lebih banyak daripada al-jawahir, dan merujuk pada rumusan al-lawāḥiq-nya Jawāhir al-Qur’ān karya al Ghazali, maka dapat diketahui nilai-nilai maqasid dari ayat per ayat yang terjaring dalam bagian ayat permata dan ayat mutiara adalah sebagai berikut a Pokok dalam mengenal Allah Merujuk pada pembahasan sebelumnya, dapat diketahui jumlah ayat yang tergolong kategori utama maqsad ini ada empat ayat, yaitu 1 Thaha [20] 1-2 tentang Dzat Yang Menurunkan Al-Qur’an untuk manusia 2 al-Mukminun [23] 115, Dzat Yang Menciptakan dan KepadaNya-lah tempat kembali; 3 al-Furqan [25] 58 tentang tawakal hanya kepada Dzat yang Kekal dan Maha Suci; 4 al-Mu`mῑn 3, Dzat Yang Maha Pengampun dan Penerima Taubat Tempat Kembali. b Pokok Amal Lahir; Dalam hal ini terdapat ayat 1 al-Hijr [15] 87 tentang diturunkannya tujuh ayat berulang-ulang, yaitu Al-Qur’an 2 al-Ankabut [29] 45, salat sebagai ibadah yang mencegah perbuatan keji dan mungkar. c Pokok Akhlak Tercela; ada empat ayat, yaitu a An-Nisa [4]` 48 tentang syirik sebagai dosa yang tak terampuni. b an-Nisa [4] 65 ayat ini berkisah tentang kaum munafik Madinah c al-Hijr [15] 88 tentang larangan memandang kenikmatan hidup, atau gila jabatan d al-Furqān [25] 68, larangan membunuh dan berzina.. d Pokok Akhlak Terpuji; terkandung diantaranya dalam beberapa ayat berikut a aṭ-Ṭalāq [65] 2-3, janji kenikmatan rezeki tak terduga bagi orang yang bertakwa b al-Hadid [57] 19, orang yang beriman menjadi saksi dan orang amanah di sisi Allah, c al-Ahqaf [46] 35 tentang perintah bersabar dan berteguh hati sebagaimana para Rasul. d Az-Zumar [39] 53, berisikan larangan berputus dari mengharapkan rahmat Allah e al-Furqān [25] 68-70, janji pahala bagi orang yang beriman. f As-Syura [42] 25 ayat ini secara tersirat menjadikan permohonan taubat dan ampunan Demikianlah adalah data tentang ayat-ayat tasawuf yang diambil dari kitab Siraj al-Talibin dan sekaligus tersistematisasikan berdasar rumusan maqasid Al-Qur’an al-Ghazali dalam kitab Jawahir Alqur’an. KEMASLAHATAN SEBAGAI INTI MAQASID AL-QUR’AN KITAB SIRĀJ AL-ṬĀLIBĪN Setelah diketahui tabelisasi ayat berdasar rumusan maqasid Al-Qur’an al-Ghazali dalam pembahasan sebelumnya, maka akan dapat dijelaskan beberapa maqsad pendukung dan maqsad inti dalam kitab Siraj al-Talibin. 1. Maqsad Ketauhidan Salah satu komponen makrifat kepada Allah adalah mengenali SifatNya melalui bentuk keimanan ilmu. Yaitu keimanan yang dilandasi atas pengetahuan hamba tentang segala hal yang tidak bisa diketahui atau diluar kemampuannya. Pada bagian ini terdapat dua corak pengetahuan dalam kitab syarah karya Syekh Ihsan juz II, yaitu corak ketuhanan dan corak eskatologis. Kedua corak ini merepresentasikan dua kelompok maqsad ayat partikular yaitu maqsad pengenalan Cholid Ma’arif QOF, Vol. 4, No. 1, 2020 67 Tuhan dan keadaan eskatologi yang sama wajibnya diimani. Penjabaran maqsad ini adalah sebagai berikut a Mentauhidkan Allah atas segala Dzat, Sifat, dan PerbuatanNya. Salah satunya sebagaimana dikutip pada bagian ini adalah tema Ketetapan qadha’ Allah swt yaitu dalam QS. 951 dan 55 29, Syaikh Ihsan menjelaskan tentang adanya ketetapan yang tidak bisa diubah oleh manusia dan ketentuan yang masih bisa diusahakan, dalam pengertian Allah pula yang Maha Mengatur makhluk-Nya. Sebab upaya manusia itu berbatas kemampuan 657, yang akan berbalas kemudahan 942-3, sesuai janji Tuhan 94 5-6, h. 224. Itu semua merupakan wujud rahmat 2193, dan petunjuk 3343, serta ampunandari Sumber segala ampunan. Sifat ampunan tersebut bertingkat berupa siksaan sebagai bentuk kemenangan dari Allah untuk hambaNya. Mekanismenya adalah pertaubatanyang akan berbalas rahmat-Nya. Pertaubatan merupakan kombinasi dari pengakuan kesalahan diri, rasa penyesalan, ikrar tidak mengulangi, dan pengharapan akan rahmatdari Tuhan Penerima taubatdan Maha mengoreksi hamba-Nya. Puncak itu semua adalah ketauhidan setelah rangkaian ampunan, kesempurnaan nikmat, petunjuk jalan yang lurus, dan pertolongan yang mulia. b Mengimani Narasi Eskatologis Sebagai Bekal Ketauhidan. Balasan amal perbuatandan kondisi orang bertaubat dan beramal saleh merepresentasikan tekstualitas akhirat dalam kitab karya Syaikh Ihsan. Materi api yang mengelilingi merekamemupuskan rasa sesal tiada guna. Pengelompokkan jiwa-jiwa mereka berdasar amaldengan kategori kanan dan kiri. Yaitu amal baik mendapat tempat terhormat agar menjadi pelajaran di masa kini Penafsiran didasari Syekh Ihsan dengan mengutip hadis  و مقا تعفر. Lih. Syaikh Ihsan al-Jampesi, Sirāj al-Ţālibῑn Juz II,. 217. Az-Zumar [39] 53, Syaikh Ihsan al-Jampesi, Sirāj al-Ţālibῑn Juz II., 258. al-Furqān [25] 70, Syaikh Ihsan al-Jampesi, Sirāj al-Ţālibῑn Juz II., 258. Ali Imrān [3] 135, Syaikh Ihsan al-Jampesi, Sirāj al-Ţālibῑn Juz II., 260. al-Hijr [15] 49-50, Syaikh Ihsan al-Jampesi, Sirāj al-Ţālibῑn Juz II., 264. Ali Imrān [3] 30, Syaikh Ihsan al-Jampesi, Sirāj al-Ţālibῑn Juz II., 264. al-Fath [48] 1-2, Syaikh Ihsan al-Jampesi, Sirāj al-Ţālibῑn Juz II., 281. al-An’am [6] 54, Syaikh Ihsan al-Jampesi, Sirāj al-Ţālibῑn Juz II., 261. al-A’rāf [7] 154, Syaikh Ihsan al-Jampesi, Sirāj al-Ţālibῑn Juz II., 261. al-Mu`mῑn [40] 3, Syaikh Ihsan al-Jampesi, Sirāj al-Ţālibῑn Juz II., 260. as-Syura [42] 25, Syaikh Ihsan al-Jampesi, Sirāj al-Ţālibῑn Juz II., 261. al-Nashr [110] 3, Syaikh Ihsan al-Jampesi, Sirāj al-Ţālibῑn Juz II., 283. Huud [11] 112, Syaikh Ihsan al-Jampesi, Sirāj al-Ţālibῑn Juz II., 280. Muhammad [47] 19, Syaikh Ihsan al-Jampesi, Sirāj al-Ţālibῑn Juz II., 282. an-Najm [53] 39, Syaikh Ihsan al-Jampesi, Sirāj al-Ţālibῑn Juz II., 217. al-Furqan [25] 68-69, Syaikh Ihsan al-Jampesi, Sirāj al-Ţālibῑn Juz II., 258. Maryam [19] 60, Syaikh Ihsan al-Jampesi, Sirāj al-Ţālibῑn Juz II., 258. al-Furfan [25] 70, Syaikh Ihsan al-Jampesi, Sirāj al-Ţālibῑn Juz II., 258. az-Zumar [39] 16, Syaikh Ihsan al-Jampesi, Sirāj al-Ţālibῑn Juz II., 262. al-Mu’minūn [23] 107-108, Syaikh Ihsan al-Jampesi, Sirāj al-Ţālibῑn Juz II., 332. al-Waqi`ah [56] 8-11, Syaikh Ihsan al-Jampesi, Sirāj al-Ţālibῑn Juz II., 332. al-Waqi`ah [56] 88-89, Syaikh Ihsan al-Jampesi, Sirāj al-Ţālibῑn Juz II., 332. Maryam [19] 85-86, Syaikh Ihsan al-Jampesi, Sirāj al-Ţālibῑn Juz II., 329. al-Insān [76] 21-22, Syaikh Ihsan al-Jampesi, Sirāj al-Ţālibῑn Juz II., 332. al-Fushshilat [41] 40, Syaikh Ihsan al-Jampesi, Sirāj al-Ţālibῑn Juz II., 330. Cholid Ma’arif 68 QOF, Vol. 4, No. 1, 2020 berbeda ditunjukkan bagi pelaku syahidyang menempati keistimewaan yang dirahasiakan-Nya. 2. Maqsad Kemaslahatan sebagai Implementasi Ketauhidan Al-Ghazali memposisikan ayat-ayat al-Durar mutiara /baca pendukung sebagai bagian dari keimanan amaliah, yaitu bentuk keimanan yang tidak sekedar menjadi keyakinan, namun juga diimplementasikan. Hal ini menemui titik temunya ketika Syekh Ihsan menerjemahkan ayat-ayat yang lebih mendominasi daripada kategori ayat al-Jawahir intan /baca pokok. Diantara tujuan pembahasannya adalah 1 Penyucian Diri sebagai bagian dari Pemeliharaan Diri. Melalui karyanya, Syekh Ihsan menjelaskan pentingnya ketakwaan serta ganjarannya dari Allah. Dengan syarat diiringi sikap tawakkal dan keyakinan bahwa janji-Nya akan terpenuhi. Salah satu bentuk ganjaran tersebut adalah ridho Allah swt sebagai bentuk balasan yang sebenarnya dari ketakwaan. Bagi orang yang bertaubat disyaratkan adanya penyesalan serta pengharapan yang lebih terhadap rahmat-Nya. Hal itu semua merupakan wujud ketaatan total yaitu dengan senantiasa berbuat amar ma`ruf dan nahi mungkar. Dimaksudkan ma’ruf kebaikan disini salah satunya adalah sikap sabar sebagai perintah mendasar. Karena kesabaran menjadi kunci menjalani ketaatan. Selain itu, sikap syukur ditekankan lewat sebuah kisah percakapan yang reflektif oleh Nabi Muhammad saw.. Rasa syukur bertujuan untuk tidak memalingkan ketakjuban atas nikmat kecuali hanya pada Allah. Sebab hakikat kenikmatan bagi orang bertakwa adalah akhirat sedangkan yang diperoleh oleh kafir hanyalah bentuk istidraj. Deretan sikap tersebut sangat membantu dalam menjalani kondisi sebenarnya manusia yang penuh cobaan. Dengan ujian itu pula Allah hakikatnya memercayakan amanat keislaman kepada manusia daripada makhluk ciptaan lainnya. Sehingga fitrah manusia dalam hal ini adalah ketaatan total terhadap `Ibrah dan Hikmah dari Kisah sebagai Upaya Merawat Akal Ali `Imran [3] 169, Syaikh Ihsan al-Jampesi, Sirāj al-Ţālibῑn Juz II, 325. al-Hadid [57] 19, Syaikh Ihsan al-Jampesi, Sirāj al-Ţālibῑn Juz II., 326. al-Baqarah [2] 197, Syaikh Ihsan al-Jampesi, Sirāj al-Ţālibῑn Juz II., 116. aṭ-Ṭalāq [65] Syaikh Ihsan al-Jampesi, Sirāj al-Ţālibῑn Juz II, Ibid. al-Furqan [25] 58, Syaikh Ihsan al-Jampesi, Sirāj al-Ţālibῑn Juz II., 118. aṭ-Ṭalāq [65] 2-3, Syaikh Ihsan al-Jampesi, Sirāj al-Ţālibῑn Juz II., 116. ar-Rahman [55] 60, Syaikh Ihsan al-Jampesi, Sirāj al-Ţālibῑn Juz II., 118. at-Taubah [9] 72, Syaikh Ihsan al-Jampesi, Sirāj al-Ţālibῑn Juz II., 140. al-Māidah [5] 3, Syaikh Ihsan al-Jampesi, Sirāj al-Ţālibῑn Juz II., 217. az-Zumar [39] 53, Syaikh Ihsan al-Jampesi, Sirāj al-Ţālibῑn Juz II., 258 Muhammad [47] 33, Syaikh Ihsan al-Jampesi, Sirāj al-Ţālibῑn Juz II., 258. Qaf [50] 33, Syaikh Ihsan al-Jampesi, Sirāj al-Ţālibῑn Juz II., 266. al-Mu’min [40] 55, Syaikh Ihsan al-Jampesi, Sirāj al-Ţālibῑn Juz II, 280. al-Nashr [110] 3, Syaikh Ihsan al-Jampesi, Sirāj al-Ţālibῑn Juz II, 280. Thaha [20] 1-2, Syaikh Ihsan al-Jampesi, Sirāj al-Ţālibῑn Juz II. 284. al-Hijr [15] 87-88, Syaikh Ihsan al-Jampesi, Sirāj al-Ţālibῑn Juz II., 475. az-Zukhrūf [43] 33-35, Syaikh Ihsan al-Jampesi, Sirāj al-Ţālibῑn Juz II., 499. al-Balād [90] 4, Syaikh Ihsan al-Jampesi, Sirāj al-Ţālibῑn Juz II., 499. al-Aḥzāb [33] 72, Syaikh Ihsan al-Jampesi, Sirāj al-Ţālibῑn Juz II., 517. al-Insān [76] 1, Syaikh Ihsan al-Jampesi, Sirāj al-Ţālibῑn Juz II., 517. Cholid Ma’arif QOF, Vol. 4, No. 1, 2020 69 Pada bagian ini dapat dibaca pada deretan ayat yang tersusun secara sporadis namun membutuhkan penalaran dalam menggali makna di balik kisah. Seperti definisi rahmat yang universal yaitu berupa kitab bagi umat terdahulu dalam kisah Nabi Musa as, pentingnya niat dalam tiap perbuatan dalam kisah Munkadar, serta mengenai keimanan yang tak bisa ditawar dengan kemunafikan sekecil apapun itu sebagaimana dalam kisah Bal`am bin Baura`. Solusi atas problem keumatan tersebut ditutup dengan pesan pertaubatan sebagaimana dalam kisah Daud asdan kesabaran layaknya dialami Nabi Yunus as. Kronologis rangkaian kisah yang berbeda tersebut kemudian tersampaikan kepada Nabi Muhammad saw dalam menghadapi tantangan dakwah. Peristiwa-peristiwa tersebut menjadi bukti pertolongan Allah yang akan segera direspon bagi mukmin yang bertaubat dan terselamatkan dalam golongan orang-orang sholih. Tantangan dakwah yang dimaksudkan dalam kitab ini adalah kemunafikan sebagian kaum Madinah yang tidak bisa mengukur keluasan rahmat dan kasih sayang Allah. Ditambah dengan pesan peringatan dan ancaman terhadap kekafiran Abu Sufyan. Salah satu peringatannya sebagaimana kisah para penyihir Fir’aun yang berislam setelah ditampakkan kemukjizatan fisikyang dapat menundukkan kesombongan musuh. Lain halnya dengan mukjizat Nabi Muhammad saw berupa karunia Al-Qur’an. Al-Qur’an menjadi pengingat bagi Muhammad saw atas karunia dan anugrah Allah swt kepadanya. Termasuk atas apa yang diajarkan seperti hukum-hukum syara` dan perkara-perkara agama serta hal-hal gaib yang belum pernah diketahui sebelumnya seperti pergerakan isi hati dan kelakuan kaum munafik. Mukjizat terakhir ini menurut Syekh Ihsan merupakan perwujudan dari doa Nabi Ibrahim as. Bahwa salah satunya ditafsirkan sebagai mukjizat yang tidak hanya berhenti untuk pribadi kenabian, melainkan juga keumatan karena menyangkut keterpeliharaan nabi telah dijamin sebelumnya. Sehingga doa Ibrahim menjadi titik awal tentang keselamatan keturunan dan generasi umatnya. Salah satu privasi doa nabi sebelumnya adalah seperti kisah doa ketetapan iman Nabi Yusuf. Selain ayat-ayat kisah di atas, upaya pemahaman tentang nilai yang prnsipil juga terkandung dalam format argumentasi dan bantahan terhadap kaum kafir. Diantaranya seperti beberapa ayat berikut ini yang mengandung bantahan dari prasangka bagi manusia yang al-A’raf [7] 159, Syaikh Ihsan al-Jampesi, Sirāj al-Ţālibῑn Juz II., 517. al-Furqan [25] 23, Syaikh Ihsan al-Jampesi, Sirāj al-Ţālibῑn Juz II., 517. al-A’rāf [7] 175., Syaikh Ihsan al-Jampesi, Sirāj al-Ţālibῑn Juz II., 273. Ibrāhim [14] 176, Syaikh Ihsan al-Jampesi, Sirāj al-Ţālibῑn Juz II., 273. Shaad [38] 24-25, Syaikh Ihsan al-Jampesi, Sirāj al-Ţālibῑn Juz II., 277. al-Ahqaf [46] 35, Syaikh Ihsan al-Jampesi, Sirāj al-Ţālibῑn Juz II., 277. al-Qalam [68] 48, Syaikh Ihsan al-Jampesi, Sirāj al-Ţālibῑn Juz II., 277. al-Anbiya [21] 88, Syaikh Ihsan al-Jampesi, Sirāj al-Ţālibῑn Juz II., 277. al-Shaaffat [37] 142-144, Syaikh Ihsan al-Jampesi, Sirāj al-Ţālibῑn Juz II., 277. al-Qalam [68] 49-50. Syaikh Ihsan al-Jampesi, Sirāj al-Ţālibῑn Juz II., 277. al-Ḥadῑd [57] 16, Syaikh Ihsan al-Jampesi, Sirāj al-Ţālibῑn Juz II., 277. al-Anfaal [8] 38, Syaikh Ihsan al-Jampesi, Sirāj al-Ţālibῑn Juz II., 277. al-A`raf [7] 120-121, Syaikh Ihsan al-Jampesi, Sirāj al-Ţālibῑn Juz II., 277. al-Qashash [28] 35, Syaikh Ihsan al-Jampesi, Sirāj al-Ţālibῑn Juz II., 285. an-Nisā [4] 113, Syaikh Ihsan al-Jampesi, Sirāj al-Ţālibῑn Juz II., 501. Ibrāhῑm [14] 35, Syaikh Ihsan al-Jampesi, Sirāj al-Ţālibῑn Juz II., 501. al-`Ankabut [29] 67, Syaikh Ihsan al-Jampesi, Sirāj al-Ţālibῑn Juz II., 501. al-Baqarah [2] 128, Syaikh Ihsan al-Jampesi, Sirāj al-Ţālibῑn Juz II., 501. Ibrahim [14] 36, Syaikh Ihsan al-Jampesi, Sirāj al-Ţālibῑn Juz II., 501. Yusuf [12] 101, Syaikh Ihsan al-Jampesi, Sirāj al-Ţālibῑn Juz II., 501. Cholid Ma’arif 70 QOF, Vol. 4, No. 1, 2020 beranggapan bahwa mereka diciptakan bukan tanpa alasan, namun ada tanggungjawab yang harus dipikul untuk memenuhi Hak Allah yaitu disembah. Diantaranya terkandung dalam ayat QS. 23 115Mekanisme tanggung jawab kehambaan tersebut juga berlaku pada bentuk istidrajyang mengandung pesan bahwa ujian bagi orang yang mendustakan wahyu islamNya akan didekati dengan limpahan kenikmatan fana di dunia. Mereka merasa bangga dengan keislaman sebagai berhala diri dan lupa bahwa Allah-lah yang memberikan kuasa nikmat Islam kepada mereka. 3 Mewujudkan Kesejahteraan sebagai Pemenuhan Kulliyāt al-Khams Diantara maqsad ini bisa ditemui diantara dalam ayat yang menyinggung, baik secara tersurat maupun tersirat, kegiatan atau ibadah dunia kaitannya dengan aspek kebermanfaatan. Yaitu tentang pentingnya sosok penengah atau lazim disebut hakim di tiap permasalahan sosial masyarakat, tentang hakikat ridha lebih utama daripada balasan lainnya tercermin pada hakikat salat yaitu mencegah kemungkaran sebagaimana dalam QS. 29 45. Diantara bentuk larangan adalah membunuh tanpa sebab yang syar`i dan tidak berzina. Sehingga dapat dikatakan implikasi hukum dari maqsad ayat ini adalah pemeliharaan jiwa dan keturunan. Kebalikannya, terdapat perintah mengeluarkan zakat sebagai bentuk pintu rahmat, QS. 7 154. Secara implikatif berbuat zakat merupakan implementasi maqasid syariah yaitu pemeliharaan harta. Dalam artian pemberdayaan harta menuju pada pemerataan kesejahteraan sosial. Menyusul perintah ibadah hajiyang dalam rumusan maqasid syariah menempati kategori pemeliharaan agama. 3. Kemaslahatan Dunia-Akhirat sebagai Maqāṣid Pokok Alqurān Berdasarkan hasil penelusuran ayat pada bab sebelumnya, dapat diketahui sejumlah ayat yang tersusun secara sporadis namun tematis. Disebut sporadis karena urutan ayat per ayat yang tersaji bukanlah berasal dari satu surat yang sama. Di sisi lain ditampilkan secara tematik karena merujuk pada klasifikasi tema dalam daftar isi kitab Sirāj al-Ṭālibῑn karya Syekh Ihsan. Dari sini dapat diketahui, bahwa dalam banyak penggunaan ayat Al-Qur’an, Syekh Ihsan secara global menunjukkan maqsad diturunkannya Al-Qur’an, adalah sebagai petunjuk terhadap makhluk dan kemaslahatan manusia. Hal tersebut ditempuh dengan mengambil jalur sufi akhlaqiy dengan memakai corak tafsir isyari. Narasi ini tidaklah berlebihan mengingat kitab Minhaj al-`Abidin yang disyarahi juga mengandung corak tasawuf yang sama. Kata kunci untuk merangkum berbagai tema pada maqasid ayat dalam kitab Siraj al-Talibin adalah ketauhidan dan kemaslahatan. Sebab sebagaimana karakter tasawuf akhlaqiy, dapat dikatakan bahwa maqasid Al-Qur’an bekerja berdasar nilai-nilai kemaslahatan dan prinsip-prinsip umum. Implikasi pemaknaan ini membawa pada suatu kesimpulan bahwa dengan maqasid Al-Qur’an al-Ghazali, pesan ayat tentang akhlak yang diusung oleh Syekh Ihsan melalui karyanya ini adalah penekanan pada pembangunan moralitas yang dimulai dari pribadi untuk kemaslahatan umat. Hal ini nampak pada pokok akhlak terpuji yang menjadi saripati dari maqasid tasawufnya itu sendiri yang mendominasi ke dalam enam bagian ayat dari surat Al-Qur’an yang berbeda. Yaitu ketakwaan aṭ-Ṭalāq [65] 2-3, keimanan al-Ḥadῑd [57] 19 dan al-Furqān [25] 68-70, kesabaran al-Mukminun [23] 115, Syaikh Ihsan al-Jampesi, Sirāj al-Ţālibῑn Juz II., 501. al-Qiyamah [75] 36, Syaikh Ihsan al-Jampesi, Sirāj al-Ţālibῑn Juz II., 501. an-Nisā` [4] 123, Syaikh Ihsan al-Jampesi, Sirāj al-Ţālibῑn Juz II., 501. al-Kahfi [18] 103-104, Syaikh Ihsan al-Jampesi, Sirāj al-Ţālibῑn Juz II., 264. al-A`rāf [7] 182, Syaikh Ihsan al-Jampesi, Sirāj al-Ţālibῑn Juz II., 501. al-Hujurat [49] 17, Syaikh Ihsan al-Jampesi, Sirāj al-Ţālibῑn Juz II.,503. an-Nisa [4] 65, Syaikh Ihsan al-Jampesi, Sirāj al-Ţālibῑn Juz II., 140. al-Ankabut [29] 45, Syaikh Ihsan al-Jampesi, Sirāj al-Ţālibῑn Juz II., 140. al-Furqan [25] 68, Syaikh Ihsan al-Jampesi, Sirāj al-Ţālibῑn Juz II., 140. al-A’rāf [7] 154, Syaikh Ihsan al-Jampesi, Sirāj al-Ţālibῑn Juz II.,261. al-Baqarah [2] 128, Syaikh Ihsan al-Jampesi, Sirāj al-Ţālibῑn Juz II.,261. A. Halil Thahir, Ijtihad Maqasidi .., 19. Cholid Ma’arif QOF, Vol. 4, No. 1, 2020 71 dan keteguhan hati al-Aḥqāf [46] 35, pengharapan akan rahmat Allah tiada henti Az-Zumār [39] 53, serta pertaubatan dan permohonan ampunan As-Syūra [42] 25. Uniknya, poin-poin tersebut sejalan dengan narasi besar maqasid Al-Qur’an , yaitu penjelasan Al-Qur’an secara global seperti mengenai hikmah diutusnya Sang Rasul, diturunkannya kitab-kitab, penjelasan tentang ketauhidan dan hukum, ketaklifan dan keistimewaanya, hingga tentang dibangkitkannya para makhluk di kehidupan setelah mati nantinya. Beberapa catatan tersebut dilandaskan pada ayat-ayat yang mengandung maqasidi, seperti tentang tujuan penciptaan untuk ibadah menyembah dan mengabdi hanya kepada Allah, asal muasal penciptaan dan tujuan kembalinya para makhluk,serta keterkaitan antara Al-Qur’an sebagai kitab suci Petunjuk bagi orang-orang yang bertaqwa. Dengan demikian, cahaya dari kecintaan hanya kepada Tuhan akan berdampak pada perilakunya sebagai pendorong dalam berbuat kebajikan. Sehingga dapat dikatakan bahwa dua kata kunci turunan dari paduan tasawuf dan maqasid adalah rahmat dan hikmah menuju kemaslahatan. Sebab, adanya hikmah merupakan bukti penolakan pada kerusakan dan sebaliknya menarik kemaslahatan. Untuk itulah syariat diturunkan, begitu juga kenabian dan kerasulan, ilmu pengetahuan, ucapan orang bijak berupa teladan, ungkapan, maupun nasihat, semuanya ditujukan pada kemaslahatan dan menghilangkan kerusakan dengan cara menegakkan kebaikan, kearifan, keadilan, dan sebagainya. Dengan demikian, poin inilah yang lebih tepat menjadi maqasid ayat-ayat Al-Qur’an dalam syarah Syekh Ihsan yang berkesesuaian dengan maqasid Al-Qur’an al-Ghazali, yaitu mewujudkan kemaslahatan dunia dan akhirat. PENUTUP Beberapa hal yang dapat disimpulkan adalah syarah Syekh Ihsan dalam kitab Sirāj al-Ṭālibῑn mengandung format penafsiran ayat Al-Qur’an dengan corak tafsir isyari sufi akhlaqiy nampak mendominasi pensyarahan Syekh Ihsan dalam kitab Sirāj al-Ṭālibῑn Juz II, diantaranya dengan melakukan pengutipan pada karya tafsir klasik seperti tafsir al-Khāzin, beberapa riwayat hadis, bahkan kutipan syair Arab dengan tidak meninggalkan model penafsiran tekstualis atau bil-riwayah. Pembacaan tersebut berhasil didapati penulis dengan menggunakan maqasid Al-Qur’an al Ghazali sehingga ditemukan operasionalisasi maqāṣid al-Qur’ān dengan rincian sebagai berikut 80 ayat yang terdapat dalam syarah Syekh Ihsan tersebar dalam tema terkandung, seperti 17 ayat dalam 7 tema pada maqṣad mengenal Allah, 17 ayat dalam 9 tema pada maqsad jalan suluk, 14 ayat dalam 10 tema pada maqsad keadaan di akhirat, 20 ayat dalam 14 tema pada maqsad hikmah nabi dan kufar, 6 ayat dalam 3 tema pada maqṣad kisah kufar dan bantahan terhadapnya, dan terakhir 5 ayat dalam 5 tema pada maqṣad cara mengisi kehidupan di dunia. Maqasid Alquran dalam kitab Sirāj al-Ṭālibῑn sudah sesuai dengan maqāṣid dalam kitab Jawāhir al-Qur’ān yaitu terwujudnya kebaikan di dunia dan akhirat bagi para hambaNya. Rinciannya, pada kategori “maqsad pendukung yang utama” didominasi pembahasannya tentang jalan suluk menuju akhirat. Sedangkan pada tiga maqsad terakhir, yang disebut dengan “maqsad pendukung yang menyempurnakan”, lebih diwarnai dengan maqsad ayat-ayat tentang kisah dan QS. Adz-Dzāriyat 56. Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah kepada-Ku. QS. Al-Mukminun 115. Maka Apakah kamu mengira, bahwa Sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main saja, dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada kami? QS. Al-Isra’ 9. Sesungguhnya Al Quran ini memberikan petunjuk kepada jalan yang lebih Lurus. QS. Al Baqarah 2. ..; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa. Cholid Ma’arif 72 QOF, Vol. 4, No. 1, 2020 hikmah para nabi dan para penentang Tuhan. Hal tersebut juga nampak sekaligus ketika menggunakan formasi lawahiq al-Ghazali yang menunjukkan pengerucutan tema menjadi empat bagian besar, yaitu teologi, eskatologi, doktrin, dan moralitas. Dari empat wilayah ini, ayat-ayat yang mengandung aspek penekanan pada moralitas didapati lebih banyak daripada ketiga aspek lainnya. Menyusul di bawahnya yaitu aspek doktrin berupa perintah salat, zakat, haji, serta larangan membunuh dan zina. Domain empat tema besar ini mengantarkan pada pemahaman bahwa maqāṣid ayat tentang akhlak dalam kitab Sirāj aṭ-Ṭālibῑn tidak lain adalah kemaslahatan di dunia dan akhirat. DAFTAR PUSTAKA Afifuddin Dimyathi, Muhammad, Dr.,Lc., MA, Ilmu at Tafsir; Ushuluhu wa Manahijuhu. Sidoarjo; Penerbit Lisan Arabi, 2016. Amal, Taufik Adnan. Rekonstruksi Sejarah Al-Qur’an, Jakarta Pustaka Alvabet, 2013. Arifin, Moch, Penafsiran Al-Qur’an KH. Ihsan Jampes; Studi Intertektualitas dalam Kitab Siraj al-Talibin, Jurnal Al- Itqan, vol. 1. 2015. Arkoun, Mohammed, Nalar Islami dan Nalar Modern; Berbagai Tantangan dan Jalan Baru, terj. Rahayu S. Hidayat. Penerbit INIS Jakarta, 1994. Audah, Jaser, Al-Maqasid Untuk Pemula, terj. Ali Abdelmon’im Yogyakarta Suka Press, 2013. -, Naqd Nazariyat al Naskh; Bahth fi Fiqh Maqasid al Shari’ah,. Beirut Al Shabkah al Arabiyah li al Abhath wa al Nashr, 2013. -, Membumikan Hukum Islam Melalui Maqasid Syariah, Bandung PT Mizan Pustaka, 2015 Aziz, Husein, Kiai Ihsan; Potret Tasawuf Nusantara, dalam Abdul Wasid, Tasawuf Nusantara Kiai Ihsan Jampes. Surabaya Pustaka Idea, 2016. `Asri al, Muhammad Nashif, Al Fikr al Maqasidi Inda al Imam Malik wa Alaqatuhu bi al Munadhirat al Ushuliyah wa al Fiqhiyyah fi al Qarni al Tsani al Hijri. Kairo Markaz at Turaz al Tsaqafi al Maghribi, 2008. Bashῑr Shammām al, Maqāṣid al-Sharῑ`ah al-Islāmiyyah wa `Alāqatihā bi al- Mabāhith al-Lughawiyyah. Tunisia al-Shirkah al-Tūnisiyyah li al-Nashr wa Tanmiyyah Funūn al-Rasm, 2013. Dhahabi al, Muḥammad Husain, al-Tafsīr wa ’l-Mufassirūn, Juz I. Kairo Maktabah Wahbah, 2000. Ghazali al, Muḥammad Kayfa Nata`āmal Ma’a Alqur’ān. Mesir Dar al-Wafa, 1990. Jampesi al, Syaikh Ihsan, Siraj at Talibin Sharh Minhaj al Abidin juz 2. tp Dar al-Fikr, tt. Khadimiy al, Nur al Din Mukhtar, Al Ijtihad al Maqasidiy Hujjiyatuhu Dhawabituhu Majalatuhu. Qatar Kementerian Wakaf dan Urusan Islam, 1997. Qahtani al, Musfir bin Ali, al-Wa’y al Maqasidi Qira’ah Mu’asirah li al-Aml bi Maqasid al Shari’ah fi Manahi al Hayah”, Beirut al Shabakah al Arabiyyah li al Abhath wa an Nashr, 2013. Qurthubi al, Imam, Al-Jami‟ li Ahkaam al-Qur‟an, Jilid I, Alih bahasa Fathurrahman, Ahmad Hotib, Nasirul Haq, xvii Raysuni al, Ahmad, Maqasid al Maqasid al Ghayat al Ilmiyyah wa al Amaliyyah li Maqasid al Shari’ah. Beirut al Shabakah al Arabiyyah li al Abhath wa al-Nashr, 2013. Tusi al, Imam Abu al-Ḥāmid al-Ghazāli, Jawāhir al-Qur’ān. Beirut Dar al-Iḥyā al-`Ulūm, 1986. Yubi al, Muḥammad Sa’d bin Aḥmad Mas’ud, Maqāṣid al-Sharῑ’ah al-Islāmiyyah Wa Alāqatuhā bi al-Adillah al-Shar’iyyah. Riyadh Dar al- Hijrah li al-Nasr wa al-Tawzi’, 1998. Zarkashi al, Badr al-Dīn. al-Burhān fi Ulūm al-Qur’ān, tahqiq Ahmad Ali. Qahirah Dār al-Ḥadīth, 2006. Zarqani al, Muḥammad `Abdul `Aẓῑm, Manāḥil al-`Irfān fi `Ulūm al-Qur’ān. Kairo Dār al-Kutub al-`Ilmiyyah, 2003. vol. 2, 14 Bakir, Moh,.“Konsep Maqasid Al-Qur’an Perspektif Badi’ al-Zaman Sa’id Nursi”, Jurnal El-Furqonia, 1. 2015. 4. Cholid Ma’arif QOF, Vol. 4, No. 1, 2020 73 Bizawie, Zainul Milal, Masterpiece Islam Nusantara Sanad dan Jejaring Ulama Santri Periode tahun 1830-1945. Ciputat Pustaka Compas, 2016. Halil Thahir, Ahmad, Ijtihad Maqasidi Rekonstruksi Hukum Islam Berbasis Interkoneksitas Maslahah. Yogyakarta Penerbit LkiS, 2015. Hamidiy, Abdul Karim, Madkhal Ila Maqasid al-Qur’an. Riyadh Maktabah al-Rusyd, 2007. Goldziher, Ignaz, Madzhab Tafsir; Dari Klasik Hingga Modern. Yogyakarta Penerbit Elsaq, 2010. Haq, Hamka, Al Syathibi Aspek Teologis Konsep Maslahah dalam Kitab al-Muwafaqat. Jakarta Penerbit Erlangga, 2007. Jawwas, Mursyid, “Jejak Maqashid Al-SyariAh Di Nusantara Melacak Fuqahā Berbasis Maqashid Al-Syari’ah Dan Hasil Ijtihadnya”, Conference Proceedings – ARICIS I, 155 Kodir, Faqihuddin Abdul, Qira’ah Mubādalah Tafsir Progresif Untuk Keadilan Gender dalam Islam. Yogyakarta Ircisod, 2019. Manzur, Ibnu. Lisān al-Arab. Beirut Dar-Al-Ma’rifah, 1979. Mustaqim, Abdul, Tafsir Jawa; Eksposisi Nalar Shufi-Isyari Kiai Sholeh Darat. Yogyakarta Idea Press, 2018. -. Dinamika Sejarah Tafsir Al-Qur’an; Studi Aliran-aliran Tafsir dari Periode Klasik, Pertengahan hingga Modern Kontemporer. Yogyakarta Idea Press, 2016. . -. Metode Penelitian Alqur’an dan Tafsir. Yogyakarta Idea Press, 2015.\ Sabil, Jabbar, “Dinamika Teori Maqasid”, Jurnal Ilmiah Islam Futura, 02. 2011, 41. Samsuddin, Sahiron. Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Quran. Yogyakarta Nawesea Press, 2017. Wasid, Ahmad, SS, Tasawuf Nusantara Kiai Ihsan Jampes;Menggapai Jalan Ma’rifat Harmoni Umat. Surabaya Pustaka Idea, 2016. Wijaya, Aksin, “Teori Interpretasi Al-Qur’an Ibnu Rusyd; Kritik Ideologis-Hermeneutis”. Yogyakarta; Penerbit LKiS, 2009 Taufiqurrahman TaufiqurrahmanResya Farasy NaffasaThis study aims to examine the perspective of Aisyaḧ Abdurrahman al-Syati’ 1913-1998, as a contemporary female mufassir, regarding eschatological verses in surah al-Zalzalaḧ to prove the epistemological construction of interpretations based on sources, methods and validity of truth. The object of this research is the text and its relationship with past events, that a literature study is carried out to learn content analysis using a historical approach. The primary data in this study is the book of Tafsyr al-Bayany and supported by literature on the epistemology of interpretation in a philosophical approach. The results revealed that Âisyah Abdurrahman has interpreted surah al-Zalzalaḧ referred to Arabic language grammar, the prophet’s hadith, and previous interpretations. In the epistemology of interpretation, the verses about eschatology are not sufficient if they are interpreted in language separately, despite proving the validity of interpretive coherence, she remains consistent in using those method, even correspondingly the interpretation of zilzal is a picture of the earth’s condition when it shakes in accordance with the reality and scientific facts about earthquake, as well as in line with the argument about a doomsday that is bound to happen as found in terms in the Qur’ Apakah kamu mengira, bahwa Sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main saja, dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada kami?QsAl-MukminunQS. Al-Mukminun 115. Maka Apakah kamu mengira, bahwa Sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main saja, dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada kami?Penafsiran didasari Syekh Ihsan dengan mengutip hadisAl Maqasid Untuk Jaser 'audahPemulaJaser 'Audah, Al Maqasid Untuk Pemula, terj. 'Ali 'Abdelmon'im Yogyakarta Suka Press, 2013, 82. 43 Penafsiran didasari Syekh Ihsan dengan mengutip hadis ‫الصحف‬ ‫جفت‬ ‫و‬ ‫األقالم‬ ‫.رفعت‬ Lih. Syaikh Ihsan al-Jampesi, Sirāj al-Ţālibῑn Juz II,. Ihsan al-Jampesi, Sirāj al-Ţālibῑn Juz IIAl-Hijral-Hijr [15] 87-88, Syaikh Ihsan al-Jampesi, Sirāj al-Ţālibῑn Juz II., 475. 84 az-Zukhrūf [43] 33-35, Syaikh Ihsan al-Jampesi, Sirāj al-Ţālibῑn Juz II., dan keteguhan hati al-Aḥqāf [46] 35, pengharapan akan rahmat Allah tiada henti Az-Zumār [39] 53, serta pertaubatan dan permohonan ampunanA ThahirIjtihad MaqasidiA. Halil Thahir, Ijtihad Maqasidi.., 19. dan keteguhan hati al-Aḥqāf [46] 35, pengharapan akan rahmat Allah tiada henti Az-Zumār [39] 53, serta pertaubatan dan permohonan ampunan As-Syūra [42] 25.maqsad pendukung yang utama" didominasi pembahasannya tentang jalan suluk menuju akhirat. Sedangkan pada tiga maqsad terakhir, yang disebut dengan "maqsad pendukung yang menyempurnakanPada RinciannyaKategoriRinciannya, pada kategori "maqsad pendukung yang utama" didominasi pembahasannya tentang jalan suluk menuju akhirat. Sedangkan pada tiga maqsad terakhir, yang disebut dengan "maqsad pendukung yang menyempurnakan", lebih diwarnai dengan maqsad ayat-ayat tentang kisah danSesungguhnya Al Quran ini memberikan petunjuk kepada jalan yang lebih LurusQsAl-IsraQS. Al-Isra' 9. Sesungguhnya Al Quran ini memberikan petunjuk kepada jalan yang lebih Moch, Penafsiran Al-Qur'an KH. Ihsan Jampes; Studi Intertektualitas dalam Kitab Siraj al-TalibinTaufik AmalAdnanAmal, Taufik Adnan. Rekonstruksi Sejarah Al-Qur'an, Jakarta Pustaka Alvabet, 2013. Arifin, Moch, Penafsiran Al-Qur'an KH. Ihsan Jampes; Studi Intertektualitas dalam Kitab Siraj al-Talibin, Jurnal Al-Itqan, vol. 1. AudahAl-Maqasid Untuk PemulaTerj Ali 'abdelmonImAudah, Jaser, Al-Maqasid Untuk Pemula, terj. 'Ali 'Abdelmon'im Yogyakarta Suka Press, 2013. -, Naqd Nazariyat al Naskh; Bahth fi Fiqh Maqasid al Shari'ah,. Beirut Al Shabkah al 'Arabiyah li al Abhath wa al Nashr, 2013. -, Membumikan Hukum Islam Melalui Maqasid Syariah, Bandung PT Mizan Pustaka, 2015Jampesi al, Syaikh Ihsan, Siraj at Talibin Sharh Minhaj al 'Abidin juz 2. tp Dar al-Fikr, tt. Khadimiy al, Nur al Din MukhtarBashῑr Shammām al, Maqāṣid al-Sharῑ`ah al-Islāmiyyah wa `Alāqatihā bi al-Mabāhith al-Lughawiyyah. Tunisia al-Shirkah al-Tūnisiyyah li al-Nashr wa Tanmiyyah Funūn al-Rasm, 2013. Dhahabi al, Muḥammad Husain, al-Tafsīr wa 'l-Mufassirūn, Juz I. Kairo Maktabah Wahbah, 2000. Ghazali al, Muḥammad Kayfa Nata`āmal Ma'a Alqur'ān. Mesir Dar al-Wafa, 1990. Jampesi al, Syaikh Ihsan, Siraj at Talibin Sharh Minhaj al 'Abidin juz 2. tp Dar al-Fikr, tt. Khadimiy al, Nur al Din Mukhtar, Al Ijtihad al Maqasidiy Hujjiyatuhu Dhawabituhu Majalatuhu. Qatar Kementerian Wakaf dan Urusan Islam, Maqasid Al-Qur'an Perspektif Badi' al-Zaman Sa'id NursiMoh BakirBakir, Moh,."Konsep Maqasid Al-Qur'an Perspektif Badi' al-Zaman Sa'id Nursi", Jurnal El-Furqonia, 1. 2015. 4. Ibadahyang sia-sia tidak mengantarkan seorang hamba kepada keridlaan Allah dan surga Allah. Padahal tujuan dari ibadah tidak lain adalah ridla Allah dan surga Allah. Menurut Imam al-Ghazali, ibadah adalah buah dari ilmu, faedah dari umur, hasil jerih payah hamba-hamba Allah yang kuat, barang berharga dari aulia' Allah, jalan yang ditempuh
In fact, every living thing will surely die. Death is something that needs to be understood as something that will definitely happen so that humans can live life well so they can face death with full readiness. This study aims to understand the meaning of death according to Imam Ghazali. This research is a type of research study literature or library library research. The data collection technique is to use documentation. The results show that a death is a condition when the spirit begins to separate from the body, b the virtue of remembering death is that it can increase human fear of Allah. so that they can continue to prepare themselves to welcome death, c death's sakaratul is divided into 3 phases of disaster namely the terrible pain when life is taken away, witnessing death angels that can create fear and fear in the heart for a year, and immoral practitioners who will witness the hell where they returned and they too felt very scared, and d the condition of humans in the grave that is alone in a dark place, filled with worms, and the conditions that humans get are in accordance with the deeds of deeds in the world. Keywords Death analisys, Imam al-Ghazali Abstrak Sejatinya, setiap yang hidup pasti akan mati. Kematian adalah sesuatu hal yang perlu dipahami sebagai sesuatu yang pasti akan terjadi agar manusia dapat menjalani kehidupan dengan baik sehingga dapat menghadapi kematian dengan penuh kesiapan. Penelitian ini bertujuan untuk memahami makna kematian menurut Imam Ghazali. Penelitian ini merupakan jenis penelitian studi literature atau kepustakaan library research. Adapun teknik pengumpulan data yakni dengan menggunakan dokumentasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa a kematian merupakan suatu keadaan saat ruh mulai berpisah dari jasad, b keutamaan meningat kematian yakni dapat bertambahnya rasa takut manusia kepada Allah swt. sehingga dapat terus mempersiapkan diri untuk menyambut kematian, c sakaratul maut terbagi menjadi 3 fase bencana yakni rasa sakit yang begitu dahsyat ketika nyawa dicabut, menyaksikan malaikat maut yang dapat menciptakan rasa gentar dan takut dalam hati selama setahun, serta para pelaku maksiat yang akan menyaksikan neraka tempat mereka kembali dan merekapun sangat merasa ketakutan, serta d keadaan manusia dialam kubur yakni sendirian di tempat yang gelap, dipenuhi cacing, serta keadaan yang didapatkan manusia adalah sesuai dengan amal perbuatannya di dunia. Kata kunci Analisis kematian, Imam al-Ghazali To read the full-text of this research, you can request a copy directly from the has not been able to resolve any citations for this has not been able to resolve any references for this publication.
HakikatCinta dan Klasifikasinya Menurut Imam Al-Ghazali, yang perlu dipahami sebelum membahas hakikat cinta adalah pengetahuan dan penemuan Si Pencinta. Menurutnya, cinta tidak akan tergambar, atau minimal tidak akan ada dalam sosok seseorang jika ia tidak mengetahui pada sosok yang ingin dicinta.

Ilustrasi fungsi hati dan akal menurut Imam Al Ghazali. Foto adalah mahkluk yang memiliki derajat tinggi dibandingkan makhluk lain. Hal tersebut karena manusia memiliki pikiran dan budi pekerti dalam akal dan hatinya. Akan tetapi banyak manusia yang kesulitan dalam memahami makna keduanya. Akibatnya adalah manusia akan lebih condong dalam salah satu sisi. Padahal sejak dahulu para ulama sudah menjelaskan hubungan antara hati dan akal, misalnya Imam Al Ghazali. Berikut hakikat hubungan antara hati dan akal menurut Imam Al Imam Al GhazaliM. Kamalul Fikri, dalam bukunya berjudul Imam Al-Ghazali 202213, Al-Ghazali atau Algazel merupakan sebutan populer untuk Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad at-Thusy. la kemudian juga dikenal dengan nama kunyah Abu Hamid yang berarti bapak Hamid. Namun demikian, kunyah tersebut tidak pasti berarti bahwa Al-Ghazali memiliki anak laki-laki yang diberi nama Hamid. Data yang ditemukan menunjukkan bahwa hanya putri-putri Al-Ghazali yang hidup sampai ia meninggal. Selain itu, Al-Ghazali juga memiliki beberapa nama julukan, yakni Al-Imam, Hujjatul Islam, Zainul 'Abidin, A'jubah az-Zaman, dan Al Ghazali lahir pada 450/1058, yakni sekitar empat setengah abad setelah Nabi Muhammad SAW hijrah dari Makkah ke Madinah, dan sekitar tiga puluh tahun setelah Dinasti Seljuk menduduki Baghdad. Abu Hamid lahir di Kota Thus, Provinsi Khurasan, Persia Iran, sebuah kota miskin yang disebabkan kekeringan panjang sehingga penduduknya pun mengalami kelaparan selama beberapa tahun. Al-Ghazali diketahui dimakamkan Tabiran, Qasabah, Hati dan Akal Menurut Imam Al GhazaliHati berasal dari bahasa Arab qal-bun yang artinya jantung. Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia KBBI, jantung adalah bagian tubuh yang menjadi pusat peredaran darah letaknya di dalam rongga dada sebelah atas.Definisi hati menurut Imam Al-Ghazali memiliki dua definisi, yakniDefinisi hati pertama sebagai hati fisik yaitu daging yang berbentuk seperti buah shanaubar bentuk bundar memanjang yang terletak di bahagian kiri dada yang mana di dalamnya terdapat rongga-rongga yang menyalurkan darah hitam dan berperanan sebagai sumber nyawa manusia. Definsi hati yang pertama ini wujud pada hewan dan juga pada manusia yang telah hati kedua ditakrifkan hati sebagai hati spiritual yaitu sesuatu yang bersifat halus lathifah dan bersifat ketuhanan rabbaniyyah. Hati dalam definisi kedua ini menggambarkan hakikat diri manusia yang mana hati berfungsi untuk merasai, mengenali dan mengetahui sesuatu perkara atau ilmu. Menurut beliau, hati fisik sangat berkait dengan hati spiritual. Namun, beliau tidak mengulas panjang berkenaan hubungan hati fisik dengan hati spiritual kerana itu termasuk di bawah ilmu akal berasal dari bahasa Arab al-aql yang bersumber dari kata kerja ain, qaf, dan lam yang artinya meningkat dan menawan. Kata al-aql juga sama dengan al-idrak kesadaran, dan al-fikr pikiran, al-hijr penahan, al-imsak penahanan, al-ribat ikatan, al-man’u pencegah, dan al-nahyu larangan.Menurut Imam Al Ghazali, akal merupakan salah satu substansi imaterial yang menunjuk esensi manusia. Akal adalah sesuatu yang halus yang merupakan hakikat manusia, sama dengan al-qalb, al-nafs, dan al-ruh, yang berbeda hanya namanya saja, bahkan akal adalah entitas jiwa yang terlibat dengan inteligensia yang dalam hal ini ia bisa juga disebut dengan intelek’.Ilustrasi hati dan akal berdasarkan wahyu Allah SWT. Foto Hati dan Akal Menurut Imam Al GhazaliImam Al Ghazali menyebutkan hati sebagai akal berlandaskan Al-Quran dan hadits. Sebagaimana firman Allahلَهُمْ قُلُوبٌ يَعْقِلُونَ بِهَاArtinya, “Mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami” QS. Al-HajjL 46Akal maupun hati adalah satu entitas yang sama namun kedua istilah ini mempunyai karakteristik yang membedakan satu sama lain. Hati juga menerima kebenaran namun dalam urusan spiritual, sedangkan akal terbatas dalam urusan inteligensia. Ketika akal hanya berurusan dalam persoalan rasional-empiris, hati lebih menekankan pada sisi rasional-emosional-spiritual untuk memahami fenomena alam dan ayat-ayat Allah. Perbedaan kemampuan ini sejatinya untuk menggapai dua dimensi alam yang berbeda, yaitu alam indra alam syahadah dan alam supernatural alam malakut atau alam ghaib.Selanjutnya, kemampuan hati dalam menjangkau alam metafisik selalu didukung oleh pengetahuan akal, namun pengetahuan ini tidaklah cukup menghindarkan hati dari kesalahan kecuali dengan menerima pengetahuan agama melalui ajaran para nabi. Adanya pengetahuan dari wahyu ini selanjutnya memberi konsekuensi pada hati untuk melaksanakan ajaran yang ada di dalam wahyu. Di sinilah peran hati, yaitu dia juga berakal dan mampu berpikir untuk membenarkan adanya tanzil wahyu. Sebab itu, orang yang tidak yang tidak menerima wahyu Allah, berarti hatinya tidak berakal qulubun la ya’qilun atau buta mata hatinya terhadaprealitas ayat-ayat Allah ta’ma al-qulub.Kelebihan hati atas akal adalah bahwa hati mampu melihat segala hakikat kebenaran. Akal hanya bisa menangkap pengetahuan secara terbatas, yaitu pengetahuan yang hanya bersifat rasional dan empiris melalui indra dan daya nalar, sedangkan hati mampu menangkap kebenaran pengetahuan secara tidak terbatas. Kemampuan yang tidak terbatas itu diperoleh dengan dzauq atau intuisi. Dengan dzauq ini hati dapat memperoleh ilm mukasyafah yang tidak bisa dilalui lewat akal. Namun kemampuan hati ini sering dihalangi oleh kotoran yang mengendap di hati, sehingga menghalanginya untuk menangkap realitas dasarnya, hati dan akal harus saling melengkapi satu sama lain, bukan untuk memenangkan salah satunya. Seseorang yang menggunakan hati dan akalnya dengan baik akan berperliaku dengan baik. Terlebih lagi jika mengikuti Al-Quran dan hadits terbebas dari kebutaan akan kebenaran.MZM

MenurutGhazali, ingat kematian akan menimbulkan berbagai kebaikan. Di antaranya, membuat manusia tidak ngoyo dalam mengejar pangkat dan kemewahan dunia. Ia bisa menjadi legawa (qonaah) dengan apa yang dicapainya sekarang, serta tidak akan menghalalkan segala cara untuk memenuhi ambisi pribadinya.

ABSTRAK Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali 1058-1111 atau al-Ghazali merupakan seorang pemikir Islam yang dikenali sama ada Timur dan Barat dunia. Idea-ideanya mencakupi segenap bidang dalam pemikiran Islam seperti ilmu kalam, falsafah, tasawuf dan usul fikah. Walau bagaimanapun, makalah ini berhasrat memfokuskan pemikiran kefalsafahan al-Ghazali yang menjurus kepada subjek mimpi. Hal ini kerana, mimpi yang benar merupakan satu daripada 46 tanda-tanda kenabian dari perspektif Islam yang dialami tanpa mengira agama atau bangsa. Oleh sebab ia merupakan sebuah "pengalaman", al-Ghazali menjadikannya sebagai hujah-hujah untuk menerangkan beberapa aspek falsafah. Justeru, makalah ini secara lebih spesifik akan menumpukan kepada hujah-hujah kefalsafahan al-Ghazali berkenaan "pengalaman" mimpi. Makalah ini mengumpulkan data daripada karya-karyanya dengan menggunakan kaedah kajian dokumen, seterusnya menganalisis data tersebut dengan menggunakan kaedah analisis kandungan. Secara inti patinya, pemikiran al-Ghazali mengenai mimpi dapat dibahagikan kepada dua bidang penting dalam falsafah iaitu epistemologi teori ilmu dan ontologi teori kewujudan. Oleh sebab terdapat pengaruh epistemologi terhadap ontologi dalam penghujahannya, maka pemikiran beliau mengenai mimpi ini dapat dirangkumkan sebagai bersifat epistemologiko-ontologikal. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free Pemikiran Kefalsafahan Al-Ghazali Berkaitan Mimpi Mohd Syahmir Alias 26 PEMIKIRAN KEFALSAFAHAN AL-GHAZALI BERKAITAN MIMPI Mohd Syahmir Alias Bahagian Falsafah dan Tamadun, Pusat Pengajian Ilmu Kemanusiaan Universiti Sains Malaysia syahmir ABSTRAK Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali 1058-1111 atau al-Ghazali merupakan seorang pemikir Islam yang dikenali sama ada Timur dan Barat dunia. Idea-ideanya mencakupi segenap bidang dalam pemikiran Islam seperti ilmu kalam, falsafah, tasawuf dan usul fikah. Walau bagaimanapun, makalah ini berhasrat memfokuskan pemikiran kefalsafahan al-Ghazali yang menjurus kepada subjek mimpi. Hal ini kerana, mimpi yang benar merupakan satu daripada 46 tanda-tanda kenabian dari perspektif Islam yang dialami tanpa mengira agama atau bangsa. Oleh sebab ia merupakan sebuah “pengalaman”, al-Ghazali menjadikannya sebagai hujah-hujah untuk menerangkan beberapa aspek falsafah. Justeru, makalah ini secara lebih spesifik akan menumpukan kepada hujah-hujah kefalsafahan al-Ghazali berkenaan “pengalaman” mimpi. Makalah ini mengumpulkan data daripada karya-karyanya dengan menggunakan kaedah kajian dokumen, seterusnya menganalisis data tersebut dengan menggunakan kaedah analisis kandungan. Secara inti patinya, pemikiran al-Ghazali mengenai mimpi dapat dibahagikan kepada dua bidang penting dalam falsafah iaitu epistemologi teori ilmu dan ontologi teori kewujudan. Oleh sebab terdapat pengaruh epistemologi terhadap ontologi dalam penghujahannya, maka pemikiran beliau mengenai mimpi ini dapat dirangkumkan sebagai bersifat epistemologiko-ontologikal. Kata kunci pemikiran Islam, epistemologi, ontologi, al-Ghazali, mimpi AL-GHAZALI’S PHILOSOPHICAL THOUGHT ABOUT DREAM ABSTRACT Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali 1058-1111 or al-Ghazali was a prominent Islamic thinker known in both East and West regions of the world. His idea encompassed in major areas of Islamic thoughts such as theology, philosophy, mysticism and usul al-fiqh Islamic principles of jurisprudence. However, this article aims to focus on al-Ghazali’s philosophical thought on the subject matter of dream, since true dream is one of 46 signs of prophecy in Islam which experienced by human regardless of their religions or races. Because it is an “experience”, al-Ghazali made dream as the arguments to Jurnal Ulwan Ulwan’s Journal Jilid 4 2019 26-36 27 explain some philosophical aspects. Hence, this article will specifically focus more on al-Ghazali’s philosophical arguments regarding “experience” of the dream. Based on document study, this article collects the data from his own works, then analyse them using content analysis methods. In a nutshell, al-Ghazali’s thought about dream can be divided into two important areas of philosophy, which is epistemology theory of knowledge and ontology theory of existence. Due to his epistemological arguments which affects his thought on the ontology of dream, I reformulate it as being epistemologico-ontological in nature. Keywords Islamic thoughts, epistemology, ontology, al-Ghazali, dreams PENGENALAN Mimpi dari sudut pandang pentafsir-pentafsir mimpi Muslim dibahagikan kepada tiga jenis al-Akili, 1991. Pertama, mimpi benar daripada Allah SWT; kedua, mimpi yang menyedihkan daripada syaitan; dan ketiga, mimpi ilusi daripada khayalan seseorang pemimpi. Hal ini dapat dilihat dalam hadis berikut Maksudnya “Apabila hari kiamat telah dekat, maka jarang sekali mimpi seorang Muslim yang tidak benar. Orang yang paling benar mimpinya ialah yang paling benar dalam berkata. Mimpi seorang Muslim adalah satu daripada 46 bahagian kenabian. Mimpi itu ada tiga jenis mimpi yang baik ialah khabar gembira daripada Allah AWJ, mimpi yang membuat kita sedih ialah daripada syaitan dan mimpi yang timbul kerana ilusi atau khayal seseorang. Oleh itu, jika kamu bermimpi yang tidak kamu senangi, bangunlah, kemudian solatlah dan jangan ceritakannya kepada orang lain.” Riwayat Muslim, no. hadis4200; Ahmad, no. hadis10185 Dalam hadis yang sama juga, Rasulullah SAW menjelaskan bahawa mimpi merupakan sebahagian daripada kenabian atau wahyu. Mimpi baik yang berasal daripada Allah SWT merupakan sejenis wahyu yang datang kepada seseorang Muslim yang baik dan membawa khabar gembira atau peringatan. Ia akan menyebabkan seseorang merefleksi tindakannya dan berhati-hati daripada kelalaian. Di sisi lain, jenis mimpi ini boleh menjadi teguran terhadap tindakan yang tercela atau tindakan yang disangka tindakan yang sepatutnya untuk dilakukan al-Akili, 1991. Oleh yang demikian, dalam tradisi pemikiran Islam, jenis mimpi yang banyak dibicarakan ialah mimpi yang benar ar-ru’ya as-sadiq. Premis berkenaan mimpi jenis ini dapat diperoleh daripada sebuah hadis Maksudnya “Wahai manusia, tidak tersisa lagi khabar kenabian kecuali mimpi yang baik, yakni mimpi yang dilihat atau diperlihatkan kepada seorang Muslim.” Riwayat an-Nasa’i, no. hadis1035 Pemikiran Kefalsafahan Al-Ghazali Berkaitan Mimpi Mohd Syahmir Alias 28 Berdasarkan hadis tersebut, mimpi menjadi salah satu saluran penyampaian berita-berita kebaikan oleh Allah SWT kepada orang-orang Islam. Hal ini kerana, selepas kewafatan Rasulullah SAW selaku Nabi dan Rasul terakhir, penyampaian khabar kebaikan tidak berhenti kerana dapat dialami oleh seseorang Muslim melalui mimpi Amru Khalid, 2012. Menurut Ibn Khaldun 2005, seseorang yang menerima mimpi yang baik mempunyai persamaan dengan seorang Nabi yang menerima wahyu, namun lebih bawah hierarkinya berbanding mimpi para Nabi itu sendiri. Justeru, mimpi dalam Islam mempunyai signifikan yang tersendiri iaitu sebagai satu bentuk kebersediaan manusia untuk menerima sesuatu perkara yang berbentuk kerohanian. Hadis tersebut juga dapat dihubungkaitkan dengan mimpi-mimpi yang disebutkan dalam al-Quran. Menurut Imran N. Hosein 2001, sekurang-kurangnya terdapat tujuh kisah mimpi yang diperoleh daripada ayat-ayat al-Quran iaitu 1. mimpi Nabi Ibrahim mengorbankan anaknya as-Saffat, 37102; 2. mimpi Nabi Yusuf dengan matahari, bulan dan planet yang tunduk kepadanya Yusuf, 124; 3. mimpi banduan yang dipenjarakan bersama Nabi Yusuf memerah anggur Yusuf, 1236; 4. mimpi banduan yang dipenjarakan bersama Nabi Yusuf menjunjung roti yang dipatuk oleh burung Yusuf, 1236; 5. mimpi raja Mesir tentang lembu dan bijirin Yusuf, 1243; 6. mimpi Nabi Muhammad melihat tentera musuh al-Anfal, 843; dan 7. mimpi Nabi Muhammad SAW memasuki Masjid al-Haram al-Fath, 4827. Daripada ketujuh-tujuh kisah mimpi ini, empat daripadanya ialah kisah mimpi para Nabi. Hal ini menunjukkan bahawa wahyu sememangnya diturunkan juga dalam bentuk mimpi yang benar kepada para Nabi Ibn Khaldun, 2005. Malah, kisah mimpi dalam al-Quran juga menunjukkan bahawa mimpi dalam Islam sering dikaitkan dengan pentafsirannya. Perkara ini dapat dilihat secara jelas mengenai pentafsiran tiga buah mimpi oleh Nabi Yusuf dan juga pentafsiran Nabi Yaakub terhadap mimpi Nabi Yusuf Imran N. Hosein, 2001. Malah, dalam tradisi keilmuan Islam, terdapat beberapa tokoh ilmuwan yang menulis berkenaan ilmu tafsir atau taabir mimpi. Antaranya ialah Ibn Qutaybah 2001 dengan karyanya, Kitab Tabir ar-Ru’ya. Walau bagaimanapun, tradisi falsafah Islam yang pada awalnya banyak mengolah pandangan yang dikemukakan oleh pandangan ahli falsafah Yunani Adamson & Pormann, 2012; Green, 2003. Hal ini mengubah corak perbincangannya daripada sekadar ilmu tafsir dan taabir mimpi kepada perbincangan “pengalaman” mimpi yang bersabit dengan perkembangan psikologi dan eskatologi manusia al-Kutubi, 2015. Menurut Fazlur Rahman 1964, al-Ghazali antara pemikir Muslim terawal yang membincangkan perihal eskatologi melalui hujah pengalaman dalam mimpi yang buruk. Perkara ini menarik perhatian ahli falsafah dan ahli sufi terkemudian seperti Ibn Arabi, Suhrawardi dan Sadr ad-Din Shirazi untuk mengembangkan lagi teori tersebut al-Kutubi, 2015; Fazlur Rahman, 1964. Jurnal Ulwan Ulwan’s Journal Jilid 4 2019 26-36 29 Oleh yang demikian, makalah ini secara umumnya berhasrat meneliti pemikiran al-Ghazali yang menjurus kepada mimpi. Secara lebih spesifik, makalah ini menumpukan kepada hujah-hujah kefalsafahan al-Ghazali berkenaan “pengalaman” mimpi. Dengan menggunakan kajian dokumen, makalah ini memperoleh data daripada dua sumber. Pertama, karya-karya asal al-Ghazali dan terjemahannya. Kedua, buku-buku dan artikel-artikel jurnal oleh penulis dan pengkaji lain berkenaan pemikiran al-Ghazali. Makalah ini seterusnya menganalisis berdasarkan kaedah analisis kandungan. Hasilnya dibahaskan dalam dua bahagian berikut. Pertama, hujah-hujah al-Ghazali berkaitan mimpi; dan kedua, analisis kefalsafahan terhadap hujah mimpi al-Ghazali. PEMIKIRAN AL-GHAZALI BERKAITAN MIMPI Menurut Ibrahim Kalin 2010 dan Fazlur Rahman 1964, ahli falsafah Muslim seperti al-Farabi dan Ibn Sina menggunakan hujah “pengalaman” mimpi dan imaginasi untuk merasionalkan “penurunan wahyu kepada para Nabi”. Namun, di sisi al-Ghazali terdapat signifikan lain terhadap “pengalaman” mimpi. Sekurang-kurangnya, terdapat empat signifikan yang dapat diperturunkan dalam makalah ini. Pertama, realiti dalam alam barzakh; kedua, realiti daripada alam al-malakut wa’l-ghayb; ketiga, kekuatan daya khayal; dan keempat, skeptisisme terhadap akal. Keempat-empat hujah ini dibincangkan dalam empat pecahan bahagian berikut. 1. Realiti Dalam Alam Barzakh Dalam karya monumentalnya iaitu Ihya’ Ulum ad-Din, al-Ghazali 2005 menjelaskan berkenaan sebuah hadis azab terhadap orang yang ingkar kepada Allah SWT di alam kubur atau barzakh, beliau mengatakan bahawa tinnin 99 ekor ular yang menyakiti individu tersebut merupakan perkara-perkara yang nyata yang “dirasai” secara “zahir” olehnya melalui “deria” yang tidak dapat dipersepsikan oleh manusia lain yang masih hidup. Al-Ghazali seterusnya memberikan tiga tasdiq pembenaran, di mana pembenaran yang kedua merujuk penjelasan ini dengan fenomena mimpi yang menakutkan. Dalam alam mimpi, seorang pemimpi merasai ketakutan dan rasa sakit seperti “nyata”. Perkara yang sama juga dirasai dalam alam barzakh, ular yang menyerang pendosa dalam kubur adalah wujud secara objektif. Al-Ghazali 20051884-1885 menyebut Terjemahannya “Bahawa anda mengingati keadaan orang yang tidur, dia kadang-kadang bermimpi dalam tidurnya seekor ular mematuknya, dia merasa sakit dalam keadaan demikian sehingga anda melihatnya memekik dalam tidurnya dan berpeluh-peluh dahinya, kadang-kadang dia terkejut daripada tempatnya. Semua yang demikian itu diketahui oleh dirinya sendiri, dia merasa sakit dengannya sebagaimana dirasakan sakit oleh orang yang tidak tidur.” Pemikiran Kefalsafahan Al-Ghazali Berkaitan Mimpi Mohd Syahmir Alias 30 Menurut Fazlur Rahman 1964, hujah al-Ghazali tentang kewujudan objektif objek-objek zahir dalam alam barzakh adalah berbeza sama sekali dengan ahli teologi dogmatik yang selalu disebut dengan ayat ortodoks “kita tahu mereka ada, tetapi kita tidak tahu bagaimana”. Al-Ghazali memberikan status ontologi yang jelas kepada sebarang seksaan di kubur, malah turut menegaskan bahawa kemungkinan seseorang mempersepsikan seksaan-seksaan tersebut dengan “deria yang lain”. Oleh sebab perasaan sakit yang dirasai dalam mimpi sekiranya seseorang dipatuk ular, maka tidak ada bezanya antara ular “khayalan” dalam mimpi dengan ular yang disaksikan dalam alam jasmani al-Ghazali, 2005. 2. Realiti Daripada Alam Al-Malakut Wa’l-Ghayb Al-Ghazali dalam Bab Kelapan karyanya yang sama iaitu Ihya’ Ulum ad-Din menjelaskan bahawa mimpi berperanan dalam memperoleh ilmu daripada alam al-malakut wa’l-ghayb. Bagi para Nabi dan wali, mereka berupaya menerima perkara-perkara daripada alam al-malakut wa’l-ghayb dalam keadaan sedar. Walau bagaimanapun, berbeza dengan orang kebiasaan, mereka hanya dapat menerimanya melalui mimpi. Ketika tidur, hati dapat menerima gambaran ilmu daripada alam tersebut kerana deria tidak lagi berinteraksi dengan alam deria. Menurut al-Ghazali 20051889 Terjemahannya “... sibuknya hati dengan syahwatnya dan yang dikehendaki oleh pancaindera itu pada hijab yang dilepaskan antaranya dengan Lawh yang dia itu sebahagian daripada alam al-malakut... Makna tidur adalah bahawa tenanglah pancaindera padanya, lalu ia tidak membawakannya kepada hati. Maka, apabila ia terlepas daripadanya dan daripada khayal dan ada dia itu bersih pada zatnya, nescaya terangkatlah hijab di antaranya dengan Lawh al-Mahfuz.” Dengan nada yang sama dalam Kimiya’ as-Saadah, al-Ghazali 2001 menjelaskan bahawa penerima yang sebenar ketika mimpi itu ialah hati. Hal ini kerana, pada hati, terdapat satu “pintu – al-bab” yang dibuka ketika pancaindera sedang berehat. Misalnya, seseorang yang bermimpi bertemu dengan Nabi Muhammad SAW pada hakikatnya tidaklah melihat jasad sebenar Baginda dari Madinah ke tempatnya, sebaliknya hanya melihat imej Baginda daripada alam al-malakut wa’l-ghayb al-Ghazali, 2018. Hal ini kerana, terdapat hadis yang menyatakan bahawa sesiapa yang bermimpi berjumpa Rasulullah SAW, dia benar-benar melihat Baginda kerana syaitan tidak dapat menyerupai Baginda riwayat al-Bukhari, no. hadis107. Perkara ini dijelaskan dengan ibarat “objek yang berada di hadapan kaca”. Dalam hal tersebut, pemimpi hanya sekadar melihat imej dalam kaca, bukan objek sebenar yang pada hakikatnya “objek” tersebut berada dalam alam al-malakut wa’l-ghayb al-Ghazali, 2005. Perkara ini mempunyai kaitannya dengan peranan imaginasi yang dibincangkan dalam subtopik berikutnya. Jurnal Ulwan Ulwan’s Journal Jilid 4 2019 26-36 31 3. Kekuatan Daya Khayal Dalam petikan sebelum ini, al-Ghazali turut menekankan peranan daya khayal atau imaginasi untuk menanggap perkara yang diperoleh daripada alam al-malakut wa’l-ghayb dalam mimpi. Al-Ghazali meletakkan daya khayal sebagai salah satu daripada lima daya atau deria dalaman iaitu pertama, daya kemunasabahan al-hiss al-mushtarak; kedua, daya penggambaran al-quwwah al-mutasawwirah; ketiga, daya penganggaran al-quwwah al-wahmiyah; keempat, daya pemeliharaan dan ingatan al-quwwah al-hafiẓah wa’dh-dhakirah; dan kelima, daya imaginasi al-quwwah al-mutakhayyilah Mohd Zaidi Ismail, 2002. Dalam pandangan al-Ghazali, daya khayal bertindak sebagai tabir atau skrin antara dua alam iaitu sebagai perantara bagi alam fizikal dengan alam rohani. Oleh sebab itu, daya ini turut bertimbal-balik di antara deria luaran atau pancaindera dengan akal serta keempat-empat daya dalaman yang lain turut terangkum di dalamnya Mohd Zaidi Ismail, 2002. Dalam konteks mimpi, daya imaginasi sentiasa bergerak aktif walaupun seseorang itu sedang tidur. Hal ini sebagaimana yang dihujahkan oleh al-Ghazali 20051890 sebagaimana berikut Terjemahannya “Tidur mencegah pancaindera yang ada daripada bekerja dan ia tidak mencegah khayal daripada pekerjaan dan gerakannya. Maka, apa-apa yang jatuh dalam hati ditangkap oleh daya khayal dan ditirunya dengan contoh yang mendekatinya. Perkara yang dikhayalkan itu lebih tetap dalam daya ingatan berbanding daya-daya lain. Maka, kekallah khayal itu dalam ingatan dan apabila terbangun, nescaya tiada yang diingatinya selain khayal.” Melalui petikan ini, al-Ghazali menunjukkan kekuatan daya imaginasi untuk menyerupai perkara-perkara di alam al-malakut wa’l-ghayb. Walau bagaimanapun, dalam al-Madnun Bihi ala Ghayr Ahlihi, al-Ghazali 2001378 menerangkan kelemahan daya imaginasi ketika dalam mimpi berbanding kekuatannya di alam akhirat dengan petikan berikut Terjemahannya “... dan daya imaginasi mempunyai kudrat untuk mencipta bentuk/imej dalam alam ini, tetapi imej yang dicipta ini dibayangkan dan tidak dirasakan dan tidak dikesan dalam daya penglihatan. Oleh itu, jika adalah baginya mencipta imej yang indah, dengan keindahan yang ketara dan membayangkan kehadirannya dan membayangkan bahawa dia melihatnya, keazamannya tidak begitu dirasai kerana dirinya masih tidak melihatnya sebagaimana dalam tidur. Sekiranya dia mempunyai daya untuk membentuk imej ini, kerana dia mempunyai kuasa untuk membentuknya dalam bentuk yang dibayangkan, maka keazamannya akan menjadi ketara dan imej akan mempunyai status bentuk dengan maujud dari luar. Tidak berbeza alam akhirat daripada alam duniawi dari aspek ini kecuali berdasarkan kesempurnaan kekuatan Pemikiran Kefalsafahan Al-Ghazali Berkaitan Mimpi Mohd Syahmir Alias 32 untuk membentuk gambaran yang dilihat. Semua yang diinginkannya segera hadir kepadanya...” Menurut al-Kutubi 2015, al-Ghazali telah membuat suatu penambahan yang signifikan terhadap teori imaginasi. Beliau menegaskan bahawa pemimpi atau penerima berkeupayaan membentuk dan memprojeksikan bentuk-bentuk yang dikhayalkan sebagai objek di luar minda sama seperti objek-objek yang dirasai dalam alam dunia. Namun, hal ini hanya akan benar-benar diaktualisasikan ketika di alam akhirat, sekali gus beliau menghujahkan bahawa segala-galanya akan mengikut kehendak jiwa yang dirahmati oleh Allah SWT di alam akhirat. 4. Skeptisisme Terhadap Akal Selain itu, mimpi juga menjadi sebab al-Ghazali menjadi skeptikal atau ragu-ragu terhadap pengetahuan yang diperoleh melalui akal. Malah, ia menjadi hujah pengukuhan bahawa akal merupakan sumber pengetahuan yang mempunyai kelemahannya sebagaimana kelemahan deria jasmani apabila dibandingkan dengan akal. Dalam al-Munqidh min ad-Dalal, al-Ghazali 2001580 menjelaskan Terjemahannya “Tidakkah kau lihat, ketika tidur engkau meyakini sesuatu dan membayangkan keadaan tertentu, menyangka semua itu kukuh dan berpanjangan, dan selama mana engkau berada dalam keadaan mimpi itu engkau juga bahkan tidak meraguinya? Tidakkah setelah terjaga, barulah kau sedar perkara yang engkau khayalkan dan percaya itu ternyata tiada asas dan tidak memberi sebarang kesan apa pun. Maka, mengapa engkau rasa begitu yakin dengan kepercayaan-kepercayaan yang engkau dapati ketika waktu sedar, sama ada berasaskan cerapan-pancaindera atau akal, adalah yang sebenar-benarnya?” Menurut Mohd Nasir Mohd Tap 2017, al-Ghazali ingin menolak kekeliruan yang dicetuskan dalam kalangan orang awam, khususnya pengikut ahli falsafah Peripatetik Muslim, yang mempercayai bahawa capaian pengetahuan metafizik melalui akal adalah bersifat a priori sama seperti yang dapat dicapai akal dalam pengetahuan matematik. Oleh itu, al-Ghazali 2001580 mendatangkan hujah “keadaan” atau “halah” untuk membantah kekeliruan tersebut dalam petikan berikut Terjemahannya “Kepercayaan-kepercayaan itu adalah benar dalam keadaanmu sekarang; tetapi adalah mungkin akan datang pula satu keadaan di mana kesedaranmu dalam keadaan berjaga itu boleh disamakan dengan kesedaranmu ketika bermimpi. Berbanding keadaan baru itu, kesedaran dalam jagamu sekarang ini akan menjadi seperti mimpi! Apabila engkau memasuki keadaan itu, Jurnal Ulwan Ulwan’s Journal Jilid 4 2019 26-36 33 engkau akan merasa pasti bahawa semua tanggapan akalmu adalah khayalan kosong.” Dalam tradisi sufi, al-Qusyairi 2017 menjelaskan bahawa seseorang yang dekat dengan Allah SWT boleh mencapai “halah” iaitu satu keadaan seperti kilatan cahaya yang diberikan dalam keadaan sedar untuk seseorang menanggapi dimensi spiritual. Dalam perkataan al-Ghazali 2001 pula, “halah” ialah suatu keadaan seseorang tenggelam dalam dirinya sendiri dan terpisah daripada kawalan deria dan melihat perkara yang berbeza sama sekali daripada tanggapan akal. Perkara ini menjelaskan kewujudan “deria yang lain” yang disebutkan dalam Ihya’ Ulum ad-Din dinyatakan dalam bahagian [a.] sebelum ini yang melangkaui kemampuan akal dalam menanggapi dimensi spiritual. Selain itu, al-Ghazali 2001 juga memetik kata-kata Saidina Ali yang dipetik oleh beliau sebagai hadis iaitu “manusia semuanya sedang tidur, apabila mereka telah mati, barulah mereka sebenarnya terjaga”. Kata-kata ini secara implisitnya menerangkan bahawa manusia pada masa dirinya berjaga sebenarnya sedang mengalami “mimpi yang panjang”, namun apabila dirinya sudah menemui kematian, barulah dirinya tersedar daripada “mimpi yang panjang” tersebut. Oleh itu, “mimpi yang panjang” hanya bersifat sementara jika dibandingkan dengan alam akhirat yang masanya tidak terhingga. Maka, cara untuk terjaga atau “halah” sewaktu “mimpi yang panjang” sebelum kematian yang sebenar itu terdapat dalam tradisi golongan sufi yang sejati dan hal ini membuktikan adanya “deria” yang lebih tinggi berbanding akal pada hemat al-Ghazali 2001. ANALISIS KEFALSAFAHAN TERHADAP PEMIKIRAN AL-GHAZALI BERKAITAN MIMPI Berdasarkan perbincangan sebelum ini, al-Ghazali dilihat membahaskan mimpi secara ekstensif dalam sebahagian daripada karya-karyanya. Beliau dilihat membincangkannya bukan sekadar aspek pentafsiran mimpi, malah menjadikan mimpi sebagai hujah kepada beberapa permasalahan yang ditimbulkan dalam bidang falsafah. Daripada penelitian yang dibuat, dapat dirumuskan bahawa hujah-hujah al-Ghazali berkenaan subjek ini adalah bersifat epistemologiko-ontologikal. Perkara yang dimaksudkan dengan epistemologiko-ontologikal ini ialah pengaruh teori ilmu al-Ghazali dalam memberi kesan terhadap realiti mimpi itu sendiri. Hal ini dibuktikan melalui dua kesimpulan berikut. Pertama, sifat epistemologiko-ontologikal dapat dilihat daripada penerangan al-Ghazali berkenaan peranan mata hati atau al-qalb yang sebenarnya mempersepsikan segala imej di dalam mimpi. Pada hakikatnya, imej-imej tersebut yang ditiru melalui daya imaginasi daripada “maklumat” dari alam al-malakut wa’l-ghayb atau secara lazimnya disebut alam kerohanian. Mimpi, khususnya mimpi yang benar, secara realitinya ialah penanggapan pemimpi melalui mata hatinya terhadap perkara-perkara yang terdapat di alam kerohanian iaitu daripada Lawh al-Mahfuz, namun ia dibatasi oleh daya khayal atau Pemikiran Kefalsafahan Al-Ghazali Berkaitan Mimpi Mohd Syahmir Alias 34 imaginasi. Imaginasi pula pada asasnya memperoleh bentuk-bentuk daripada apa-apa yang pernah ditanggapinya melalui pancaindera. Perkara ini turut dikaitkan dengan alam akhirat di mana mimpi dalam kehidupan sekarang berada di luar batas kawalan manusia, sementara pengalaman di alam akhirat akan dikawal secara sedar oleh penerima Fazlur Rahman, 2005. Hal ini bertepatan dengan penegasan dalam ayat al-Quran berikut Maksudnya “Kamilah penolong-penolong kamu dalam kehidupan dunia dan pada hari akhirat dan kamu akan beroleh pada hari akhirat apa-apa yang diingini oleh nafsu kamu, serta kamu akan beroleh pada hari itu apa-apa yang kamu cita-citakan mendapatkannya.” Fussilat, 4131 Kedua, sifat epistemologiko-ontologikal dapat dikaitkan dengan hujah al-Ghazali yang menghubungkaitkan mimpi atau tidur dengan hakikat kematian yang mana premis awalnya adalah untuk meragukan kekuatan akal. Selain ia diperoleh daripada kata-kata Saidina Ali pada masa yang sama, ia turut berasal daripada dalil-dalil wahyu seperti berikut Maksudnya “Allah mengambil jiwa orang yang sampai ajalnya semasa matinya, dan jiwa orang yang tidak mati semasa tidurnya; maka Dia menahan jiwa orang yang Dia tetapkan kematiannya dan melepaskan kembali jiwa yang lain sehingga sampai ajalnya...” az-Zumar, 3942 Maksudnya “Seseorang bertanya kepada Nabi Allah, katanya Wahai Rasul, apakah penduduk syurga itu tidur?’ Maka Nabi SAW menjawab “Tidur itu saudara kematian, sedangkan penduduk syurga tidak akan mati”. Riwayat at-Tabrani dalam al-Awsat, no. hadis931 Selain daripada hakikat kematian, ia turut berhubung dengan hakikat pada hari akhirat. Sungguhpun al-Ghazali tidak menggunakan hujah mimpi untuk menerangkan mengenai transmigrasi jiwa ke dalam badan yang baharu di alam akhirat, namun hujah ini menjadi asas kepada Sadr ad-Din Shirazi 1572-1640 yang menjelaskan bahawa kehidupan selepas mati ialah peralihan intiqal jiwa daripada jasad di alam dunia kepada “jasad” di alam akhirat Fazlur Rahman, 2005. Perkara ini berpandukan hujah al-Ghazali mengenai pengalaman dipatuk ular. Ketika dipatuk ular, seseorang pemimpi merasa sakit pada “jasadnya”, sedangkan jasadnya yang sebenar tidak mengalami sebarang kesan dipatuk al-Ghazali, 2005. Hal ini menunjukkan bahawa manusia akan dibangkitkan semula dengan “jasad jasmani” yang lain di alam akhirat untuk menerima pembalasan setimpal dengan perbuatan jasadnya ketika di alam dunia. Jurnal Ulwan Ulwan’s Journal Jilid 4 2019 26-36 35 KESIMPULAN Makalah ini secara keseluruhannya telah mencapai tujuannya untuk meneliti hujah-hujah al-Ghazali berkenaan “pengalaman” mimpi. Melalui empat hujah yang dijelaskan dalam makalah ini iaitu mimpi sebagai bukti realiti dalam alam barzakh, mimpi berhubung dengan realiti daripada alam ghaib, mimpi terhasil dengan kekuatan daya khayal dan mimpi menjadi hujah keraguan terhadap akal, dapat disimpulkan bahawa hujah-hujah ini bersifat epistemologiko-ontologikal iaitu teori ilmu al-Ghazali memberi kesan terhadap ontologi atau realiti mimpi itu sendiri. Dengan sifat tersebut, isu kefalsafahan seperti penerima sebenar yang mempersepsi imej dalam alam mimpi dijelaskan oleh al-Ghazali. Begitu juga dengan isu kebangkitan semula jiwa manusia dalam bentuk jasad di alam akhirat, walaupun tidak disebut secara langsung oleh beliau, namun telah dijelaskan melalui perasaan yang dialami dalam sesuatu mimpi. PENGHARGAAN Penghargaan khas ditujukan kepada pihak Universiti Sains Malaysia yang telah membiayai penyelidikan ini melalui Geran Penyelidikan Jangka Pendek, Universiti Sains Malaysia 2018-2020 [304/PHUMANITl/6315177] dalam kajian yang bertajuk Konsep Objektiviti dalam Falsafah Penyelidikan Islam Kajian Pemikiran Al-Biruni dan Sadr ad-Din Shirazi. Makalah ini ialah kajian awal kepada pemikiran Sadr ad-Din Shirazi. BIBLIOGRAFI Al-Quran al-Karim, terj. Abdullah Muhammad Basmeih. 2001. Tafsir Pimpinan Ar-Rahman Kepada Pengertian Al-Qur’an ed. Muhammad Noor Ibrahim. Kuala Lumpur Darul Fikir. Adamson, P. & Pormann, 2012. The philosophical works of al-Kindi. Karachi Oxford University Press. Al-Akili, M. M. 1991. Ibn Seerïn’s Dictionary Of Dreams According To Islamic Inner Traditions. Pennsylvania Pearl Publishing House. Al-Ghazali. 2001. Majmuah rasa’il al-Imam al-Ghazali ed. Ibrahim Amin Muhammad. Kaherah al-Maktabah at-Tawfiqiyyah. Al-Ghazali. 2005. Ihya’ Ulum ad-Din. Beirut Dar Ibn Hazm. Al-Ghazali. 2018. Ciri pemisah antara Islam dan zindik terj. Farhan Affandi & Anwar Yusof. Selangor IBDE Ilham. Al-Kutubi, E. S. 2015. Mullā Ṣadrā and eschatology Evolution of being. New York Routledge. Al-Qusyairi. 2017. Sufi sejati terj. Abu Ezzad al-Mubarak. Selangor Pustaka Jiwa. Amru Khalid. 2012. Belajar seni politik daripada Nabi Yusuf terj. Fuadiridza Talib & Dzulfawati Hassan. Selangor Syabab Book Link. Fazlur Rahman. 1964. Dream, imagination, and ālam al-mithāl. Islamic Studies Islamabad, 32, 167-180. Pemikiran Kefalsafahan Al-Ghazali Berkaitan Mimpi Mohd Syahmir Alias 36 Fazlur Rahman. 2005. The philosophy of Mullā Ṣadrā Ṣadr ad-Dīn Muḥammad Shīrāzī. Lahore Suhail Academy. Green, N. 2003. The religious and cultural roles of dreams and visions in Islam. Journal of the Royal Asiatic Society, 133, 287–313. Ibn Khaldun, Abd al-Rahman. 2005. Al-muqaddimah al-juz’ al-awwal ed. Abd al-Salam al-Syidadi. Morocco Al-Dar al-Bayda’. Ibn Qutaybah, Abd Allah bin Muslim 2001. Kitab tabir ar-ru’ya. Damsyik Dar al-Basha’ir. Ibrahim Kalin. 2010. Knowledge in later Islamic philosophy Mullā Ṣadrā on existence, intellect and intuition. Oxford Oxford University Press. Imran N. Hosein. 2001. Dreams in Islam A window to truth and to the heart. New York Masjid Darul Qur’an. Lidwa Pusaka Ensiklopedi hadits kitab 9 imam versi online. Dicapai daripada Mohd Nasir Mohd Tap. 2017. Abu Hamid al-Ghazzali dan epistemologi pencerahan. Selangor Akademi Kajian Ketamadunan. Mohd Zaidi Ismail. 2002. The sources of knowledge in al-Ghazali’s thought A psychological framework of epistemology. Selangor International Institute of Islamic Thought. ResearchGate has not been able to resolve any citations for this al-KutubiThe book explains Sadra's theory of the nature of afterlife. It presents Sadra's philosophical premises concerning the nature of human beings and their physical and psychological developments through which Sadra shows how the afterlife is intimately connected to the nature of the human being and how it is a natural stage of the evolution of each individual in which a corporeal body has no role. Presenting Mulla Sadra in a new light, the aim of this book is to investigate Sadra's metaphysical principles of the Return al-ma'ad that have been either partially presented or misunderstood in most of the existing secondary literature. Focusing on Sadra's philosophical works, specifically the Asfar and his commentary on the Quran, this study demonstrates how Sadra is a philosopher able to carry the premises of the previous philosophical theories to radically different conclusions. Mulla Sadra and Eschatology demonstrates the manner in which Sadra explains the Return as presented in the Quran and Hadith, but also shows how he presents the Return as a natural stage of the evolution of human beings in which a corporeal body has no role. Thus, Sadra offers a plausible philosophical explanation to the problem of bodily resurrection that had occupied Muslim philosophers for centuries. Explaining Mulla Sadra 's distinctive method of "doing" philosophy, this book will be of interest to students and scholars of Islamic Philosophy, Religion and Islamic Studies more KalinThe 17th-century philosopher Sadr al-Din al-Shirazi, known as Mulla Sadra, attempted to reconcile the three major forms of knowledge in Islamic philosophical discourses revelation Qur'an, demonstration burhan, and gnosis or intuitive knowledge 'irfan. In his grand synthesis, which he calls the "Transcendent Wisdom", Mulla Sadra bases his epistemological considerations on a robust analysis of existence and its modalities. His key claim, that knowledge is a mode of existence, rejects and revises the Kalam definitions of knowledge as relation and as a property of the knower on the one hand, and the Avicennan notions of knowledge as abstraction and representation on the other. For Sadra, all these theories land us in a subjectivist theory of knowledge where the knowing subject is defined as the primary locus of all epistemic claims. To explore the possibilities of a "non-subjectivist" epistemology, Sadra seeks to shift the focus from knowledge as a mental act of representation to knowledge as presence and unveiling. For Sadra, in knowing things, we unveil an aspect of existence and thus engage with the countless modalities and colors of the all-inclusive reality of existence. In such a framework, we give up the subjectivist claims of ownership of meaning. The intrinsic intelligibility of existence strips the knowing subject of its privileged position of being the sole creator of meaning. Instead, meaning and intelligibility are defined as functions of existence to be deciphered and unveiled by the knowing subject. This leads to a redefinition of the relationship between subject and object. Nile GreenSince “visions appear material to spiritual persons only, the vulgar herd of historians and annalists cannot hope to be so favoured by Heaven”. So, in his nineteenth-century account of the sūfīs of Sind, Sir Richard Burton expressed the dilemma of scholars researching Muslim dream and visionary experiences in his characteristic style. But while scholarly discussion of the visionary activities of premodern sūfīs and other Muslims is still no straightforward matter we need no longer be deterred by Burton's sardonic pessimism. Despite the reticence of earlier generations of positivist scholarship, the past two decades have witnessed a flourishing of research into the visionary aspects of Muslim religious and cultural practice, chiefly through the analysis of the extensive literature surrounding the dream and vision in Islam. For, from the very beginning of Islamic history, there has developed a rich and varied discourse on the nature of the imagination and its expression in the form of dreams and waking visions. The theoretical approaches to the imagination developed by early Muslim philosophers and mystical theorists were always accompanied by the activities of a more active sodality of dreamers and vision seekers. For this reason, Islamic tradition is especially rich for its contributions to both theories of the imagination and the description of its expression in dream and visionary experience. The abundant yields from this rich research field in recent years afford new insight into the Muslim past, allowing an often intimate encounter with past individuals and private experiences scarcely granted by the analysis of other kinds of philosophical works of al-KindiP AdamsonP E PormannAdamson, P. & Pormann, 2012. The philosophical works of al-Kindi. Karachi Oxford University Seerïn's Dictionary Of Dreams According To Islamic Inner TraditionsM M Al-AkiliAl-Akili, M. M. 1991. Ibn Seerïn's Dictionary Of Dreams According To Islamic Inner Traditions. Pennsylvania Pearl Publishing pemisah antara Islam dan zindik terj. Farhan Affandi & Anwar Yusof. Selangor IBDE IlhamAl-GhazaliAl-Ghazali. 2018. Ciri pemisah antara Islam dan zindik terj. Farhan Affandi & Anwar Yusof. Selangor IBDE 2017. Sufi sejati terj. Abu Ezzad al-Mubarak. Selangor Pustaka seni politik daripada Nabi Yusuf terj. Fuadiridza Talib & Dzulfawati HassanAmru KhalidAmru Khalid. 2012. Belajar seni politik daripada Nabi Yusuf terj. Fuadiridza Talib & Dzulfawati Hassan. Selangor Syabab Book imagination, and 'ālam al-mithālFazlur RahmanFazlur Rahman. 1964. Dream, imagination, and 'ālam al-mithāl. Islamic Studies Islamabad, 32, philosophy of Mullā Ṣadrā Ṣadr ad-Dīn Muḥammad ShīrāzīFazlur RahmanFazlur Rahman. 2005. The philosophy of Mullā Ṣadrā Ṣadr ad-Dīn Muḥammad Shīrāzī. Lahore Suhail Academy.

G Hakikat manusia menurut Imam Al-Ghazali Secara filosofis, memandang manusia berarti berpikir secara totalitas tentang diri manusia itu sendiri, struktur eksistensinya, hakikat atau esensinya, pengetahuan dan perbuatannya, tujuan hidupnya, dan segi-segi lain yang mendukung, sehingga tampak jelas wujud manusia yang sebenarnya.
Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free HAKIKAT ILMU DALA M PERSPEKTIF AL-GHAZALI Y u s l i y a d i Yusliyadi Abstrak Dalam dekade terakhir ini, usaha pengkajian dan pengembangan ilmu pengatahuan dari waktu kewaktu semakin bertambah meningkat, terutama karena adanya kaitan dengan kecendrungan yang semakin tumbuh terhadap pemahaman dan penafsiran ajaran Islam secara rasional. Selain itu juga karena adanya keinginan untuk lebih memperkenalkan khazanah intlektual dan spiritual para cendikiawan muslim masa lampau sebagai suatu sisi lain dari pusaka budaya yang mereka wariskan. Salah satu diantaranya adalah Imam Al-Ghazali yang dikenal dengan gelar hujjatul islam, seorang ulama dan pemikir besar dalam dunia islam yang sangat produktif dalam menulis. Kitab-kitab yang ditulis Al-Ghazali meliputi berbagai bidang ilmu pada zaman itu, seperti Al-Quran, Akidah, ilmu kalam, ushul fikh, tasawwuf, mantiq, falsafah, kebatinan Batiniyah dan lain-lain. Adapun karya yang sangat menumental dan sekaligus membuatnya sangat dominan pengaruhnya dalam pemikiran ummat adalah Tahafut Al-Falsafah, Ihya’ ulumu ad-Din dan al-Munqidz mina’ Dh-Dhalal. Al-Ghazali adalah seorang pemikir besar dalam sejarah pemikiran islam, beliau adalah seorang ahli hukum fikh, filosof dan sufi, dalam pemikiran Al-Ghazali mengakui fase-fase yaitu fase sebelum uzlah, masa uzlah dan sesudah uzlah. Usaha Al-Ghazali dengan sifat kritis beliau berusaha untuk mencari pengatahuan dan kebenaran hakiki termasuk mencari hakikat ilmu. Oleh karena dia memutuska untuk mencari kebenaran yang pasti dimana obyek yang diketahui dalam suatu cara tertentu yang sama sekali tidak memberikan peluang bagi masuknya keraguan, oleh karena itu beliau membagi ilmu menjadi dua. Ilmu sebagai proses dan ilmu sebagai produk. Al-Ghazali adalah penegak tasawuf baru yang mengkompromikannya dengan fiqih dan teologi. Ketiga bidang itu sebelumnya merupakan bidang-bidang yang tidak pernah bisa bertemu, bahkan dipandang saling bertentangan satu sama lain. Kata kunci Ilmu, Al-Ghazali. A. Pendahuluan Ilmu merupakan hal penting dalam islam. Ia merupakan kebutuhan utama bagi manusia dalam mengemban peran sebagai kholifah di muka bumi ini, tanpa ilmu musthail seorang manusia mampu melangsungkan kehidupan sehari-hari didunia ini dengan baik. Al-Ghazali berpendapat bahwa untuk mendapat kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat, seseorang itu hendaklah mempunyai ilmu dan kemudian wajib untuk diamalkan dengan baik dan ikhlas. Keutamaan ilmu tersebut sebenarnya adalah peluang manusia untuk mendapatkan drajat yang lebih baik, dengan dapat menzahirkan existensi manusia itu sendiri. Sedangkan pada hakekatnya kelahiran cara berfikir ilmiah itu merupakan suatu revolusi besar dalam dunia ilmu pengetehuan, karena sebelumnya manusia lebih banyak berfikir menurut gagasan-gagasan magis dan mitologis yang bersifat gaib dan tidak rasional. Dengan cetusan revolusi ilmiah itulah manusia pun mulai sadar bahwa dunia ini dengan segala fenomena-fenomena hidup dan kehidupan di dalamnya merupakan kenyataan-kenyataan obyektif yang dapat diamati dan di geluti secara sistematis dan rasional. Sejak abad ke-17, ilmu pengetahuan empiris berkembang dengan pesat, namun perkembangan itu juga membawa dampak negatif, yaitu dengan mundurnya refleksi filosofis ilmu. Metode ilmu eksekta seringkali diterapkan secara tidak relevan pada bidang penyelidikan yang sebenarnya memerlukan metode yang khas. Akhirnya alternatife dalam metodologi untuk mengimbangi pendekatan timpang emperistis-positivistis yang cenderung luput menangkap dimensi penghayatan manusia. Dalam kenyataannya makin banyak manusia, semakin banyak pula pertanyaan dan problematka keilmuan yang menyelimutinya. Manusia ingin mengetahui darimana dan bagaimana proses munculnya ilmu pengetahuan asal mula akunya sendiri, perihal nasibnya, perihal kebebasannya serta kemungkinan-kemungkinan. Orangpun semakin tidak puas dengan ilmu yang ada dan mereka terus mencari apakah hakikat ilmu itu, untuk apa dan bagaimana orang agar sampai kepada ilmu. Hal inilah yang melatar belakangi munculnya filsafat sains yang bidang kajiannya tentu saja berbeda dengan kajian filsafat secara umum. Dengan argumen-argumen di atas manusiapun menyadari bahwa sains modern bukanlah satu-satunya pilihan mencari jawaban dari setiap pertanyaan keilmuan yang muncul. Dengan paradigma yang berbeda dapat diciptakan sains yang berbeda yang mungkin lebih membahagiakan manusia. Sejarah sains juga telah membuktikan dalam peradaban Mesir, Cina dan Islam sendiri pernah ada suatu sistem pengetahuan yang mampu memenuhi kebutuhan manusia-fisik, mental, dan spiritual dengan bersandar pada paradigma yang diyakini kebenarannya yang telah terbukti di mulailah gerakan pencarian alternatif-alternatif hakikat ilmu itu. B. Al-Ghazali dan Latar Belakang Kehidupannya Nama lengkapnya Abu Hamid Muhammad al-Ghazali, lahir pada tahun 1059 di Ghazaleh suatu kota kecil yang terletak di dekat arus khurasan. Di masa mudanya ia belajar di Nisyapur kemudian ke khurasan yang pada waktu itu merupakan salah satu pusat ilmu pengetahuan yang penting di dunia Islam. Ia kemudian menjadi murid imam al-Haramain al-Juwaini Guru besar pada Madrasah al-Nizamain adalah keluarga pemintal benang Wol Ghazali Shuf. Pada masa kanak-kanak beliau belajar fiqh di Tus pada Imam Al-Razkani, kemudian beliau pindah untuk belajar teologi, logika dan filsafat di Naisabur. Ia kemudian memperdalam ilmunya pada Madrasah Nizamiyyat di Bagdad di bawah bimbingan Imam Haramain. Pada Madrasah ini al-Ghazali mengkaji berbagai ilmu pengetahuan. Ia kemudian di angkat sebagai pemimpin Madrasah tersebut setelah Gurunya meninggal dunia dan tetap di sana selama empat tahun. Ayahnya juga seorang sufi yang sangat wara’ dan meninggal ketika al-Ghazali berusia muda. Sebelum meninggal ia menitipkan al-Ghazali kepada sufi lain untuk memperoleh bimbingan. Untuk menambah pengalamannya al-Ghazali meninggalkan jabatannya sebagai Guru dan mengembara ke Siria, Mesir dan Mekkah, tetapi akhirnya kembali ke Naisapur selanjutnya ke Tus tempat kelahirannya. Di sanalah ia meninggal pada tanggal 14 jumadil Akhir pada tahun 505 H./9 januari 1111 M. Sebelum wafat yakni ketika beliau berada di Bagdad, ia selain mengajar juga memberikan bantahan-bantahan terhadap pikiran-pikiran golongan Bathiniyah, kaum Islamiyah dan para filosof. Pada saat itu \pulalah al-Ghazali senantiasa di bayangi oleh keraguan-keraguan terhadap apa yang pernah di ikhtiarkan sehingga ia pun mengidap penyakit yang tidak bisa diobati, ia kemudiann meninggalkan pekerjaanya dan berangkat ke Damsyik. Di kota inilah Mahdi Ghulsyani, The holy Qur’an and the Science of Nature, diterjemahkan Agus Efendi dengan judul Filsafat Sains menurut Al-Qur’an, Bandung Mizan, 1991, 21. Harun Nasution, Filsafat dan Mistisme dalam Islam, Jakarta Bulan Bintang, 1978, 41. Mahmud Qasim, Dirsat Al-Falsafat al-Islamy, Qairo Dar al-Ma’rif, 1997, 38. Ahmad Daudy, Kuliah Filsafat Islam, Jakarta Bulan Bintang, 1996, 97-98. ia memperoleh inspirasi dan membuka jalan baginya untuk memilih jalan ber-uzlah sebagai cara terbaik dalam menapaki kehidupan jalan uzlah inilah al-Ghazali akhirnya memperoleh berkas cahaya dari Tuhan yang menentramkan jiwanya. Dia menemukan jalan hidup yang ia yakini dan dirasakannya penuh dengan kedamaian, yakni tasawuf. Al-Ghazali tidak lagi mengandalkan akal semata-mata, tetapi di samping tetap menghargai akal sebagai karunia Tuhan juga ada berupa nur yang dilimpahkan kepada hambanya yang bersungguh-sungguh mencari kebenaran. Bagi al-Ghazali akal kadang kala menyeret seseorang kepada pemahaman yang menyesatkan apabila tidak di landasi iman yang kian hari semakin tekun beribadah dan berupaya untuk tidak terpengaruh dengan berbagai kesenangan duniawi dan segala tanda-tanda kebesaran. Ia bertahan dalam hidup dan dalam suasana yang serba kekurangan, larut dalam hidup kerohanian dan senantiasa mengutamakan kepentingan ukhrawi. Dialah orang pertama dalam filsafat sufistik dan tokoh pembesar pembela Aqidah Islam. Setelah berkhalawat di tanah suci dan memperoleh apa yang dia cari ia berusaha untuk menyumbangkan segenap tenaga dan pikirannya membela agamanya dari paham-paham Hakikat Ilmu Mengenai hakikat ilmu secara mutlak tidak dikaitkan dengan objek atau disiplin ilmu tertentu, para ulama islam atau para pakar berbeda pandangan apakah ia merupakan sesuatu yang daruri, a priori, yang dapat dikonsepsi sifatnya begitu saja sehingga tidak memerlukan definisi, atau nazari infrensial, tetapi sulit mendefinisikannya, melainkan hanya bisa lebih jelas dikonsepsi dengan analisis/klasifikasi dan contoh, atau nazari yang tidak sulit ulama Bayaniyyun mengakui sulitnya pendefinesian ilmu, sebab ternyata dikalangan mereka sendiri bermunculan aneka definisi dan masing-masing hanya membenarkan definisinya sendiri. Definisi-definisi terkuat adalah sebagai berikut. Poerwantana, dkk., Seluk Beluk Filsafat Islam, Bandung CV. Rosda Karya Karya, 1988, 166. Yunasril Ali, Perkembangan Pemikiran Filsafat dalam Islam, Jakarta Bumi Aksara, 1991, 68. Endang Daruni Asdi & A. Husnan Aksa, Filsuf-Filsuf Dunia dalam Gambar, Yogyakarta Karya Kencana, Cet. I, 1981, 18. Saeful Anwar, Filsafat Ilmu Al-Ghazali Demensi Ontologi dan Aksiologi, Bandung CV. Pustaka Setia, 2007, 89. 1. Definisi Ibnu Rusyd 520-595 H/ 1126-1198 M  Artinya Sesungguhnya ilmu yaqini adalah mengetahui sesuatu sebagaimana realitasnya Definisi Ibnu Hazm 384-456 H/ 924-1064 M  Artinya Ilmu adalah meyakini sesuatu sebagaimana ralitasnya Definisi Juwaini 419-478 H dan Baqilani keduanya dari Asy’ariyah, dan Abu Ya’la dari Hanabilah sebagai berikut  Artinya Ilmu adalah mengatahui objek ilmu sesuai Definisi Mu’tazilah  Artinya Ilmu adalah mengitikadkan mempercayai sesuatu sesuai dengan kenyataannya disertai ketenangan dan ketetapan jiwa padanya bila ia muncul secara daruri atau nazari. Seperti dirumuskan Abd. Al-Jabbar bahwa Ilmu adalah  Artinya Apa yang menghasilkan ketenangan jiwa, kesejukan dada, dan ketentraman Definisi para filosof kuno  Artinya Ilmu adalah terhasilkannya gambar sesuatu pada akal, sama saja apakah sesuatu itu merupakan universal atau partikuler, baik ada maupun Rusyd, Tahafut al-Tahafut, Bairut Dar al-Fikr al-Lubnani, 1993, 296. Ibn Hazm, Ali Ibn Ahmad, Al-Ihkam fiUsul al-Ahkam,BairutDar Al-Kutub al-Ilmiyah, 38. Al-Juwaini, Al-Irsyad, Mesir Matba’ah al-Madani, 1983, 12-13. Ibid., 14. 6. Definisi Asy-Syaukani w. 1255 H, dari family Zaidi yang didukung Qannuji, sebagai berikut  Artinya Ilmu adalah sifat yang dengannya apa yang dicari terbuka secara sempurna. 7. Sedangkan Eko Ariwidodo Dosen tetap mata kuliah ilmu logika, filsafat ilmu, dan hermeneutika di TBI IAIN Madura, berasumsi bahwa ilmu atau sains itu hanya berurusan semata-mata dengan fakta tidak mendapat dukungan dari praktek sains itu beberapa pandangan tentang pengertian ilmu diatas Al-Ghazali berpendapat bahwa makna lebih penting ketimbang lafazh, oleh karena itu Al-Ghazali menguraikan tiga definisi tentang ilmu tersebut, yaitu definisi esensial haqiqi, definisi formal-differensial rasmi, dan definisi redaksional-eksplanatif lafzi. Karena fungsi dan tujuan difenisi adalah memperjelas apa yang belum jelas, ia hanya diperlukan untuk mengonsepsi sesuatu yang tidak dapat dikonsepsi secara a priori seperti satuan makna simple. Ia tidak menegaskan apakah pengonsepsian hakikat ilmu itu a priori atau inferensial, tetapi ditegaskannya bahwa hakikat ilmu sulit didefinisikan secara hakiki, baik karena esensi, fungsi dan persyaratan definisi sendiri, maupun karena pendifenisian hakikat ilmu selalu terkait dengan konsep ontologis pembuatnnya. Dan bagi Al-Ghazali, ilmu secara subtansial hanya satu tidak ada pemisahan pada ilmu lahir dan ilmu batin, kecuali dari segi itu, menurutnya dan menurut Al-Juwaini, pengonsepsian hakikat ilmu lebih mudah dengan analisis/klasifikasi untuk memproleh makna formal, dan dengan contoh untuk memproleh makna esensial. Dengan analisis ilmu berbeda dengan iradah kehendak, qudrah kemampuan dan sifat jiwa lain, Dan berbeda dengan I’tiqad presuposisi, zann dugaan kuat, syak skeptik, jahl ketidak tahuan dan apa yang diperoleh bukan dengan pembuktian dan berawal dari skeptik. Jika ilmu dengan syak dan zann karena pada dua yang terakhir tidak dapat Ja’far Al-Sahbani, Nazariyyat al-Ma’rifah Bairut al-Dar Al-Islamiyah, 1990, 20. Eko Ariwidodo, Pradigma Reduksionisme Epistemik dalam Rekayasa Genitika, ejournal Al-Ghazali , al-Mustofa min Ilm al-Usul, Bairut Dar al-Fikr, jld. I, 145. kepastian jazm ia berbeda dengan I’tiqad dalam arti memastikan lebih dahulu satu dari dua alternatif dalam posisi yang sebenarnya posisi skeptik, disertai tasawwuf bersitegguh padanya tanpa menyadari kemungkinan benarnya alternatif lain. I’tiqad dalam arti ini, presuposisi sekalipun sesuai denga realitas objek substansinya sendiri merupakan salah satu bentuk jahl kebodohan, maskipun dari sudut relasinya dengan objek bisa berbeda dengan jahl, yakni bila sesuai dengan realitas objek. Dengan demikian hakikat ilmu tidak cukup hanya dengan sesuianya kepercayaan atau pernyataan denga realitas objek, tapi juga mengenai ilmu infrensial, harus berdasarkan metode ilmiah tertentu yang berpangkal pada skeptik dan putusan itu merupakan keyakinan yang pasti. Metode analitik dengan ketiga kriteria ilmu menyangkut aspek aspek ontologies, epistimologis dan aksiologis yang diajukan Al-Ghazali dan inilah yang diikuti dan dirumuskan Ar-Razi bahwa ilmu adalah putusan akal yang pasti dan sesuai dengan realitas objek berdasarkan metode ilmiah mujib menurutnya ada dua jalan untuk memperoleh ilmu, yaitu jalan a prori yang berupa akala a priori badihat al-aql dan empiri sensual dasar awa’il al-hasisi, dan penalaran berdasarkan premis-premis yang berakar palan a priori. Akan tetapi, ia mengakui bahwa ilmu diperoleh pula dengan dengan cara mengikuti orang yang diperintahkan Alloh untuk diikuti, maskipun bukan ilmu a priori dan tanpa argument, sehingga yang mengiktikadkan dan menyatakan sudah memiliki ilmu dan ma’rifah mengenai objek tersebut. Karena pernyataan yang pasti dari subjek selain Nabi tentang wahyu yang diterima Nabi dan sesuai dengan realitas wahyu dan Nabi sendiri berdasarkan metode ilmiah tersebut juga disebut ilmu, sedangkan yang yang tanpa argument adalah I’tikad, dan yang tidak pasti adalah zann atau Al-Ghazali, ada tiga macam tasdiq assent secara gradual. Pertama zann dugaan kuat, yaitu kecondongan jiwa kepada salah satu dari dua perkara dengan mengakui kemungkinan sebaliknya, tetapi kemungkinan ini tidak menghalangi kecondongan pada yang pertama. Al-Ghazali , al-Mustofa min Ilm al-Usul, 133. Saeful Anwar, Filsafat Ilmu Al-Ghazali Demensi Ontologi dan Aksiologi, 97. Kedua I’tiqad jazim kepercayaan yang teguh/tetap, yaitu tasdiq yang pasti, yaitu seseorang tidak ragu dan tidak merasa adanya kemungkinan benar pada kepercayaan lain. Akan tetapi, bila kepercayaan sebaliknya itu diriwayatkan secara kuat dari manusia yang paling pintar dan terpercaya disisinya, seperti Nabi, hal itu menimbulkan keragua tertentu terhadap kepercayaannya. Inilah kepercayaan yang mayoritas kepercayaan mayoritas masyarakat awam dari kalangan muslimin, yahudi dan nashrani mengenai doktrin-doktrin keagamaan dan mazhabnya bahkan mayoritas kepercayaan ahli kalam mengenai doktrin-doktrin keagamaan dan argument-argumen dialektik atau apologetiknya yang mereka terima berdasarkan prasangka baik dan popularitas tokoh-tokohnya, serta penulakan secara a priori terhadap mazhab lain dan dibesarkan dalam tradisi ini sejak masa kanak-kanak. Ketiga ilmu yaqini, yaitu tasdiq yang kebenarannya diyakini secara pasti, disertai keyakinan yang pasti pula bahwa keyakinannya yang pasti itu benar, yakni keduanya tidak mengandung kemungkinan lupa, salah atau bahkan keliru, dan tak terbayang pendapatnya akan berubah dengan alasan apapun. Kalaupun diinformasikan pernyataan yang berlawanan dari nabi, misalnya, dengan bukti kesalahan adalah mukjizatnya, hal ini tidak mempengaruhi pendapatnya, melainkan membuatnya menertawakan, membodohkan, mendustakan, dan menyalahkan pembawa informasi atau nabi palsu itu. Jika masih terlintas dibenaknya kemungkinan bahwa Alloh menjadikan nabi-Nya mampu melihat rahasia yang berlawanan dengan pendapat orang itu, putusannya itu bukahlah ilmu yaqini. Ilmu macam ini misalnya ilmu-ilmu a priori, misalnya bahwa sebagian lebih kecil dari keseluruhan, seseorang tidak berada didua tempat pada waktu yang sama, dan hukum-hukum kontradiksi lain, serta ilmu-ilmu yang diperoleh dari bukti-bukti yang menimbulkan keyakinan yang pasti seperti itu, dengan mengatakan zann hanya bisa diakui dalam dunia dan disiplin ilmu praksis amal dan ilmu amali, seperti ilmu fiqih dan ilmu-ilmu empirik-eksperimental tarbiyah, iman keyakinan keagamaan terbagi tiga kelas srecara gradual, yaitu iman awam, yang berdasarkan taqlid murni mengekor/ikut tanpa argument, iman mutakallimin, yaitu didukung oleh semacam argument, dan Al-Ghazali , al-Mustofa min Ilm al-Usul, 43. iman arifin yang memiliki ma’rifah, yaitu dengan berdasarkan mukasyafah penyingkapan dan musyahadah penyaksian melalui riyadhah latihan spiritual dan mujahadah perjuangan drajad tasdiq/iman ini diumpamakan dengan tasdiq terhadap adanya si Zaid dirumah. Drajad pertama dicapai berdasarkan taqlid semata kepada orang yang menginformasikan hal itu, yang dipercayai berdasarkan pengalaman bahwa ia benar. Demikian iman awam yang memeluk agama warisan dari orang tua atau guru. Disini muslim sama saja dengan umat Yahudi dan Nashrani dari sudut mempercayai sesuatu tanpa argument. Hanya saja, mereka mempercayai yang salah, sedangkan muslim mempercayai yang benar. Drajat kedua, kita mendengar pembicaraan dan suara si Zaid dari dalam rumah sedangkan kita diluar rumah, sehingga kepercayaan kita lebih kuat ketimbang semata-mata berdasarkan informasi orang lain. Akan tetapi hal ini masih mengandung kemungkinan salah, sebab suara kadang bermiripan, maskipun kita tidak menyadarinya. Drajad ketiga, kita masuk kedalam rumah sehingga menyaksikan si Zaid secara langsung dengan mata kepala sendiri musyahadah. Inilah ma’rifah haqiqiyah penyaksian yang meyakinkan, yang mustahil mengandung kemungkinan salah. Drajad inipun gradual, sperti terangnya cahaya, kuatnya konsentrasi dan macam itulah ilmu yaqini yang dicari Al-Ghazali dan menjadi puncak dari filsafat ilmunya, sperti dinyatakan sebagai berikut  Saeful Anwar, Filsafat Ilmu Al-Ghazali Demensi Ontologi dan Aksiologi, 97. Ibid., 99. Artinya Lalu aku berkata dalam diriku pertama-tama apa yang kucari adalah ilmu tentang hakikat segala sesuatu. Maka haruslah lebih dahulu mengatahui apa itu hakikat ilmu. Lalu, tampakkah kepadaku bahwa ilmu yaqini adalah sesuatu yang dengannya objek ilmu terbuka dengan keterbukaan yang tidak mengandung keraguan dan kemungkinan salah serta wahm estimasi. Kalbu mimang sulit untuk menentukan hal itu, tetapi rasa aman dari kesalahan harus menyertai keyakinan sedemikian rupa, sehingga kalaupun ia dinyatakan salah oleh seseorang yang mampu mengubah batu menjadi emas, atau mengobah tongkat menjadi ular, misalnya, hal ini tidak menimbulkan sedikitpun keraguan atau kemungkian salah dalam diriku. Sebab, bila aku mengatahui bahwa 10 lebih banyak dari 3, lalu orang lain mengatakan, tidak, melainkan 3 lebih banyak dari 10, dengan bukti bahwa aku bisa mengubah tongkat ini menjadi ular dan kusaksikan memang terbukti demikian, hal itu tidak menggoyahkan ma’rifah-ku dan tidak menghasilkan apa-apa dalam diriku selain kekaguman atas kemampuannya mengenai hal itu. Adapun skeptik dalam diriku tidak. Kemudian aku tahu bahwa setiap sesuatu yang tidak aku ketahui dengan cara seperti ini, dan aku tidak meyakininya dengan tingkat kepastian sperti ini, adalah ilmu tak dapat dipengangi dan tidak dapat menimbulkan rasa aman, sedang setiap ilmu yang tidak dapat menimbulkan rasa aman bukanlah ilmu analitik dengan ketiga kereteria ilmu yang diajukan Al-Ghazali di atas sebenarnya merupakan refleksi pemikiran khususnya logika, para filosof sebelumnya sperti Alfarabi dan Ibnu Sina. Dan atas jasa Al-Ghazali-lah metode analitik dan klasifikasi kedalam ilmu, I’tiqad, zann, syak, wahm lawan zann dan jahl. Menjadi popular dan kokoh dalam kultur keilmuan islami sesudahnya, baik dalam ilmu kalam atau ilmu ushul fiqh dari berbagai mazhab. D. Penutup 1. Kesimpulan Al-Ghazali hidup ketika suasana pemikiran keagamaan dan kefilsafatan di dunia Islam memperlihatkan perkembangan dan keragaman, khususnya mengenai keragaman ilmu pengetahuan. Sejarah hidupnya menunjukan bahwa ia dalam usahanya mencari kebenaran menempuh proses yang panjang dengan mempelajari hampir seluruh sistem dan metode pemikiran pada masanya. Bagi al-Ghazali pengetahuan yang diperoleh melalui akal bisa saja salah karena pengetahuan yang di peroleh akal berhubungan dengan al-hiss dan al-wahm semata. Al-Ghazali menolak teori kausalitas para filosof, tetapi menerima metode demostratif mereka sebagai alat yang penting bagi pencapaian kepastian rasional dalam berbagi ilmu pengetahuan. Al-Ghazali, al-Munqis min al-Dalal, Mesir Maktabah wa Marba’ah, 1952, 10. Bagi al-Ghazali bukan ilmu namanya kalau tidak membawa ketenangan dan kedamaian baik pada dirinya dan pada masyarakat luas. Daftar Pustaka Ghulsyani, Mahdi. The holy Qur’an and the Science of Nature, diterjemahkan Agus Efendi dengan judul Filsafat Sains menurut Al-Qur’an, Bandung Mizan, 1991. Nasution, Harun, Filsafat dan Mistisme dalam Islam, Jakarta Bulan Bintang, 1978. Qasim, Mahmud, Dirsat Al-Falsafat al-Islamy, Qairo Dar al-Ma’rif, 1997. Daudy, Ahmad, Kuliah Filsafat Islam, Jakarta Bulan Bintang, 1996. Poerwantana, dkk., Seluk Beluk Filsafat Islam, Bandung CV. Rosda Karya Karya, 1988. Ali, Yunasril, Perkembangan Pemikiran Filsafat dalam Islam,Jakarta Bumi Aksara, 1991. A. Husnan Aksa, & Endang Daruni Asdi, Filsuf-Filsuf Dunia dalam Gambar, Yogyakarta Karya Kencana, Cet. I, 1981. Anwar, Saeful, Filsafat Ilmu Al-Ghazali Demensi Ontologi dan Aksiologi, Bandung CV. Pustaka Setia, 2007. Rusyd, Ibnu. Tahafut al-Tahafut, Bairut Dar al-Fikr al-Lubnani, 1993. Ali Ibn Ahmad, Ibn Hazm, Al-Ihkam fiUsul al-Ahkam, BairutDar Al-Kutub al-Ilmiyah, Al-Juwaini, Al-Irsyadd. Mesir Matba’ah al-Madani, 1983. Al-Sahbani, Ja’far. Nazariyyat al-Ma’rifah, Bairut al-Dar Al-Islamiyah, 1990. Ariwidodo, Eko. Pradigma Reduksionisme Epistemik dalam Rekayasa Genitika, ejournal Al-Ghazali, al-Munqis min al-Dalal,Mesir Maktabah wa Marba’ah, 1952. ResearchGate has not been able to resolve any citations for this holy Qur'an and the Science of Nature, diterjemahkanMahdi GhulsyaniGhulsyani, Mahdi. The holy Qur'an and the Science of Nature, diterjemahkanDirsat Al-Falsafat al-Islamy, Qairo Dar al-Ma'rifMahmud QasimQasim, Mahmud, Dirsat Al-Falsafat al-Islamy, Qairo Dar al-Ma'rif, Beluk Filsafat IslamDkk PoerwantanaPoerwantana, dkk., Seluk Beluk Filsafat Islam, Bandung CV. Rosda Karya Karya, 1988.
Paraulama, teolog, filsuf, agamawan, sufi, dan para intelektual hampir semuanya berselisih pendapat dan pandangan tentang agama, alam, manusia, mazhab, bahkan tentang tuhan ada dan tidak. Namun, ketika memasuki prihal kematian semuanya setuju, bahwa setiap makhluk yang hidup pasti akan mati. Kematian tak mengenal waktu, kapan pun, di manapun.
Pendidikan sebagai upaya untuk membangun sumber daya manusia memerlukan wawasan yang sangat luas. karena pendidikan menyangkut seluruh aspek kehidupan manusia baik dalam pemikiran maupun dalam pengalamannya. Oleh karena itu, pembahasan pendidikan tidak cukup berdasarkan pengalaman saja, melainkan dibutuhkan suatu pemikiran yang luas dan mendalam. Salah satunya adalah Imam Al-Ghazali merupakan seorang pemikir besar, sufi dan praktisi pendidikan di dunia Islam. Dalam kajian ini akan dijelaskan tentang hakikat tujuan pendidikan Islam menurut Imam Al-Ghazali. Penelitian ini merupakan penelitian literatur dengan mengkaji tentang hakikat tujuan pendidikan Islam Perspektif Imam Al-Ghazali. Hasil temuan penelitian menunjukkan bahwa; taqarrub mendekatkan diri kepada Allah adalah tujuan pendidikan Islam yang terpenting. Menguasai ilmu bagi Imam Al-Ghazali adalah sebagai media untuk taqarrub kepada Allah dimana tak satupun bisa sampai kepadanya tanpa ilmu. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free 1 HAKIKAT TUJUAN PENDIDIKAN ISLAM PERSPEKTIF IMAM AL-GHAZALI Mokhamad Ali Musyaffa’musyaffa’ . Abstrak Pendidikan sebagai upaya untuk membangun sumber daya manusia memerlukan wawasan yang sangat luas. karena pendidikan menyangkut seluruh aspek kehidupan manusia baik dalam pemikiran maupun dalam pengalamannya. Oleh karena itu, pembahasan pendidikan tidak cukup berdasarkan pengalaman saja, melainkan dibutuhkan suatu pemikiran yang luas dan mendalam. Salah satunya adalah Imam Al-Ghazali merupakan seorang pemikir besar, sufi dan praktisi pendidikan di dunia Islam. Dalam kajian ini akan dijelaskan tentang hakikat tujuan pendidikan Islam menurut Imam Al-Ghazali. Penelitian ini merupakan penelitian literatur dengan mengkaji tentang hakikat tujuan pendidikan Islam Perspektif Imam Al-Ghazali. Hasil temuan penelitian menunjukkan bahwa; taqarrub mendekatkan diri kepada Allah adalah tujuan pendidikan Islam yang terpenting. Menguasai ilmu bagi Imam Al-Ghazali adalah sebagai media untuk taqarrub kepada Allah dimana tak satupun bisa sampai kepadanya tanpa ilmu. Kata kunci Hakikat, Tujuan Pendidikan Islam, Imam Al-Ghazali. Dosen FAI UNISDA Lamongan 2 PENDAHULUAN Pada dasarnya, tujuan diciptakannya manusia adalah untuk menjadi kholifah Allah dalam melaksanakan kewajibannya sebagai hamba Allah, maka untuk mengembangkan potensi-potensi tersebut perlu adanya proses pendidikan. Pendidikan adalah sebagai alat untuk mengarahkan pertumbuhan dan perkembangan hidup manusia kepada titik optimal yaitu mencapai kebaikan hidup di dunia dan akhirat. Selain itu pendidikan sebagai penggalian dan pengembangan fitrah manusia. Sehingga peserta didik memperoleh kemahiran dan keahlian yang sesuai dengan bakat dan tujuan pendidikan yang diharapkan. Pekerjaan mendidik mengandung makna sebagai proses kegiatan menuju kearah tujuannya. Karena pekerjaan tanpa tujuan yang jelas akan menimbulkan suatu ketidakmenentuan dalam prosesnya. Lebih-lebih pekerjaan mendidik yang bersasaran pada hidup psikologis peserta didik yang masih berada pada taraf perkembangan, maka tujuan merupakan faktor yang paling penting dalam proses pendidikan itu. Pendidikan sebagai upaya untuk membangun sumber daya manusia memerlukan wawasan yang sangat luas. karena pendidikan menyangkut seluruh aspek kehidupan manusia baik dalam pemikiran maupun dalam pengalamannya. Oleh karena itu, pembahasan pendidikan tidak cukup berdasarkan pengalaman saja, melainkan dibutuhkan suatu pemikiran yang luas dan mendalam. Pengkajian filosofis terhadap pendidikan mutlak diperlukan karena kajian semacam ini akan melihat pendidikan dalam suatu realitas yang komprehensif. Cara kerja dan hasil-hasil filsafat dapat dipergunakan untuk membantu memecahkan masalah dalam kehidupan dimana pendidikan merupakan salah satu kebutuhan penting dari kehidupan manusia. Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam II Bandung CV. Pustaka Setia, 1997, 56-57. 3 Pendidikan membutuhkan filsafat karena masalah pendidikan tidak hanya menyangkut pelaksanaan pendidikan semata, yang hanya terbatas pada pengalaman. Dalam pendidikan akan muncul masalah yang lebih luas, kompleks dan lebih mendalam yang tidak terbatas oleh pengalaman inderawi maupun fakta-fakta faktual yang mungkin tidak dapat dijangkau oleh sains pendidikan. Imam Al-Ghazali merupakan seorang pemikir besar, sufi dan praktisi pendidikan di dunia Islam. Beliau terkenal sebagai ahli pikir yang berbeda pendapat dengan kebanyakan ahli pikir muslim yang lain pada masanya. Sehingga beliau juga termasuk tokoh besar filosof muslim yang ikut berkontribusi pada kemajuan yang dicapai di zamannya. Dalam kajian ini akan dijelaskan tentang hakikat tujuan pendidikan Islam menurut Imam Al-Ghazali. METODE PENELITIAN Penelitian ini adalah kajian literatur dengan mengumpulkan berbagai macam literatur, seperti jurnal, buku, dokumen dan literatur lainnya yang berkaitan dengan penelitian yang akan dibahas. Analisis data dalam penelitian ini adalah; Pertama, mengumpulkan literatur yang berkaitan dengan penelitian. Kedua, menelaah literatur yang bersangkutan kemudian menganilisisnya untuk menjawab fokus penelitian. PEMBAHASAN A. Biografi Imam Al-Ghazali Imam Al-Ghazali adalah ulama besar dalam bidang agama, beliau termasuk salah seorang terpenting dalam sejarah pemikiran agama secara keseluruhan. Adapun karya terpentingnya adalah “Ihya’ Ulumiddin” yang sangat fenomenal. Buku lainnya yaitu “Al- Munqidz Min Ad-Dhalal”, dalam buku ini beliau merekam Uyah Sadullah, Pengantar Filsafat Pendidikan Bandung Alfabeta, 2003, 8. 4 perjalanan hidupnya sendiri mengenai pengembaraan ruhaninya. Beliau memiliki pemikiran liberal yang sangat cinta terhadap ilmu pengetahuan dan penyingkapan berbagai hakikat. Selain itu beliau tergolong ulama yang taat berpegang kepada Al-Qur’an dan Sunnah, taat menjalankan agama dan menghias dirinya dengan tasawuf. Beliau banyak mempelajari pengetahuan tentang ilmu kalam, filsafat, fiqih dan tasawuf. Dan juga beliau adalah seorang yang banyak mencurahkan perhatiannya terhadap pendidikan sehingga tidak mengherankan jika beliau memiliki konsep Latar Belakang Keluarga Nama lengkap beliau adalah Muhammad Bin Muhammad, kemudian mendapat gelar Imam Besar Abu Hamid Al-Ghazali Hujjatul Islam yang dilahirkan pada tahun 450 H atau 1050 M, di suatu kampung bernama Ghazalah, Thusia, suatu kota di Khurasan Persia. Beliau keturunan Persia dan mempunyai darah Khurasan, Jibal, Irak, Jazirah, Persia dan Ahiraz. Nama beliau kadang diucapkan Ghazzali dua z artinya tukang pintal benang, karena pekerjaan ayah beliau adalah tukang pintal benang wol, sedangkan yang biasa adalah Ghazali satu z diambil dari kota Ghazalah nama kampung kelahiran beliau adalah seorang miskin yang jujur, hidup dari usaha mandiri, bertenun kain wol dan ia sering kali mengunjungi rumah alim ulama, menuntut ilmu dan berkhidmah kepada mereka. Ia ayah Al-Ghazali sering berdo’a Husayn Ahmad Ainin, Seratus Tokoh Dalam Sejarah Islam Bandung PT. Remaja Rosdakarya, 1997, 177-179. Abudin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, Seri Kajian Filsafat Pendidikan Islam Jakarta PT. Remaja Rosdakarta, 2000, 85. Zainuddin dkk, Seluk Beluk Pendidikan Dari Al-Ghazali Jakarta Bumi Aksara, 1991, 7. Abidin Ibn Rusn, Pemikiran Al-Ghazali Tentang Pendidikan Yogyakarta Pustaka Pelajar, 1998, 9. 5 kepada Allah SWT agar diberikan anak yang pandai dan berilmu. Akan tetapi belum sempat menyaksikan jawaban Allah SWT atas do’anya ia meninggal dunia pada saat putra idamannya masih Al-Ghazali bernama Muhammad dan ia sangat menaruh perhatian pada pendidikan anak-anaknya. Al-Ghazali mempunyai seorang saudara, ayahnya tidak ingin kedua anaknya Ahmad dan Al-Ghazali miskin dari ilmu seperti keadaannya. Oleh karena itu menjelang akhir hayatnya, ia menitipkan kedua anaknya kepada sahabat dekatnya untuk dididik sampai habis harta Latar Belakang Pendidikan Setelah ayah beliau meninggal, Al-Ghazali dan saudaranya dididik oleh sahabat karib ayahnya sampai harta warisan dari ayah Al-Ghazali habis, mereka dinasehati agar meneruskan mencari ilmu semampunya karena tidak ada biaya lagi. Al-Ghazali sejak kecil dikenal sebagai anak pecinta ilmu pengetahuan dan penggandrung mencari kebenaran yang hakiki, sekalipun diterpa duka cita, dilanda aneka rupa nestapa dan dilamun sengsara. Dalam menuntut ilmu beliau selalu berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lainnya, dimasa kanak-kanak beliau belajar pertama di wilayah kelahirannya di Thus, beliau belajar tentang dasar-dasar pengetahuan dan fiqih kepada Syekh Ahmad Bin Muhammad Ar-Radzikani. Kemudian beliau belajar kepada Abi Nashr Al-Ismaili di Jurjani, tentang tasawuf. Dan akhirnya beliau kembali ke Thusia lagi. Diceritakan bahwa dalam perjalanan pulangnya, Zainuddin, Seluk Beluk......, 7. Abidin Ibn Rusn, Pemikiran……..., 10. Fathiyah Hasan Sulaiman, Al-Madzhabul Tarbawi Indal Ghazaly, Sistem Pendidikan Versi Al-Ghazaly Bandung Al-Ma’arif, 1986, 13. Imam Al-Ghazali, Munqidh Minad Ad-Dhalal, Setitik Cahaya Dalam Kegelapan Surabaya Pustaka Progresif, 2001, 109. 6 beliau dan teman-teman seperjalanannya dihadang oleh sekawanan pembegal kemudian merampas harta dan bekal yang mereka bawa. Para pembegal merebut tas Al-Ghazali yang berisi kitab-kitab filsafat dan ilmu pengetahuan yang beliau senangi. Kemudian Al-Ghazali berharap kepada mereka agar sudi mengembalikannya, akhirnya kawanan perampok merasa iba dan kasihan lalu mereka mengembalikan kitab-kitab kepadanya. Setelah peristiwa itu beliau menjadi semakin rajin menghafal dan mempelajari kitab-kitabnya, memahami ilmunya dan berusaha mengamalkannya dan juga menyimpan kitab-kitabnya di suatu tempat yang khusus. Sesudah itu Imam Al-Ghazali pindah ke Nisabur untuk belajar kepada seorang ahli agama kenamaan di masanya, yaitu Al-Juwaini Imam Al-Haramain Wafat tahun 478 H atau 1085 M, dari beliau ini Al-Ghazali belajar ilmu kalam, ilmu ushul dan ilmu pengetahuan agama lainnya. Imam Al-Ghazali memang orang yang sangat cerdas dan sanggup mendebat segala sesuatu yang tidak sesuai dengan penalaran yang jernih hingga Imam Al-Juwaini sempat memberi beliau predikat sebagai orang yang memiliki ilmu yang sangat luas bagaikan “Laut dalam nan menenggelamkan Bahrun Mughriq”. Setelah gurunya meninggal beliau pergi ke Istana Nidzam Al-Mulk, Menteri Nidzam Al-Mulk benar-benar kagum melihat kehebatan, kekayaan ilmu pengetahuan, kefasihan lidah dan kejituan argumentasinya. Akhirnya menteri tersebut mengangkat beliau sebagai guru besar di sana Perguruan Al-Nidzomiyah. Setelah empat tahun, beliau memutuskan untuk berhenti mengajar di Bagdad dan meninggalkan Bagdad untuk menjalani kehidupan Fathiyah Hasan Sulaiman, Al-Madzhabul………………, 14 7 sebagai seorang sufi pada tahun 488 H sambil menunaikan ibadah haji. Ketika itu beliau mengalami keraguan yang timbul dalam dirinya setelah beliau mempelajari ilmu kalam yang diperolehnya dari Al-Juwaini. Beliau ingin mencari kebenaran sejati dan mulai tidak percaya kepada pengetahuan yang diperolehnya melalui panca indra, sebab panca indra menurut beliau seringkali tidak benar. Tasawuflah kemudian yang menghilangkan rasa ragu-ragu dalam dirinya. Setelah itu beliau pergi ke Syam dan tinggal di sana sebagai seorang zahid hidup serba ibadah dan mengembara ke berbagai padang pasir melatih diri mendalami masalah kerohanian dan penghayatan agama. Di Syam beliau menulis kitab Ihya’ Ulumuddin, setelah itu beliau pindah ke Baitul Maqdis. Kemudian beliau kembali ke Bagdad kemudian menuju ke daerah asalnya yaitu Khurosan. Di Khurosan beliau mengajar di Madrasah Al-Nidzamiyah di Naisabur dan juga mengajar di Madrasah Al-Fuqoha. Selain itu beliau juga menjadi Imam ahli agama dan membimbing jama’ah kajian tasawuf serta penasehat spesialis dalam bidang agama. Sekembalinya Imam Al-Ghazali ke Bagdad sekitar sepuluh tahun beliau pindah ke Naisabur dan di sana beliau sibuk mengajar dalam waktu yang tidak lama. Setelah itu beliau meninggal dunia di kota Thusia, kota kelahirannya pada tahun 505 H atau 1111 M. B. Hakikat Tujuan Pendidikan Islam Perspektif Imam Al-Ghazali Imam Al-Ghazali, Pembuka dan Penerang, Kitab Asli Tanbih Al-Mughtarrin Bandung PT. Al-Ma’arif, 2001, 20. Imam Al-Ghazali, Munqidh....., 177. 8 Imam Al-Ghazali adalah seorang filosof yang agung dan juga seorang ahli pendidikan yang menonjol. Dalam dua bidang kemampuan tersebut beliau sungguh genius. Dengan menerapkan filsafat kepada pendidikan dan menyuntikkan pendidikan ke dalam filsafat, beliau membuat keduanya sebagai dua disiplin yang tidak dapat dielakkan oleh guru dan muridnya. Walaupun filsafat dan tasawufnya mempengaruhi pandangannya terhadap nilai-nilai kehidupan yang mengarahkan pada kebahagiaan akhirat. Namun Imam Ghazali tidak melalaikan ilmu pengetahuan yang seyogyanya dipelajari lantaran ilmu itu memiliki keistimewaan dan kebagusan. Beliau mengatakan “Ilmu itu adalah keutamaan pada dzatnya secara mutlak tanpa dibandingkan karena ilmu itu adalah sifat kesempurnaan Allah Yang Maha Suci. Dan dengan ilmu malaikat dan para nabi menjadi mulia”. Atas dasar itulah beliau menganggap bahwa mendapatkan ilmu itu menjadi target pendidikan. Karena nilai yang terkandung dalam ilmu itu sendiri dan manusia dapat memperoleh kelezatan dan kepuasan yang ada padanya. Selanjutnya beliau berkata “Apabila kamu memandang kepada ilmu maka kamu melihat lezat pada dzatnya. Jadi ilmu itu di cari karena dzatnya, dan kamu mempelajari ilmu sebagai perantara ke perkampungan akhirat, menuju kebahagiaan akhirat dan jalan mendekatkan diri kepada Allah SWT. Dan tidaklah sampai kepadanya kecuali dengan ilmu. Sebesar-besar tingkat sesuatu adalah sesuatu yang menjadi perantaraan kepadanya. Dan tidak akan sampai kepadanya kecuali dengan amal. Dan tidak akan sampai kepada amal kecuali dengan ilmu Shafique Ali Khan, Filsafat Pendidikan Al-Ghazali Bandung CV. Pustaka Setia, 2005, 128. Imam Al-Ghazali, Ihya’ Ulumiddin, Jilid I, Alih bahasa Moh. Zuhri Semarang CV. Asy-Syifa’, 1993, 41. Fathiyah Hasan Sulaiman, Al-Madzhabul………………, 25. 9 tentang cara mengamalkan. Pangkal kebahagiaan di dunia dan akhirat adalah ilmu, oleh karena itu mencari ilmu adalah seutama-utamanya amal”. Demikian Imam Al-Ghazali sangat memperhatikan kehidupan dunia dan akhirat sekaligus, sehingga tercipta kebahagiaan bersama di dunia dan akhirat. Selanjutnya beliau juga mengatakan “Manusia itu tergabung dalam agama dan dunia, agama tidak teratur kecuali dengan teraturnya dunia karena sesungguhnya dunia itu adalah ladang akhirat. Dunia adalah alat yang menyampaikan kepada Allah SWT. bagi yang mengambilnya sebagai tempat menetap dan tanah air”. Seiring dengan kepribadiannya, beliau tidak memperhatikan kehidupan dunia semata-mata atau kehidupan akhirat semata-mata, tetapi beliau menganjurkan untuk berusaha dan bekerja bagi keduanya tanpa meremehkan salah satunya. Jadi pendidikan yang diharapkan bagi masyarakat muslim khususnya menurut Imam Al-Ghazali tidak sempit dan tidak terbatas bagi kehidupan dunia atau akhirat semata-mata, tetapi harus mencakup keduanya. Akan tetapi kesenangan dan kebahagiaan di dunia adalah sarana untuk mencapai kebahagiaan akhirat, karena kebahagiaan dunia bersifat sementara. Jadi kebahagiaan di dunia merupakan tujuan sementara yang harus dicapai untuk menuju tujuan yang lebih tinggi yaitu mendekatkan diri kepada Allah SWT. dalam rangka mencapai kebahagiaan akhirat. Berangkat dari uraian diatas, Imam Al-Ghazali merumuskan bahwa tujuan pendidikan secara umum adalah untuk menyempurnakan manusia. Yakni manusia yang hidup bahagia di dunia pendidikan yang dirumuskan Al-Ghazali didasari oleh pemikirannya tentang manusia. Menurutnya manusia terdiri atas dua unsur jasad dan ruh jiwa, keduanya mempunyai sifat yang berbeda Imam Al-Ghazali, Ihya’………………., 42. Zainuddin, Seluk Beluk..........., 46. Imam Al-Ghazali, Ihya’………………., 42. 10 tetapi saling mengikat artinya berbeda dalam sifat tetapi sama dalam tindakan. Jasad tidak akan dapat bergerak tanpa ruh atau jiwa. Begitu pula jiwa atau ruh tidak akan mampu bertindak melaksanakan kehendak Sang Maha Penggerak kecuali dengan adanya jasad. Sehingga walau jasad terpisah untuk sementara waktu dengan kematian, kelak akan dibangkitkan dan menyatu kembali untuk menerima balasan atas tindakan yang dilakukan keduanya ketika hidup di dunia. Menurut Abidin Ibn Rusn dalam bukunya “Pemikiran Al-Ghazali Tentang Pendidikan” bahwa pendidikan menurut Imam Ghazali adalah proses memanusiakan sejak masa kejadiannya sampai akhir hayatnya melalui berbagai ilmu pengetahuan yang disampaikan dalam bentuk pengajaran secara bertahap, dimana proses pengajaran itu menjadi tanggung jawab orang tua dan masyarakat menuju pendekatan diri kepada Allah sehingga menjadi manusia sempurna. Menurut Al-Ghazali, pendidikan dalam prosesnya haruslah mengarah kepada pendekatan diri kepada Allah dan kesempurnaan insani, mengarahkan manusia untuk mencapai tujuan hidupnya yaitu bahagia di dunia dan di akhirat. Pendekatan diri kepada Allah merupakan tujuan pendidikan. Orang dapat mendekatkan diri kepada Allah setelah memperoleh ilmu pengetahuan itu sendiri dan ilmu itu tidak dapat diperoleh manusia kecuali setelah melalui pengajaran. Dan dengan ilmu yang diperoleh, maka manusia akan dapat menggali dan mengembangkan potensinya sehingga dapat diraihnya profesi manusia sesuai dengan bakat dan kemampuannya. Syarat untuk mencapai tujuan itu, manusia harus mampu untuk mengembangkan ilmu pengetahuan baik yang termasuk fardhu ain maupun fardhu kifayah. Oleh karena itu, pengiriman para pelajar dan mahasiswa ke negara lain untuk memperoleh spesifikasi ilmu-ilmu kealaman demi kemajuan Negara tersebut, menurut konsep ini tepat sekali. Sebagai implikasi dari Abidin Ibn Rusn, Pemikiran………...., 56. 11 tujuan pendidikan, umat Islam dalam menuntut ilmu untuk menegakkan urusan keduniaan atau melaksanakan tugas-tugas keakhiratan tidak harus dan tidak terbatas kepada negara-negara Islam, akan tetapi boleh dimana saja bahkan di negara anti Islam sekalipun. Dengan menguasai ilmu-ilmu fardhu kifayah selanjutnya manusia dapat menguasai profesi-profesi tertentu kedokteran, pertanian, perusahaan dan manusia dapat melaksanakan tugas-tugas keduniaan dan dapat bekerja dengan sebaik-baiknya. Maka dalam tujuan-tujuan pendidikan ini diharapkan dapat terwujudnya kemampuan manusia yang dapat melaksanakan tugas-tugas keduniaan dengan baik. Ilmu itu untuk diamalkan karena hal itu merupakan langkah awal seseorang dalam belajar guna untuk mensucikan jiwa dari kerendahan budi dan sifat-sifat tercela, dan motivasi pertama adalah untuk menghidupkan syari’at dan misi bukan untuk mencari kemegahan duniawi. Mengejar pangkat atau popularitas. Imam Al-Ghazali berkata “Barang siapa mengetahui, mengamalkan dan mengajarkan ilmunya maka dialah orang yang disebut sebagai orang besar di kerajaan langit. Ia seperti matahari yang menerangi kepada lainnya dan ia menerangi pada dirinya. Dan seperti minyak kasturi yang mengharumi lainnya sedangkan ia sendiri harum. Sedangkan orang yang mengetahui dan tidak mengamalkannya adalah seperti buku yang memberi faidah kepada lainnya padahal ia sendiri kosong dari ilmu”. Jadi sumber kebahagiaan di dunia dan akhirat adalah ilmu yang diamalkan. Menurut Imam Al-Ghazali bahwa ilmu itu dikaitkan dengan ma’rifat artinya pengetahuan atau pengenalan manusia terhadap Tuhannya dengan mata batin Imam Al-Ghazali, Ihya’........, Jilid 1, 170. 12 kemudian merefleksikannya dalam seluruh tingkah laku yang bernilai penghambaan kepada-Nya. Selain itu Al-Ghazali melihat ma’rifat sebagai upaya untuk mengenal dan mengetahui dengan sebenar-benarnya dan penuh keyakinan bahwa hanya Allah-lah yang berhak disembah. Karena Dia-lah yang Maha Agung dan Maha Kuasa. Beliau juga memandang bahwa dunia ini hanyalah padang pengembaraan menuju tempat kembali yakni akhirat. Jadi dunia ini bukan merupakan hal pokok, tidak abadi akan rusak, dunia hanya tempat lewat sementara, tidak kekal dan maut senantiasa mengintai setiap manusia. Dan sebagai sarana untuk meraih kebahagiaan hidup akhirat yang utama dan abadi adalah dunia dengan mencari kebahagiaan akhirat yang merupakan sarana untuk mengantarkan makhluknya kepada Allah SWT. bagi orang yang mengambil dunia sebagai tempat tinggal permanen bukan tempat tinggal yang abadi. Ini menunjukkan bahwa tujuan pendidikan tidak sama sekali menistakan dunia, melainkan dunia itu hanya sebagai alat sarana. Hal ini berdasarkan firman Allah SWT. surat Al-Hadid ayat 20    Artinya “ Kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu”. Tujuan pendidikan yang diinginkan adalah untuk mendapatkan keridhaan-Nya, karena agama merupakan sistem kehidupan yang menitikberatkan pada pengamalan akhirat. Manusia dapat mendekatkan diri kepada Allah SWT. dengan melaksanakan ibadah wajib dan ibadah sunnah, disamping itu juga manusia harus senantiasa mengkaji ilmu-ilmu fardhu ain dan apabila manusia hanya menekuni M. Solihin, Epistimologi Ilmu Dalam Sudut Pandang Al-Ghazali Bandung CV. Pustaka Setia, 2001, 34. Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahnya Semarang Al-Waah, 1993, 903. 13 ilmu fardhu kifayah saja, maka orang tersebut tidak semakin dekat kepada Allah bahkan semakin jauh dari-Nya. Dan hal ini dapat dinyatakan bahwa semakin lama seorang duduk di bangku pendidikan semakin bertambah ilmu pengetahuannya, maka semakin mendekat kepada Allah SWT. Manusia dapat mencapai kesempurnaan lantaran usahanya mengamalkan fadhilah keutamaan melalui pengetahuan, dimana sumber kebahagiaan di dunia dan di akhirat adalah ilmu yang diamalkan untuk kebahagiaan di dunia dan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. akibatnya dengan fadhilah ini manusia dapat meraih kebahagiaan di akhirat. Berangkat dari uraian diatas dapat diketahui bahwa tujuan pendidikan secara umum menurut Imam Al-Ghazali adalah sebagai berikut 1. Mendekatkan diri kepada Allah SWT, yang wujudnya adalah kemampuan dan kesadaran diri melaksanakan ibadah wajib dan sunah. 2. Menggali dan mengembangkan potensi atau fitrah manusia. 3. Mewujudkan profesionalisasi manusia untuk mengemban tugas keduniaan dengan sebaik-baiknya. 4. Membentuk manusia yang berakhlak mulia, suci jiwanya dari kerendahan budi dan sifat-sifat Mengembangkan sifat-sifat manusia yang utama sehingga menjadi manusia yang manusiawi. Abidin Ibn Rusn, Pemikiran………....,58. Fathiyah Hasan Sulaiman, Al-Madzhabul………………, 25. Abidin Ibn Rusn, Pemikiran………....,60. 14 KESIMPULAN Dari hasil studi terhadap pemikiran Imam Al-Ghazali dapat diketahui dengan jelas bahwa taqarrub mendekatkan diri kepada Allah adalah tujuan pendidikan Islam yang terpenting. Meskipun demikian, beliau tidak mengesampingkan masalah-masalah duniawi, karenanya beliau masih memberi ruang dalam system pendidikannya bagi perkembangan ilmu duniawi. Dalam pandangannya, mempersiapkan diri untuk masalah-masalah dunia itu hanya dimaksudkan sebagai jalan menuju hidup di akhirat yang lebih utama dan kekal. Menguasai ilmu bagi Imam Al-Ghazali adalah sebagai media untuk taqarrub kepada Allah dimana tak satupun bisa sampai kepadanya tanpa ilmu. Tingkat termulia bagi seorang manusia adalah kebahagiaan yang abadi, diantara wujud yang paling utama adalah wujud yang menjadi perantara kebahagiaan, sedangkan kebahagiaan itu tak mungkin tercapai kecuali dengan ilmu dan amal, dan amal tak mungkin dicapai kecuali jika ilmu tentang cara beramal dikuasai. Dengan demikian, maka modal kebahagiaan di dunia dan akhirat tak lain adalah ilmu. 15 DAFTAR PUSTAKA Ainin, Husayn Ahmad, Seratus Tokoh Dalam Sejarah Islam, Bandung PT. Remaja Rosdakarya, 1997. Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Semarang Al-Waah, 1993. Al-Ghazali, Imam, Ihya’ Ulumiddin, Jilid I, Alih bahasa Moh. Zuhri, Semarang CV. Asy-Syifa’, 1993. Al-Ghazali, Imam, Munqidh Minad Ad-Dhalal, Setitik Cahaya Dalam Kegelapan Surabaya Pustaka Progresif, 2001. Al-Ghazali, Imam, Pembuka dan Penerang, Kitab Asli Tanbih Al-Mughtarrin, Bandung PT. Al-Ma’arif, 2001. Khan, Shafique Ali, Filsafat Pendidikan Al-Ghazali, Bandung CV. Pustaka Setia, 2005. Nata, Abudin, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, Seri Kajian Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta PT. Remaja Rosdakarta, 2000. Rusn, Abidin Ibn, Pemikiran Al-Ghazali Tentang Pendidikan, Yogyakarta Pustaka Pelajar, 1998. Sadullah, Uyah, Pengantar Filsafat Pendidikan, Bandung Alfabeta, 2003. Solihin, M., Epistimologi Ilmu Dalam Sudut Pandang Al-Ghazali, Bandung CV. Pustaka Setia, 2001. Sulaiman, Fathiyah Hasan, Al-Madzhabul Tarbawi Indal Ghazaly, Sistem Pendidikan Versi Al-Ghazaly, Bandung Al-Ma’arif, 1986. Uhbiyati, Nur, Ilmu Pendidikan Islam II, Bandung CV. Pustaka Setia, 1997. Zainuddin dkk, Seluk Beluk Pendidikan Dari Al-Ghazali, Jakarta Bumi Aksara, 1991. . Ali ImronAri Saidul MujazinMoral education plays an important role in forming superior human beings. This paper aims to describe the moral values contained in poetry or Geguritan "Nurani Peduli" by Handoyo Wibowo and look at the process of internalizing these moral values in students of the Baitul Huda Islamic elementary school Semarang city through the Javanese language course. In addition, this paper also aims to see the implications of internalizing these moral values for students. This paper uses a qualitative-phenomenological type of research that uses students, teachers, and school principals as research subjects. Based on the results of the study it was concluded that First, the moral values contained in geguritan include harmony, wisdom, humility, awareness, and development of taste. Second, the internalization process is carried out in three stages, namely the information stage by providing material on the moral values contained in Geguritan "Nurani Peduli", the appreciation stage through direction and guidance and exemplary students, and the value application stage by providing motivation and encouragement to students to apply good grades in the form of actions. Third, the implications of internalization can be seen from three aspects, namely cognitive, affective, and psychomotor. Characterized by the integration of learning materials with an attitude of empathy, awareness, tolerance, and a sense of responsibility in social AininAhmadAinin, Husayn Ahmad, Seratus Tokoh Dalam Sejarah Islam, Bandung PT. Remaja Rosdakarya, ImamDan PenerangAl-Ghazali, Imam, Pembuka dan Penerang, Kitab Asli Tanbih Al-Mughtarrin, Bandung PT. Al-Ma'arif, Ilmu Dalam Sudut Pandang Al-GhazaliM SolihinSolihin, M., Epistimologi Ilmu Dalam Sudut Pandang Al-Ghazali, Bandung CV. Pustaka Setia, 2001.
GqvVC.
  • 6fljezuwal.pages.dev/426
  • 6fljezuwal.pages.dev/230
  • 6fljezuwal.pages.dev/146
  • 6fljezuwal.pages.dev/353
  • 6fljezuwal.pages.dev/35
  • 6fljezuwal.pages.dev/382
  • 6fljezuwal.pages.dev/93
  • 6fljezuwal.pages.dev/72
  • hakikat kematian menurut imam al ghazali