Ilustrasi fungsi hati dan akal menurut Imam Al Ghazali. Foto adalah mahkluk yang memiliki derajat tinggi dibandingkan makhluk lain. Hal tersebut karena manusia memiliki pikiran dan budi pekerti dalam akal dan hatinya. Akan tetapi banyak manusia yang kesulitan dalam memahami makna keduanya. Akibatnya adalah manusia akan lebih condong dalam salah satu sisi. Padahal sejak dahulu para ulama sudah menjelaskan hubungan antara hati dan akal, misalnya Imam Al Ghazali. Berikut hakikat hubungan antara hati dan akal menurut Imam Al Imam Al GhazaliM. Kamalul Fikri, dalam bukunya berjudul Imam Al-Ghazali 202213, Al-Ghazali atau Algazel merupakan sebutan populer untuk Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad at-Thusy. la kemudian juga dikenal dengan nama kunyah Abu Hamid yang berarti bapak Hamid. Namun demikian, kunyah tersebut tidak pasti berarti bahwa Al-Ghazali memiliki anak laki-laki yang diberi nama Hamid. Data yang ditemukan menunjukkan bahwa hanya putri-putri Al-Ghazali yang hidup sampai ia meninggal. Selain itu, Al-Ghazali juga memiliki beberapa nama julukan, yakni Al-Imam, Hujjatul Islam, Zainul 'Abidin, A'jubah az-Zaman, dan Al Ghazali lahir pada 450/1058, yakni sekitar empat setengah abad setelah Nabi Muhammad SAW hijrah dari Makkah ke Madinah, dan sekitar tiga puluh tahun setelah Dinasti Seljuk menduduki Baghdad. Abu Hamid lahir di Kota Thus, Provinsi Khurasan, Persia Iran, sebuah kota miskin yang disebabkan kekeringan panjang sehingga penduduknya pun mengalami kelaparan selama beberapa tahun. Al-Ghazali diketahui dimakamkan Tabiran, Qasabah, Hati dan Akal Menurut Imam Al GhazaliHati berasal dari bahasa Arab qal-bun yang artinya jantung. Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia KBBI, jantung adalah bagian tubuh yang menjadi pusat peredaran darah letaknya di dalam rongga dada sebelah atas.Definisi hati menurut Imam Al-Ghazali memiliki dua definisi, yakniDefinisi hati pertama sebagai hati fisik yaitu daging yang berbentuk seperti buah shanaubar bentuk bundar memanjang yang terletak di bahagian kiri dada yang mana di dalamnya terdapat rongga-rongga yang menyalurkan darah hitam dan berperanan sebagai sumber nyawa manusia. Definsi hati yang pertama ini wujud pada hewan dan juga pada manusia yang telah hati kedua ditakrifkan hati sebagai hati spiritual yaitu sesuatu yang bersifat halus lathifah dan bersifat ketuhanan rabbaniyyah. Hati dalam definisi kedua ini menggambarkan hakikat diri manusia yang mana hati berfungsi untuk merasai, mengenali dan mengetahui sesuatu perkara atau ilmu. Menurut beliau, hati fisik sangat berkait dengan hati spiritual. Namun, beliau tidak mengulas panjang berkenaan hubungan hati fisik dengan hati spiritual kerana itu termasuk di bawah ilmu akal berasal dari bahasa Arab al-aql yang bersumber dari kata kerja ain, qaf, dan lam yang artinya meningkat dan menawan. Kata al-aql juga sama dengan al-idrak kesadaran, dan al-fikr pikiran, al-hijr penahan, al-imsak penahanan, al-ribat ikatan, al-man’u pencegah, dan al-nahyu larangan.Menurut Imam Al Ghazali, akal merupakan salah satu substansi imaterial yang menunjuk esensi manusia. Akal adalah sesuatu yang halus yang merupakan hakikat manusia, sama dengan al-qalb, al-nafs, dan al-ruh, yang berbeda hanya namanya saja, bahkan akal adalah entitas jiwa yang terlibat dengan inteligensia yang dalam hal ini ia bisa juga disebut dengan intelek’.Ilustrasi hati dan akal berdasarkan wahyu Allah SWT. Foto Hati dan Akal Menurut Imam Al GhazaliImam Al Ghazali menyebutkan hati sebagai akal berlandaskan Al-Quran dan hadits. Sebagaimana firman Allahلَهُمْ قُلُوبٌ يَعْقِلُونَ بِهَاArtinya, “Mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami” QS. Al-HajjL 46Akal maupun hati adalah satu entitas yang sama namun kedua istilah ini mempunyai karakteristik yang membedakan satu sama lain. Hati juga menerima kebenaran namun dalam urusan spiritual, sedangkan akal terbatas dalam urusan inteligensia. Ketika akal hanya berurusan dalam persoalan rasional-empiris, hati lebih menekankan pada sisi rasional-emosional-spiritual untuk memahami fenomena alam dan ayat-ayat Allah. Perbedaan kemampuan ini sejatinya untuk menggapai dua dimensi alam yang berbeda, yaitu alam indra alam syahadah dan alam supernatural alam malakut atau alam ghaib.Selanjutnya, kemampuan hati dalam menjangkau alam metafisik selalu didukung oleh pengetahuan akal, namun pengetahuan ini tidaklah cukup menghindarkan hati dari kesalahan kecuali dengan menerima pengetahuan agama melalui ajaran para nabi. Adanya pengetahuan dari wahyu ini selanjutnya memberi konsekuensi pada hati untuk melaksanakan ajaran yang ada di dalam wahyu. Di sinilah peran hati, yaitu dia juga berakal dan mampu berpikir untuk membenarkan adanya tanzil wahyu. Sebab itu, orang yang tidak yang tidak menerima wahyu Allah, berarti hatinya tidak berakal qulubun la ya’qilun atau buta mata hatinya terhadaprealitas ayat-ayat Allah ta’ma al-qulub.Kelebihan hati atas akal adalah bahwa hati mampu melihat segala hakikat kebenaran. Akal hanya bisa menangkap pengetahuan secara terbatas, yaitu pengetahuan yang hanya bersifat rasional dan empiris melalui indra dan daya nalar, sedangkan hati mampu menangkap kebenaran pengetahuan secara tidak terbatas. Kemampuan yang tidak terbatas itu diperoleh dengan dzauq atau intuisi. Dengan dzauq ini hati dapat memperoleh ilm mukasyafah yang tidak bisa dilalui lewat akal. Namun kemampuan hati ini sering dihalangi oleh kotoran yang mengendap di hati, sehingga menghalanginya untuk menangkap realitas dasarnya, hati dan akal harus saling melengkapi satu sama lain, bukan untuk memenangkan salah satunya. Seseorang yang menggunakan hati dan akalnya dengan baik akan berperliaku dengan baik. Terlebih lagi jika mengikuti Al-Quran dan hadits terbebas dari kebutaan akan kebenaran.MZM
ABSTRAK Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali 1058-1111 atau al-Ghazali merupakan seorang pemikir Islam yang dikenali sama ada Timur dan Barat dunia. Idea-ideanya mencakupi segenap bidang dalam pemikiran Islam seperti ilmu kalam, falsafah, tasawuf dan usul fikah. Walau bagaimanapun, makalah ini berhasrat memfokuskan pemikiran kefalsafahan al-Ghazali yang menjurus kepada subjek mimpi. Hal ini kerana, mimpi yang benar merupakan satu daripada 46 tanda-tanda kenabian dari perspektif Islam yang dialami tanpa mengira agama atau bangsa. Oleh sebab ia merupakan sebuah "pengalaman", al-Ghazali menjadikannya sebagai hujah-hujah untuk menerangkan beberapa aspek falsafah. Justeru, makalah ini secara lebih spesifik akan menumpukan kepada hujah-hujah kefalsafahan al-Ghazali berkenaan "pengalaman" mimpi. Makalah ini mengumpulkan data daripada karya-karyanya dengan menggunakan kaedah kajian dokumen, seterusnya menganalisis data tersebut dengan menggunakan kaedah analisis kandungan. Secara inti patinya, pemikiran al-Ghazali mengenai mimpi dapat dibahagikan kepada dua bidang penting dalam falsafah iaitu epistemologi teori ilmu dan ontologi teori kewujudan. Oleh sebab terdapat pengaruh epistemologi terhadap ontologi dalam penghujahannya, maka pemikiran beliau mengenai mimpi ini dapat dirangkumkan sebagai bersifat epistemologiko-ontologikal. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free Pemikiran Kefalsafahan Al-Ghazali Berkaitan Mimpi Mohd Syahmir Alias 26 PEMIKIRAN KEFALSAFAHAN AL-GHAZALI BERKAITAN MIMPI Mohd Syahmir Alias Bahagian Falsafah dan Tamadun, Pusat Pengajian Ilmu Kemanusiaan Universiti Sains Malaysia syahmir ABSTRAK Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali 1058-1111 atau al-Ghazali merupakan seorang pemikir Islam yang dikenali sama ada Timur dan Barat dunia. Idea-ideanya mencakupi segenap bidang dalam pemikiran Islam seperti ilmu kalam, falsafah, tasawuf dan usul fikah. Walau bagaimanapun, makalah ini berhasrat memfokuskan pemikiran kefalsafahan al-Ghazali yang menjurus kepada subjek mimpi. Hal ini kerana, mimpi yang benar merupakan satu daripada 46 tanda-tanda kenabian dari perspektif Islam yang dialami tanpa mengira agama atau bangsa. Oleh sebab ia merupakan sebuah “pengalaman”, al-Ghazali menjadikannya sebagai hujah-hujah untuk menerangkan beberapa aspek falsafah. Justeru, makalah ini secara lebih spesifik akan menumpukan kepada hujah-hujah kefalsafahan al-Ghazali berkenaan “pengalaman” mimpi. Makalah ini mengumpulkan data daripada karya-karyanya dengan menggunakan kaedah kajian dokumen, seterusnya menganalisis data tersebut dengan menggunakan kaedah analisis kandungan. Secara inti patinya, pemikiran al-Ghazali mengenai mimpi dapat dibahagikan kepada dua bidang penting dalam falsafah iaitu epistemologi teori ilmu dan ontologi teori kewujudan. Oleh sebab terdapat pengaruh epistemologi terhadap ontologi dalam penghujahannya, maka pemikiran beliau mengenai mimpi ini dapat dirangkumkan sebagai bersifat epistemologiko-ontologikal. Kata kunci pemikiran Islam, epistemologi, ontologi, al-Ghazali, mimpi AL-GHAZALI’S PHILOSOPHICAL THOUGHT ABOUT DREAM ABSTRACT Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali 1058-1111 or al-Ghazali was a prominent Islamic thinker known in both East and West regions of the world. His idea encompassed in major areas of Islamic thoughts such as theology, philosophy, mysticism and usul al-fiqh Islamic principles of jurisprudence. However, this article aims to focus on al-Ghazali’s philosophical thought on the subject matter of dream, since true dream is one of 46 signs of prophecy in Islam which experienced by human regardless of their religions or races. Because it is an “experience”, al-Ghazali made dream as the arguments to Jurnal Ulwan Ulwan’s Journal Jilid 4 2019 26-36 27 explain some philosophical aspects. Hence, this article will specifically focus more on al-Ghazali’s philosophical arguments regarding “experience” of the dream. Based on document study, this article collects the data from his own works, then analyse them using content analysis methods. In a nutshell, al-Ghazali’s thought about dream can be divided into two important areas of philosophy, which is epistemology theory of knowledge and ontology theory of existence. Due to his epistemological arguments which affects his thought on the ontology of dream, I reformulate it as being epistemologico-ontological in nature. Keywords Islamic thoughts, epistemology, ontology, al-Ghazali, dreams PENGENALAN Mimpi dari sudut pandang pentafsir-pentafsir mimpi Muslim dibahagikan kepada tiga jenis al-Akili, 1991. Pertama, mimpi benar daripada Allah SWT; kedua, mimpi yang menyedihkan daripada syaitan; dan ketiga, mimpi ilusi daripada khayalan seseorang pemimpi. Hal ini dapat dilihat dalam hadis berikut Maksudnya “Apabila hari kiamat telah dekat, maka jarang sekali mimpi seorang Muslim yang tidak benar. Orang yang paling benar mimpinya ialah yang paling benar dalam berkata. Mimpi seorang Muslim adalah satu daripada 46 bahagian kenabian. Mimpi itu ada tiga jenis mimpi yang baik ialah khabar gembira daripada Allah AWJ, mimpi yang membuat kita sedih ialah daripada syaitan dan mimpi yang timbul kerana ilusi atau khayal seseorang. Oleh itu, jika kamu bermimpi yang tidak kamu senangi, bangunlah, kemudian solatlah dan jangan ceritakannya kepada orang lain.” Riwayat Muslim, no. hadis4200; Ahmad, no. hadis10185 Dalam hadis yang sama juga, Rasulullah SAW menjelaskan bahawa mimpi merupakan sebahagian daripada kenabian atau wahyu. Mimpi baik yang berasal daripada Allah SWT merupakan sejenis wahyu yang datang kepada seseorang Muslim yang baik dan membawa khabar gembira atau peringatan. Ia akan menyebabkan seseorang merefleksi tindakannya dan berhati-hati daripada kelalaian. Di sisi lain, jenis mimpi ini boleh menjadi teguran terhadap tindakan yang tercela atau tindakan yang disangka tindakan yang sepatutnya untuk dilakukan al-Akili, 1991. Oleh yang demikian, dalam tradisi pemikiran Islam, jenis mimpi yang banyak dibicarakan ialah mimpi yang benar ar-ru’ya as-sadiq. Premis berkenaan mimpi jenis ini dapat diperoleh daripada sebuah hadis Maksudnya “Wahai manusia, tidak tersisa lagi khabar kenabian kecuali mimpi yang baik, yakni mimpi yang dilihat atau diperlihatkan kepada seorang Muslim.” Riwayat an-Nasa’i, no. hadis1035 Pemikiran Kefalsafahan Al-Ghazali Berkaitan Mimpi Mohd Syahmir Alias 28 Berdasarkan hadis tersebut, mimpi menjadi salah satu saluran penyampaian berita-berita kebaikan oleh Allah SWT kepada orang-orang Islam. Hal ini kerana, selepas kewafatan Rasulullah SAW selaku Nabi dan Rasul terakhir, penyampaian khabar kebaikan tidak berhenti kerana dapat dialami oleh seseorang Muslim melalui mimpi Amru Khalid, 2012. Menurut Ibn Khaldun 2005, seseorang yang menerima mimpi yang baik mempunyai persamaan dengan seorang Nabi yang menerima wahyu, namun lebih bawah hierarkinya berbanding mimpi para Nabi itu sendiri. Justeru, mimpi dalam Islam mempunyai signifikan yang tersendiri iaitu sebagai satu bentuk kebersediaan manusia untuk menerima sesuatu perkara yang berbentuk kerohanian. Hadis tersebut juga dapat dihubungkaitkan dengan mimpi-mimpi yang disebutkan dalam al-Quran. Menurut Imran N. Hosein 2001, sekurang-kurangnya terdapat tujuh kisah mimpi yang diperoleh daripada ayat-ayat al-Quran iaitu 1. mimpi Nabi Ibrahim mengorbankan anaknya as-Saffat, 37102; 2. mimpi Nabi Yusuf dengan matahari, bulan dan planet yang tunduk kepadanya Yusuf, 124; 3. mimpi banduan yang dipenjarakan bersama Nabi Yusuf memerah anggur Yusuf, 1236; 4. mimpi banduan yang dipenjarakan bersama Nabi Yusuf menjunjung roti yang dipatuk oleh burung Yusuf, 1236; 5. mimpi raja Mesir tentang lembu dan bijirin Yusuf, 1243; 6. mimpi Nabi Muhammad melihat tentera musuh al-Anfal, 843; dan 7. mimpi Nabi Muhammad SAW memasuki Masjid al-Haram al-Fath, 4827. Daripada ketujuh-tujuh kisah mimpi ini, empat daripadanya ialah kisah mimpi para Nabi. Hal ini menunjukkan bahawa wahyu sememangnya diturunkan juga dalam bentuk mimpi yang benar kepada para Nabi Ibn Khaldun, 2005. Malah, kisah mimpi dalam al-Quran juga menunjukkan bahawa mimpi dalam Islam sering dikaitkan dengan pentafsirannya. Perkara ini dapat dilihat secara jelas mengenai pentafsiran tiga buah mimpi oleh Nabi Yusuf dan juga pentafsiran Nabi Yaakub terhadap mimpi Nabi Yusuf Imran N. Hosein, 2001. Malah, dalam tradisi keilmuan Islam, terdapat beberapa tokoh ilmuwan yang menulis berkenaan ilmu tafsir atau taabir mimpi. Antaranya ialah Ibn Qutaybah 2001 dengan karyanya, Kitab Tabir ar-Ru’ya. Walau bagaimanapun, tradisi falsafah Islam yang pada awalnya banyak mengolah pandangan yang dikemukakan oleh pandangan ahli falsafah Yunani Adamson & Pormann, 2012; Green, 2003. Hal ini mengubah corak perbincangannya daripada sekadar ilmu tafsir dan taabir mimpi kepada perbincangan “pengalaman” mimpi yang bersabit dengan perkembangan psikologi dan eskatologi manusia al-Kutubi, 2015. Menurut Fazlur Rahman 1964, al-Ghazali antara pemikir Muslim terawal yang membincangkan perihal eskatologi melalui hujah pengalaman dalam mimpi yang buruk. Perkara ini menarik perhatian ahli falsafah dan ahli sufi terkemudian seperti Ibn Arabi, Suhrawardi dan Sadr ad-Din Shirazi untuk mengembangkan lagi teori tersebut al-Kutubi, 2015; Fazlur Rahman, 1964. Jurnal Ulwan Ulwan’s Journal Jilid 4 2019 26-36 29 Oleh yang demikian, makalah ini secara umumnya berhasrat meneliti pemikiran al-Ghazali yang menjurus kepada mimpi. Secara lebih spesifik, makalah ini menumpukan kepada hujah-hujah kefalsafahan al-Ghazali berkenaan “pengalaman” mimpi. Dengan menggunakan kajian dokumen, makalah ini memperoleh data daripada dua sumber. Pertama, karya-karya asal al-Ghazali dan terjemahannya. Kedua, buku-buku dan artikel-artikel jurnal oleh penulis dan pengkaji lain berkenaan pemikiran al-Ghazali. Makalah ini seterusnya menganalisis berdasarkan kaedah analisis kandungan. Hasilnya dibahaskan dalam dua bahagian berikut. Pertama, hujah-hujah al-Ghazali berkaitan mimpi; dan kedua, analisis kefalsafahan terhadap hujah mimpi al-Ghazali. PEMIKIRAN AL-GHAZALI BERKAITAN MIMPI Menurut Ibrahim Kalin 2010 dan Fazlur Rahman 1964, ahli falsafah Muslim seperti al-Farabi dan Ibn Sina menggunakan hujah “pengalaman” mimpi dan imaginasi untuk merasionalkan “penurunan wahyu kepada para Nabi”. Namun, di sisi al-Ghazali terdapat signifikan lain terhadap “pengalaman” mimpi. Sekurang-kurangnya, terdapat empat signifikan yang dapat diperturunkan dalam makalah ini. Pertama, realiti dalam alam barzakh; kedua, realiti daripada alam al-malakut wa’l-ghayb; ketiga, kekuatan daya khayal; dan keempat, skeptisisme terhadap akal. Keempat-empat hujah ini dibincangkan dalam empat pecahan bahagian berikut. 1. Realiti Dalam Alam Barzakh Dalam karya monumentalnya iaitu Ihya’ Ulum ad-Din, al-Ghazali 2005 menjelaskan berkenaan sebuah hadis azab terhadap orang yang ingkar kepada Allah SWT di alam kubur atau barzakh, beliau mengatakan bahawa tinnin 99 ekor ular yang menyakiti individu tersebut merupakan perkara-perkara yang nyata yang “dirasai” secara “zahir” olehnya melalui “deria” yang tidak dapat dipersepsikan oleh manusia lain yang masih hidup. Al-Ghazali seterusnya memberikan tiga tasdiq pembenaran, di mana pembenaran yang kedua merujuk penjelasan ini dengan fenomena mimpi yang menakutkan. Dalam alam mimpi, seorang pemimpi merasai ketakutan dan rasa sakit seperti “nyata”. Perkara yang sama juga dirasai dalam alam barzakh, ular yang menyerang pendosa dalam kubur adalah wujud secara objektif. Al-Ghazali 20051884-1885 menyebut Terjemahannya “Bahawa anda mengingati keadaan orang yang tidur, dia kadang-kadang bermimpi dalam tidurnya seekor ular mematuknya, dia merasa sakit dalam keadaan demikian sehingga anda melihatnya memekik dalam tidurnya dan berpeluh-peluh dahinya, kadang-kadang dia terkejut daripada tempatnya. Semua yang demikian itu diketahui oleh dirinya sendiri, dia merasa sakit dengannya sebagaimana dirasakan sakit oleh orang yang tidak tidur.” Pemikiran Kefalsafahan Al-Ghazali Berkaitan Mimpi Mohd Syahmir Alias 30 Menurut Fazlur Rahman 1964, hujah al-Ghazali tentang kewujudan objektif objek-objek zahir dalam alam barzakh adalah berbeza sama sekali dengan ahli teologi dogmatik yang selalu disebut dengan ayat ortodoks “kita tahu mereka ada, tetapi kita tidak tahu bagaimana”. Al-Ghazali memberikan status ontologi yang jelas kepada sebarang seksaan di kubur, malah turut menegaskan bahawa kemungkinan seseorang mempersepsikan seksaan-seksaan tersebut dengan “deria yang lain”. Oleh sebab perasaan sakit yang dirasai dalam mimpi sekiranya seseorang dipatuk ular, maka tidak ada bezanya antara ular “khayalan” dalam mimpi dengan ular yang disaksikan dalam alam jasmani al-Ghazali, 2005. 2. Realiti Daripada Alam Al-Malakut Wa’l-Ghayb Al-Ghazali dalam Bab Kelapan karyanya yang sama iaitu Ihya’ Ulum ad-Din menjelaskan bahawa mimpi berperanan dalam memperoleh ilmu daripada alam al-malakut wa’l-ghayb. Bagi para Nabi dan wali, mereka berupaya menerima perkara-perkara daripada alam al-malakut wa’l-ghayb dalam keadaan sedar. Walau bagaimanapun, berbeza dengan orang kebiasaan, mereka hanya dapat menerimanya melalui mimpi. Ketika tidur, hati dapat menerima gambaran ilmu daripada alam tersebut kerana deria tidak lagi berinteraksi dengan alam deria. Menurut al-Ghazali 20051889 Terjemahannya “... sibuknya hati dengan syahwatnya dan yang dikehendaki oleh pancaindera itu pada hijab yang dilepaskan antaranya dengan Lawh yang dia itu sebahagian daripada alam al-malakut... Makna tidur adalah bahawa tenanglah pancaindera padanya, lalu ia tidak membawakannya kepada hati. Maka, apabila ia terlepas daripadanya dan daripada khayal dan ada dia itu bersih pada zatnya, nescaya terangkatlah hijab di antaranya dengan Lawh al-Mahfuz.” Dengan nada yang sama dalam Kimiya’ as-Saadah, al-Ghazali 2001 menjelaskan bahawa penerima yang sebenar ketika mimpi itu ialah hati. Hal ini kerana, pada hati, terdapat satu “pintu – al-bab” yang dibuka ketika pancaindera sedang berehat. Misalnya, seseorang yang bermimpi bertemu dengan Nabi Muhammad SAW pada hakikatnya tidaklah melihat jasad sebenar Baginda dari Madinah ke tempatnya, sebaliknya hanya melihat imej Baginda daripada alam al-malakut wa’l-ghayb al-Ghazali, 2018. Hal ini kerana, terdapat hadis yang menyatakan bahawa sesiapa yang bermimpi berjumpa Rasulullah SAW, dia benar-benar melihat Baginda kerana syaitan tidak dapat menyerupai Baginda riwayat al-Bukhari, no. hadis107. Perkara ini dijelaskan dengan ibarat “objek yang berada di hadapan kaca”. Dalam hal tersebut, pemimpi hanya sekadar melihat imej dalam kaca, bukan objek sebenar yang pada hakikatnya “objek” tersebut berada dalam alam al-malakut wa’l-ghayb al-Ghazali, 2005. Perkara ini mempunyai kaitannya dengan peranan imaginasi yang dibincangkan dalam subtopik berikutnya. Jurnal Ulwan Ulwan’s Journal Jilid 4 2019 26-36 31 3. Kekuatan Daya Khayal Dalam petikan sebelum ini, al-Ghazali turut menekankan peranan daya khayal atau imaginasi untuk menanggap perkara yang diperoleh daripada alam al-malakut wa’l-ghayb dalam mimpi. Al-Ghazali meletakkan daya khayal sebagai salah satu daripada lima daya atau deria dalaman iaitu pertama, daya kemunasabahan al-hiss al-mushtarak; kedua, daya penggambaran al-quwwah al-mutasawwirah; ketiga, daya penganggaran al-quwwah al-wahmiyah; keempat, daya pemeliharaan dan ingatan al-quwwah al-hafiẓah wa’dh-dhakirah; dan kelima, daya imaginasi al-quwwah al-mutakhayyilah Mohd Zaidi Ismail, 2002. Dalam pandangan al-Ghazali, daya khayal bertindak sebagai tabir atau skrin antara dua alam iaitu sebagai perantara bagi alam fizikal dengan alam rohani. Oleh sebab itu, daya ini turut bertimbal-balik di antara deria luaran atau pancaindera dengan akal serta keempat-empat daya dalaman yang lain turut terangkum di dalamnya Mohd Zaidi Ismail, 2002. Dalam konteks mimpi, daya imaginasi sentiasa bergerak aktif walaupun seseorang itu sedang tidur. Hal ini sebagaimana yang dihujahkan oleh al-Ghazali 20051890 sebagaimana berikut Terjemahannya “Tidur mencegah pancaindera yang ada daripada bekerja dan ia tidak mencegah khayal daripada pekerjaan dan gerakannya. Maka, apa-apa yang jatuh dalam hati ditangkap oleh daya khayal dan ditirunya dengan contoh yang mendekatinya. Perkara yang dikhayalkan itu lebih tetap dalam daya ingatan berbanding daya-daya lain. Maka, kekallah khayal itu dalam ingatan dan apabila terbangun, nescaya tiada yang diingatinya selain khayal.” Melalui petikan ini, al-Ghazali menunjukkan kekuatan daya imaginasi untuk menyerupai perkara-perkara di alam al-malakut wa’l-ghayb. Walau bagaimanapun, dalam al-Madnun Bihi ala Ghayr Ahlihi, al-Ghazali 2001378 menerangkan kelemahan daya imaginasi ketika dalam mimpi berbanding kekuatannya di alam akhirat dengan petikan berikut Terjemahannya “... dan daya imaginasi mempunyai kudrat untuk mencipta bentuk/imej dalam alam ini, tetapi imej yang dicipta ini dibayangkan dan tidak dirasakan dan tidak dikesan dalam daya penglihatan. Oleh itu, jika adalah baginya mencipta imej yang indah, dengan keindahan yang ketara dan membayangkan kehadirannya dan membayangkan bahawa dia melihatnya, keazamannya tidak begitu dirasai kerana dirinya masih tidak melihatnya sebagaimana dalam tidur. Sekiranya dia mempunyai daya untuk membentuk imej ini, kerana dia mempunyai kuasa untuk membentuknya dalam bentuk yang dibayangkan, maka keazamannya akan menjadi ketara dan imej akan mempunyai status bentuk dengan maujud dari luar. Tidak berbeza alam akhirat daripada alam duniawi dari aspek ini kecuali berdasarkan kesempurnaan kekuatan Pemikiran Kefalsafahan Al-Ghazali Berkaitan Mimpi Mohd Syahmir Alias 32 untuk membentuk gambaran yang dilihat. Semua yang diinginkannya segera hadir kepadanya...” Menurut al-Kutubi 2015, al-Ghazali telah membuat suatu penambahan yang signifikan terhadap teori imaginasi. Beliau menegaskan bahawa pemimpi atau penerima berkeupayaan membentuk dan memprojeksikan bentuk-bentuk yang dikhayalkan sebagai objek di luar minda sama seperti objek-objek yang dirasai dalam alam dunia. Namun, hal ini hanya akan benar-benar diaktualisasikan ketika di alam akhirat, sekali gus beliau menghujahkan bahawa segala-galanya akan mengikut kehendak jiwa yang dirahmati oleh Allah SWT di alam akhirat. 4. Skeptisisme Terhadap Akal Selain itu, mimpi juga menjadi sebab al-Ghazali menjadi skeptikal atau ragu-ragu terhadap pengetahuan yang diperoleh melalui akal. Malah, ia menjadi hujah pengukuhan bahawa akal merupakan sumber pengetahuan yang mempunyai kelemahannya sebagaimana kelemahan deria jasmani apabila dibandingkan dengan akal. Dalam al-Munqidh min ad-Dalal, al-Ghazali 2001580 menjelaskan Terjemahannya “Tidakkah kau lihat, ketika tidur engkau meyakini sesuatu dan membayangkan keadaan tertentu, menyangka semua itu kukuh dan berpanjangan, dan selama mana engkau berada dalam keadaan mimpi itu engkau juga bahkan tidak meraguinya? Tidakkah setelah terjaga, barulah kau sedar perkara yang engkau khayalkan dan percaya itu ternyata tiada asas dan tidak memberi sebarang kesan apa pun. Maka, mengapa engkau rasa begitu yakin dengan kepercayaan-kepercayaan yang engkau dapati ketika waktu sedar, sama ada berasaskan cerapan-pancaindera atau akal, adalah yang sebenar-benarnya?” Menurut Mohd Nasir Mohd Tap 2017, al-Ghazali ingin menolak kekeliruan yang dicetuskan dalam kalangan orang awam, khususnya pengikut ahli falsafah Peripatetik Muslim, yang mempercayai bahawa capaian pengetahuan metafizik melalui akal adalah bersifat a priori sama seperti yang dapat dicapai akal dalam pengetahuan matematik. Oleh itu, al-Ghazali 2001580 mendatangkan hujah “keadaan” atau “halah” untuk membantah kekeliruan tersebut dalam petikan berikut Terjemahannya “Kepercayaan-kepercayaan itu adalah benar dalam keadaanmu sekarang; tetapi adalah mungkin akan datang pula satu keadaan di mana kesedaranmu dalam keadaan berjaga itu boleh disamakan dengan kesedaranmu ketika bermimpi. Berbanding keadaan baru itu, kesedaran dalam jagamu sekarang ini akan menjadi seperti mimpi! Apabila engkau memasuki keadaan itu, Jurnal Ulwan Ulwan’s Journal Jilid 4 2019 26-36 33 engkau akan merasa pasti bahawa semua tanggapan akalmu adalah khayalan kosong.” Dalam tradisi sufi, al-Qusyairi 2017 menjelaskan bahawa seseorang yang dekat dengan Allah SWT boleh mencapai “halah” iaitu satu keadaan seperti kilatan cahaya yang diberikan dalam keadaan sedar untuk seseorang menanggapi dimensi spiritual. Dalam perkataan al-Ghazali 2001 pula, “halah” ialah suatu keadaan seseorang tenggelam dalam dirinya sendiri dan terpisah daripada kawalan deria dan melihat perkara yang berbeza sama sekali daripada tanggapan akal. Perkara ini menjelaskan kewujudan “deria yang lain” yang disebutkan dalam Ihya’ Ulum ad-Din dinyatakan dalam bahagian [a.] sebelum ini yang melangkaui kemampuan akal dalam menanggapi dimensi spiritual. Selain itu, al-Ghazali 2001 juga memetik kata-kata Saidina Ali yang dipetik oleh beliau sebagai hadis iaitu “manusia semuanya sedang tidur, apabila mereka telah mati, barulah mereka sebenarnya terjaga”. Kata-kata ini secara implisitnya menerangkan bahawa manusia pada masa dirinya berjaga sebenarnya sedang mengalami “mimpi yang panjang”, namun apabila dirinya sudah menemui kematian, barulah dirinya tersedar daripada “mimpi yang panjang” tersebut. Oleh itu, “mimpi yang panjang” hanya bersifat sementara jika dibandingkan dengan alam akhirat yang masanya tidak terhingga. Maka, cara untuk terjaga atau “halah” sewaktu “mimpi yang panjang” sebelum kematian yang sebenar itu terdapat dalam tradisi golongan sufi yang sejati dan hal ini membuktikan adanya “deria” yang lebih tinggi berbanding akal pada hemat al-Ghazali 2001. ANALISIS KEFALSAFAHAN TERHADAP PEMIKIRAN AL-GHAZALI BERKAITAN MIMPI Berdasarkan perbincangan sebelum ini, al-Ghazali dilihat membahaskan mimpi secara ekstensif dalam sebahagian daripada karya-karyanya. Beliau dilihat membincangkannya bukan sekadar aspek pentafsiran mimpi, malah menjadikan mimpi sebagai hujah kepada beberapa permasalahan yang ditimbulkan dalam bidang falsafah. Daripada penelitian yang dibuat, dapat dirumuskan bahawa hujah-hujah al-Ghazali berkenaan subjek ini adalah bersifat epistemologiko-ontologikal. Perkara yang dimaksudkan dengan epistemologiko-ontologikal ini ialah pengaruh teori ilmu al-Ghazali dalam memberi kesan terhadap realiti mimpi itu sendiri. Hal ini dibuktikan melalui dua kesimpulan berikut. Pertama, sifat epistemologiko-ontologikal dapat dilihat daripada penerangan al-Ghazali berkenaan peranan mata hati atau al-qalb yang sebenarnya mempersepsikan segala imej di dalam mimpi. Pada hakikatnya, imej-imej tersebut yang ditiru melalui daya imaginasi daripada “maklumat” dari alam al-malakut wa’l-ghayb atau secara lazimnya disebut alam kerohanian. Mimpi, khususnya mimpi yang benar, secara realitinya ialah penanggapan pemimpi melalui mata hatinya terhadap perkara-perkara yang terdapat di alam kerohanian iaitu daripada Lawh al-Mahfuz, namun ia dibatasi oleh daya khayal atau Pemikiran Kefalsafahan Al-Ghazali Berkaitan Mimpi Mohd Syahmir Alias 34 imaginasi. Imaginasi pula pada asasnya memperoleh bentuk-bentuk daripada apa-apa yang pernah ditanggapinya melalui pancaindera. Perkara ini turut dikaitkan dengan alam akhirat di mana mimpi dalam kehidupan sekarang berada di luar batas kawalan manusia, sementara pengalaman di alam akhirat akan dikawal secara sedar oleh penerima Fazlur Rahman, 2005. Hal ini bertepatan dengan penegasan dalam ayat al-Quran berikut Maksudnya “Kamilah penolong-penolong kamu dalam kehidupan dunia dan pada hari akhirat dan kamu akan beroleh pada hari akhirat apa-apa yang diingini oleh nafsu kamu, serta kamu akan beroleh pada hari itu apa-apa yang kamu cita-citakan mendapatkannya.” Fussilat, 4131 Kedua, sifat epistemologiko-ontologikal dapat dikaitkan dengan hujah al-Ghazali yang menghubungkaitkan mimpi atau tidur dengan hakikat kematian yang mana premis awalnya adalah untuk meragukan kekuatan akal. Selain ia diperoleh daripada kata-kata Saidina Ali pada masa yang sama, ia turut berasal daripada dalil-dalil wahyu seperti berikut Maksudnya “Allah mengambil jiwa orang yang sampai ajalnya semasa matinya, dan jiwa orang yang tidak mati semasa tidurnya; maka Dia menahan jiwa orang yang Dia tetapkan kematiannya dan melepaskan kembali jiwa yang lain sehingga sampai ajalnya...” az-Zumar, 3942 Maksudnya “Seseorang bertanya kepada Nabi Allah, katanya Wahai Rasul, apakah penduduk syurga itu tidur?’ Maka Nabi SAW menjawab “Tidur itu saudara kematian, sedangkan penduduk syurga tidak akan mati”. Riwayat at-Tabrani dalam al-Awsat, no. hadis931 Selain daripada hakikat kematian, ia turut berhubung dengan hakikat pada hari akhirat. Sungguhpun al-Ghazali tidak menggunakan hujah mimpi untuk menerangkan mengenai transmigrasi jiwa ke dalam badan yang baharu di alam akhirat, namun hujah ini menjadi asas kepada Sadr ad-Din Shirazi 1572-1640 yang menjelaskan bahawa kehidupan selepas mati ialah peralihan intiqal jiwa daripada jasad di alam dunia kepada “jasad” di alam akhirat Fazlur Rahman, 2005. Perkara ini berpandukan hujah al-Ghazali mengenai pengalaman dipatuk ular. Ketika dipatuk ular, seseorang pemimpi merasa sakit pada “jasadnya”, sedangkan jasadnya yang sebenar tidak mengalami sebarang kesan dipatuk al-Ghazali, 2005. Hal ini menunjukkan bahawa manusia akan dibangkitkan semula dengan “jasad jasmani” yang lain di alam akhirat untuk menerima pembalasan setimpal dengan perbuatan jasadnya ketika di alam dunia. Jurnal Ulwan Ulwan’s Journal Jilid 4 2019 26-36 35 KESIMPULAN Makalah ini secara keseluruhannya telah mencapai tujuannya untuk meneliti hujah-hujah al-Ghazali berkenaan “pengalaman” mimpi. Melalui empat hujah yang dijelaskan dalam makalah ini iaitu mimpi sebagai bukti realiti dalam alam barzakh, mimpi berhubung dengan realiti daripada alam ghaib, mimpi terhasil dengan kekuatan daya khayal dan mimpi menjadi hujah keraguan terhadap akal, dapat disimpulkan bahawa hujah-hujah ini bersifat epistemologiko-ontologikal iaitu teori ilmu al-Ghazali memberi kesan terhadap ontologi atau realiti mimpi itu sendiri. Dengan sifat tersebut, isu kefalsafahan seperti penerima sebenar yang mempersepsi imej dalam alam mimpi dijelaskan oleh al-Ghazali. Begitu juga dengan isu kebangkitan semula jiwa manusia dalam bentuk jasad di alam akhirat, walaupun tidak disebut secara langsung oleh beliau, namun telah dijelaskan melalui perasaan yang dialami dalam sesuatu mimpi. PENGHARGAAN Penghargaan khas ditujukan kepada pihak Universiti Sains Malaysia yang telah membiayai penyelidikan ini melalui Geran Penyelidikan Jangka Pendek, Universiti Sains Malaysia 2018-2020 [304/PHUMANITl/6315177] dalam kajian yang bertajuk Konsep Objektiviti dalam Falsafah Penyelidikan Islam Kajian Pemikiran Al-Biruni dan Sadr ad-Din Shirazi. Makalah ini ialah kajian awal kepada pemikiran Sadr ad-Din Shirazi. BIBLIOGRAFI Al-Quran al-Karim, terj. Abdullah Muhammad Basmeih. 2001. Tafsir Pimpinan Ar-Rahman Kepada Pengertian Al-Qur’an ed. Muhammad Noor Ibrahim. Kuala Lumpur Darul Fikir. Adamson, P. & Pormann, 2012. The philosophical works of al-Kindi. Karachi Oxford University Press. Al-Akili, M. M. 1991. Ibn Seerïn’s Dictionary Of Dreams According To Islamic Inner Traditions. Pennsylvania Pearl Publishing House. Al-Ghazali. 2001. Majmuah rasa’il al-Imam al-Ghazali ed. Ibrahim Amin Muhammad. Kaherah al-Maktabah at-Tawfiqiyyah. Al-Ghazali. 2005. Ihya’ Ulum ad-Din. Beirut Dar Ibn Hazm. Al-Ghazali. 2018. Ciri pemisah antara Islam dan zindik terj. Farhan Affandi & Anwar Yusof. Selangor IBDE Ilham. Al-Kutubi, E. S. 2015. Mullā Ṣadrā and eschatology Evolution of being. New York Routledge. Al-Qusyairi. 2017. Sufi sejati terj. Abu Ezzad al-Mubarak. Selangor Pustaka Jiwa. Amru Khalid. 2012. Belajar seni politik daripada Nabi Yusuf terj. Fuadiridza Talib & Dzulfawati Hassan. Selangor Syabab Book Link. Fazlur Rahman. 1964. Dream, imagination, and ālam al-mithāl. Islamic Studies Islamabad, 32, 167-180. Pemikiran Kefalsafahan Al-Ghazali Berkaitan Mimpi Mohd Syahmir Alias 36 Fazlur Rahman. 2005. The philosophy of Mullā Ṣadrā Ṣadr ad-Dīn Muḥammad Shīrāzī. Lahore Suhail Academy. Green, N. 2003. The religious and cultural roles of dreams and visions in Islam. Journal of the Royal Asiatic Society, 133, 287–313. Ibn Khaldun, Abd al-Rahman. 2005. Al-muqaddimah al-juz’ al-awwal ed. Abd al-Salam al-Syidadi. Morocco Al-Dar al-Bayda’. Ibn Qutaybah, Abd Allah bin Muslim 2001. Kitab tabir ar-ru’ya. Damsyik Dar al-Basha’ir. Ibrahim Kalin. 2010. Knowledge in later Islamic philosophy Mullā Ṣadrā on existence, intellect and intuition. Oxford Oxford University Press. Imran N. Hosein. 2001. Dreams in Islam A window to truth and to the heart. New York Masjid Darul Qur’an. Lidwa Pusaka Ensiklopedi hadits kitab 9 imam versi online. Dicapai daripada Mohd Nasir Mohd Tap. 2017. Abu Hamid al-Ghazzali dan epistemologi pencerahan. Selangor Akademi Kajian Ketamadunan. Mohd Zaidi Ismail. 2002. The sources of knowledge in al-Ghazali’s thought A psychological framework of epistemology. Selangor International Institute of Islamic Thought. ResearchGate has not been able to resolve any citations for this al-KutubiThe book explains Sadra's theory of the nature of afterlife. It presents Sadra's philosophical premises concerning the nature of human beings and their physical and psychological developments through which Sadra shows how the afterlife is intimately connected to the nature of the human being and how it is a natural stage of the evolution of each individual in which a corporeal body has no role. Presenting Mulla Sadra in a new light, the aim of this book is to investigate Sadra's metaphysical principles of the Return al-ma'ad that have been either partially presented or misunderstood in most of the existing secondary literature. Focusing on Sadra's philosophical works, specifically the Asfar and his commentary on the Quran, this study demonstrates how Sadra is a philosopher able to carry the premises of the previous philosophical theories to radically different conclusions. Mulla Sadra and Eschatology demonstrates the manner in which Sadra explains the Return as presented in the Quran and Hadith, but also shows how he presents the Return as a natural stage of the evolution of human beings in which a corporeal body has no role. Thus, Sadra offers a plausible philosophical explanation to the problem of bodily resurrection that had occupied Muslim philosophers for centuries. Explaining Mulla Sadra 's distinctive method of "doing" philosophy, this book will be of interest to students and scholars of Islamic Philosophy, Religion and Islamic Studies more KalinThe 17th-century philosopher Sadr al-Din al-Shirazi, known as Mulla Sadra, attempted to reconcile the three major forms of knowledge in Islamic philosophical discourses revelation Qur'an, demonstration burhan, and gnosis or intuitive knowledge 'irfan. In his grand synthesis, which he calls the "Transcendent Wisdom", Mulla Sadra bases his epistemological considerations on a robust analysis of existence and its modalities. His key claim, that knowledge is a mode of existence, rejects and revises the Kalam definitions of knowledge as relation and as a property of the knower on the one hand, and the Avicennan notions of knowledge as abstraction and representation on the other. For Sadra, all these theories land us in a subjectivist theory of knowledge where the knowing subject is defined as the primary locus of all epistemic claims. To explore the possibilities of a "non-subjectivist" epistemology, Sadra seeks to shift the focus from knowledge as a mental act of representation to knowledge as presence and unveiling. For Sadra, in knowing things, we unveil an aspect of existence and thus engage with the countless modalities and colors of the all-inclusive reality of existence. In such a framework, we give up the subjectivist claims of ownership of meaning. The intrinsic intelligibility of existence strips the knowing subject of its privileged position of being the sole creator of meaning. Instead, meaning and intelligibility are defined as functions of existence to be deciphered and unveiled by the knowing subject. This leads to a redefinition of the relationship between subject and object. Nile GreenSince “visions appear material to spiritual persons only, the vulgar herd of historians and annalists cannot hope to be so favoured by Heaven”. So, in his nineteenth-century account of the sūfīs of Sind, Sir Richard Burton expressed the dilemma of scholars researching Muslim dream and visionary experiences in his characteristic style. But while scholarly discussion of the visionary activities of premodern sūfīs and other Muslims is still no straightforward matter we need no longer be deterred by Burton's sardonic pessimism. Despite the reticence of earlier generations of positivist scholarship, the past two decades have witnessed a flourishing of research into the visionary aspects of Muslim religious and cultural practice, chiefly through the analysis of the extensive literature surrounding the dream and vision in Islam. For, from the very beginning of Islamic history, there has developed a rich and varied discourse on the nature of the imagination and its expression in the form of dreams and waking visions. The theoretical approaches to the imagination developed by early Muslim philosophers and mystical theorists were always accompanied by the activities of a more active sodality of dreamers and vision seekers. For this reason, Islamic tradition is especially rich for its contributions to both theories of the imagination and the description of its expression in dream and visionary experience. The abundant yields from this rich research field in recent years afford new insight into the Muslim past, allowing an often intimate encounter with past individuals and private experiences scarcely granted by the analysis of other kinds of philosophical works of al-KindiP AdamsonP E PormannAdamson, P. & Pormann, 2012. The philosophical works of al-Kindi. Karachi Oxford University Seerïn's Dictionary Of Dreams According To Islamic Inner TraditionsM M Al-AkiliAl-Akili, M. M. 1991. Ibn Seerïn's Dictionary Of Dreams According To Islamic Inner Traditions. Pennsylvania Pearl Publishing pemisah antara Islam dan zindik terj. Farhan Affandi & Anwar Yusof. Selangor IBDE IlhamAl-GhazaliAl-Ghazali. 2018. Ciri pemisah antara Islam dan zindik terj. Farhan Affandi & Anwar Yusof. Selangor IBDE 2017. Sufi sejati terj. Abu Ezzad al-Mubarak. Selangor Pustaka seni politik daripada Nabi Yusuf terj. Fuadiridza Talib & Dzulfawati HassanAmru KhalidAmru Khalid. 2012. Belajar seni politik daripada Nabi Yusuf terj. Fuadiridza Talib & Dzulfawati Hassan. Selangor Syabab Book imagination, and 'ālam al-mithālFazlur RahmanFazlur Rahman. 1964. Dream, imagination, and 'ālam al-mithāl. Islamic Studies Islamabad, 32, philosophy of Mullā Ṣadrā Ṣadr ad-Dīn Muḥammad ShīrāzīFazlur RahmanFazlur Rahman. 2005. The philosophy of Mullā Ṣadrā Ṣadr ad-Dīn Muḥammad Shīrāzī. Lahore Suhail Academy.
G Hakikat manusia menurut Imam Al-Ghazali Secara filosofis, memandang manusia berarti berpikir secara totalitas tentang diri manusia itu sendiri, struktur eksistensinya, hakikat atau esensinya, pengetahuan dan perbuatannya, tujuan hidupnya, dan segi-segi lain yang mendukung, sehingga tampak jelas wujud manusia yang sebenarnya.Pendidikan sebagai upaya untuk membangun sumber daya manusia memerlukan wawasan yang sangat luas. karena pendidikan menyangkut seluruh aspek kehidupan manusia baik dalam pemikiran maupun dalam pengalamannya. Oleh karena itu, pembahasan pendidikan tidak cukup berdasarkan pengalaman saja, melainkan dibutuhkan suatu pemikiran yang luas dan mendalam. Salah satunya adalah Imam Al-Ghazali merupakan seorang pemikir besar, sufi dan praktisi pendidikan di dunia Islam. Dalam kajian ini akan dijelaskan tentang hakikat tujuan pendidikan Islam menurut Imam Al-Ghazali. Penelitian ini merupakan penelitian literatur dengan mengkaji tentang hakikat tujuan pendidikan Islam Perspektif Imam Al-Ghazali. Hasil temuan penelitian menunjukkan bahwa; taqarrub mendekatkan diri kepada Allah adalah tujuan pendidikan Islam yang terpenting. Menguasai ilmu bagi Imam Al-Ghazali adalah sebagai media untuk taqarrub kepada Allah dimana tak satupun bisa sampai kepadanya tanpa ilmu. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free 1 HAKIKAT TUJUAN PENDIDIKAN ISLAM PERSPEKTIF IMAM AL-GHAZALI Mokhamad Ali Musyaffa’musyaffa’ . Abstrak Pendidikan sebagai upaya untuk membangun sumber daya manusia memerlukan wawasan yang sangat luas. karena pendidikan menyangkut seluruh aspek kehidupan manusia baik dalam pemikiran maupun dalam pengalamannya. Oleh karena itu, pembahasan pendidikan tidak cukup berdasarkan pengalaman saja, melainkan dibutuhkan suatu pemikiran yang luas dan mendalam. Salah satunya adalah Imam Al-Ghazali merupakan seorang pemikir besar, sufi dan praktisi pendidikan di dunia Islam. Dalam kajian ini akan dijelaskan tentang hakikat tujuan pendidikan Islam menurut Imam Al-Ghazali. Penelitian ini merupakan penelitian literatur dengan mengkaji tentang hakikat tujuan pendidikan Islam Perspektif Imam Al-Ghazali. Hasil temuan penelitian menunjukkan bahwa; taqarrub mendekatkan diri kepada Allah adalah tujuan pendidikan Islam yang terpenting. Menguasai ilmu bagi Imam Al-Ghazali adalah sebagai media untuk taqarrub kepada Allah dimana tak satupun bisa sampai kepadanya tanpa ilmu. Kata kunci Hakikat, Tujuan Pendidikan Islam, Imam Al-Ghazali. Dosen FAI UNISDA Lamongan 2 PENDAHULUAN Pada dasarnya, tujuan diciptakannya manusia adalah untuk menjadi kholifah Allah dalam melaksanakan kewajibannya sebagai hamba Allah, maka untuk mengembangkan potensi-potensi tersebut perlu adanya proses pendidikan. Pendidikan adalah sebagai alat untuk mengarahkan pertumbuhan dan perkembangan hidup manusia kepada titik optimal yaitu mencapai kebaikan hidup di dunia dan akhirat. Selain itu pendidikan sebagai penggalian dan pengembangan fitrah manusia. Sehingga peserta didik memperoleh kemahiran dan keahlian yang sesuai dengan bakat dan tujuan pendidikan yang diharapkan. Pekerjaan mendidik mengandung makna sebagai proses kegiatan menuju kearah tujuannya. Karena pekerjaan tanpa tujuan yang jelas akan menimbulkan suatu ketidakmenentuan dalam prosesnya. Lebih-lebih pekerjaan mendidik yang bersasaran pada hidup psikologis peserta didik yang masih berada pada taraf perkembangan, maka tujuan merupakan faktor yang paling penting dalam proses pendidikan itu. Pendidikan sebagai upaya untuk membangun sumber daya manusia memerlukan wawasan yang sangat luas. karena pendidikan menyangkut seluruh aspek kehidupan manusia baik dalam pemikiran maupun dalam pengalamannya. Oleh karena itu, pembahasan pendidikan tidak cukup berdasarkan pengalaman saja, melainkan dibutuhkan suatu pemikiran yang luas dan mendalam. Pengkajian filosofis terhadap pendidikan mutlak diperlukan karena kajian semacam ini akan melihat pendidikan dalam suatu realitas yang komprehensif. Cara kerja dan hasil-hasil filsafat dapat dipergunakan untuk membantu memecahkan masalah dalam kehidupan dimana pendidikan merupakan salah satu kebutuhan penting dari kehidupan manusia. Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam II Bandung CV. Pustaka Setia, 1997, 56-57. 3 Pendidikan membutuhkan filsafat karena masalah pendidikan tidak hanya menyangkut pelaksanaan pendidikan semata, yang hanya terbatas pada pengalaman. Dalam pendidikan akan muncul masalah yang lebih luas, kompleks dan lebih mendalam yang tidak terbatas oleh pengalaman inderawi maupun fakta-fakta faktual yang mungkin tidak dapat dijangkau oleh sains pendidikan. Imam Al-Ghazali merupakan seorang pemikir besar, sufi dan praktisi pendidikan di dunia Islam. Beliau terkenal sebagai ahli pikir yang berbeda pendapat dengan kebanyakan ahli pikir muslim yang lain pada masanya. Sehingga beliau juga termasuk tokoh besar filosof muslim yang ikut berkontribusi pada kemajuan yang dicapai di zamannya. Dalam kajian ini akan dijelaskan tentang hakikat tujuan pendidikan Islam menurut Imam Al-Ghazali. METODE PENELITIAN Penelitian ini adalah kajian literatur dengan mengumpulkan berbagai macam literatur, seperti jurnal, buku, dokumen dan literatur lainnya yang berkaitan dengan penelitian yang akan dibahas. Analisis data dalam penelitian ini adalah; Pertama, mengumpulkan literatur yang berkaitan dengan penelitian. Kedua, menelaah literatur yang bersangkutan kemudian menganilisisnya untuk menjawab fokus penelitian. PEMBAHASAN A. Biografi Imam Al-Ghazali Imam Al-Ghazali adalah ulama besar dalam bidang agama, beliau termasuk salah seorang terpenting dalam sejarah pemikiran agama secara keseluruhan. Adapun karya terpentingnya adalah “Ihya’ Ulumiddin” yang sangat fenomenal. Buku lainnya yaitu “Al- Munqidz Min Ad-Dhalal”, dalam buku ini beliau merekam Uyah Sadullah, Pengantar Filsafat Pendidikan Bandung Alfabeta, 2003, 8. 4 perjalanan hidupnya sendiri mengenai pengembaraan ruhaninya. Beliau memiliki pemikiran liberal yang sangat cinta terhadap ilmu pengetahuan dan penyingkapan berbagai hakikat. Selain itu beliau tergolong ulama yang taat berpegang kepada Al-Qur’an dan Sunnah, taat menjalankan agama dan menghias dirinya dengan tasawuf. Beliau banyak mempelajari pengetahuan tentang ilmu kalam, filsafat, fiqih dan tasawuf. Dan juga beliau adalah seorang yang banyak mencurahkan perhatiannya terhadap pendidikan sehingga tidak mengherankan jika beliau memiliki konsep Latar Belakang Keluarga Nama lengkap beliau adalah Muhammad Bin Muhammad, kemudian mendapat gelar Imam Besar Abu Hamid Al-Ghazali Hujjatul Islam yang dilahirkan pada tahun 450 H atau 1050 M, di suatu kampung bernama Ghazalah, Thusia, suatu kota di Khurasan Persia. Beliau keturunan Persia dan mempunyai darah Khurasan, Jibal, Irak, Jazirah, Persia dan Ahiraz. Nama beliau kadang diucapkan Ghazzali dua z artinya tukang pintal benang, karena pekerjaan ayah beliau adalah tukang pintal benang wol, sedangkan yang biasa adalah Ghazali satu z diambil dari kota Ghazalah nama kampung kelahiran beliau adalah seorang miskin yang jujur, hidup dari usaha mandiri, bertenun kain wol dan ia sering kali mengunjungi rumah alim ulama, menuntut ilmu dan berkhidmah kepada mereka. Ia ayah Al-Ghazali sering berdo’a Husayn Ahmad Ainin, Seratus Tokoh Dalam Sejarah Islam Bandung PT. Remaja Rosdakarya, 1997, 177-179. Abudin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, Seri Kajian Filsafat Pendidikan Islam Jakarta PT. Remaja Rosdakarta, 2000, 85. Zainuddin dkk, Seluk Beluk Pendidikan Dari Al-Ghazali Jakarta Bumi Aksara, 1991, 7. Abidin Ibn Rusn, Pemikiran Al-Ghazali Tentang Pendidikan Yogyakarta Pustaka Pelajar, 1998, 9. 5 kepada Allah SWT agar diberikan anak yang pandai dan berilmu. Akan tetapi belum sempat menyaksikan jawaban Allah SWT atas do’anya ia meninggal dunia pada saat putra idamannya masih Al-Ghazali bernama Muhammad dan ia sangat menaruh perhatian pada pendidikan anak-anaknya. Al-Ghazali mempunyai seorang saudara, ayahnya tidak ingin kedua anaknya Ahmad dan Al-Ghazali miskin dari ilmu seperti keadaannya. Oleh karena itu menjelang akhir hayatnya, ia menitipkan kedua anaknya kepada sahabat dekatnya untuk dididik sampai habis harta Latar Belakang Pendidikan Setelah ayah beliau meninggal, Al-Ghazali dan saudaranya dididik oleh sahabat karib ayahnya sampai harta warisan dari ayah Al-Ghazali habis, mereka dinasehati agar meneruskan mencari ilmu semampunya karena tidak ada biaya lagi. Al-Ghazali sejak kecil dikenal sebagai anak pecinta ilmu pengetahuan dan penggandrung mencari kebenaran yang hakiki, sekalipun diterpa duka cita, dilanda aneka rupa nestapa dan dilamun sengsara. Dalam menuntut ilmu beliau selalu berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lainnya, dimasa kanak-kanak beliau belajar pertama di wilayah kelahirannya di Thus, beliau belajar tentang dasar-dasar pengetahuan dan fiqih kepada Syekh Ahmad Bin Muhammad Ar-Radzikani. Kemudian beliau belajar kepada Abi Nashr Al-Ismaili di Jurjani, tentang tasawuf. Dan akhirnya beliau kembali ke Thusia lagi. Diceritakan bahwa dalam perjalanan pulangnya, Zainuddin, Seluk Beluk......, 7. Abidin Ibn Rusn, Pemikiran……..., 10. Fathiyah Hasan Sulaiman, Al-Madzhabul Tarbawi Indal Ghazaly, Sistem Pendidikan Versi Al-Ghazaly Bandung Al-Ma’arif, 1986, 13. Imam Al-Ghazali, Munqidh Minad Ad-Dhalal, Setitik Cahaya Dalam Kegelapan Surabaya Pustaka Progresif, 2001, 109. 6 beliau dan teman-teman seperjalanannya dihadang oleh sekawanan pembegal kemudian merampas harta dan bekal yang mereka bawa. Para pembegal merebut tas Al-Ghazali yang berisi kitab-kitab filsafat dan ilmu pengetahuan yang beliau senangi. Kemudian Al-Ghazali berharap kepada mereka agar sudi mengembalikannya, akhirnya kawanan perampok merasa iba dan kasihan lalu mereka mengembalikan kitab-kitab kepadanya. Setelah peristiwa itu beliau menjadi semakin rajin menghafal dan mempelajari kitab-kitabnya, memahami ilmunya dan berusaha mengamalkannya dan juga menyimpan kitab-kitabnya di suatu tempat yang khusus. Sesudah itu Imam Al-Ghazali pindah ke Nisabur untuk belajar kepada seorang ahli agama kenamaan di masanya, yaitu Al-Juwaini Imam Al-Haramain Wafat tahun 478 H atau 1085 M, dari beliau ini Al-Ghazali belajar ilmu kalam, ilmu ushul dan ilmu pengetahuan agama lainnya. Imam Al-Ghazali memang orang yang sangat cerdas dan sanggup mendebat segala sesuatu yang tidak sesuai dengan penalaran yang jernih hingga Imam Al-Juwaini sempat memberi beliau predikat sebagai orang yang memiliki ilmu yang sangat luas bagaikan “Laut dalam nan menenggelamkan Bahrun Mughriq”. Setelah gurunya meninggal beliau pergi ke Istana Nidzam Al-Mulk, Menteri Nidzam Al-Mulk benar-benar kagum melihat kehebatan, kekayaan ilmu pengetahuan, kefasihan lidah dan kejituan argumentasinya. Akhirnya menteri tersebut mengangkat beliau sebagai guru besar di sana Perguruan Al-Nidzomiyah. Setelah empat tahun, beliau memutuskan untuk berhenti mengajar di Bagdad dan meninggalkan Bagdad untuk menjalani kehidupan Fathiyah Hasan Sulaiman, Al-Madzhabul………………, 14 7 sebagai seorang sufi pada tahun 488 H sambil menunaikan ibadah haji. Ketika itu beliau mengalami keraguan yang timbul dalam dirinya setelah beliau mempelajari ilmu kalam yang diperolehnya dari Al-Juwaini. Beliau ingin mencari kebenaran sejati dan mulai tidak percaya kepada pengetahuan yang diperolehnya melalui panca indra, sebab panca indra menurut beliau seringkali tidak benar. Tasawuflah kemudian yang menghilangkan rasa ragu-ragu dalam dirinya. Setelah itu beliau pergi ke Syam dan tinggal di sana sebagai seorang zahid hidup serba ibadah dan mengembara ke berbagai padang pasir melatih diri mendalami masalah kerohanian dan penghayatan agama. Di Syam beliau menulis kitab Ihya’ Ulumuddin, setelah itu beliau pindah ke Baitul Maqdis. Kemudian beliau kembali ke Bagdad kemudian menuju ke daerah asalnya yaitu Khurosan. Di Khurosan beliau mengajar di Madrasah Al-Nidzamiyah di Naisabur dan juga mengajar di Madrasah Al-Fuqoha. Selain itu beliau juga menjadi Imam ahli agama dan membimbing jama’ah kajian tasawuf serta penasehat spesialis dalam bidang agama. Sekembalinya Imam Al-Ghazali ke Bagdad sekitar sepuluh tahun beliau pindah ke Naisabur dan di sana beliau sibuk mengajar dalam waktu yang tidak lama. Setelah itu beliau meninggal dunia di kota Thusia, kota kelahirannya pada tahun 505 H atau 1111 M. B. Hakikat Tujuan Pendidikan Islam Perspektif Imam Al-Ghazali Imam Al-Ghazali, Pembuka dan Penerang, Kitab Asli Tanbih Al-Mughtarrin Bandung PT. Al-Ma’arif, 2001, 20. Imam Al-Ghazali, Munqidh....., 177. 8 Imam Al-Ghazali adalah seorang filosof yang agung dan juga seorang ahli pendidikan yang menonjol. Dalam dua bidang kemampuan tersebut beliau sungguh genius. Dengan menerapkan filsafat kepada pendidikan dan menyuntikkan pendidikan ke dalam filsafat, beliau membuat keduanya sebagai dua disiplin yang tidak dapat dielakkan oleh guru dan muridnya. Walaupun filsafat dan tasawufnya mempengaruhi pandangannya terhadap nilai-nilai kehidupan yang mengarahkan pada kebahagiaan akhirat. Namun Imam Ghazali tidak melalaikan ilmu pengetahuan yang seyogyanya dipelajari lantaran ilmu itu memiliki keistimewaan dan kebagusan. Beliau mengatakan “Ilmu itu adalah keutamaan pada dzatnya secara mutlak tanpa dibandingkan karena ilmu itu adalah sifat kesempurnaan Allah Yang Maha Suci. Dan dengan ilmu malaikat dan para nabi menjadi mulia”. Atas dasar itulah beliau menganggap bahwa mendapatkan ilmu itu menjadi target pendidikan. Karena nilai yang terkandung dalam ilmu itu sendiri dan manusia dapat memperoleh kelezatan dan kepuasan yang ada padanya. Selanjutnya beliau berkata “Apabila kamu memandang kepada ilmu maka kamu melihat lezat pada dzatnya. Jadi ilmu itu di cari karena dzatnya, dan kamu mempelajari ilmu sebagai perantara ke perkampungan akhirat, menuju kebahagiaan akhirat dan jalan mendekatkan diri kepada Allah SWT. Dan tidaklah sampai kepadanya kecuali dengan ilmu. Sebesar-besar tingkat sesuatu adalah sesuatu yang menjadi perantaraan kepadanya. Dan tidak akan sampai kepadanya kecuali dengan amal. Dan tidak akan sampai kepada amal kecuali dengan ilmu Shafique Ali Khan, Filsafat Pendidikan Al-Ghazali Bandung CV. Pustaka Setia, 2005, 128. Imam Al-Ghazali, Ihya’ Ulumiddin, Jilid I, Alih bahasa Moh. Zuhri Semarang CV. Asy-Syifa’, 1993, 41. Fathiyah Hasan Sulaiman, Al-Madzhabul………………, 25. 9 tentang cara mengamalkan. Pangkal kebahagiaan di dunia dan akhirat adalah ilmu, oleh karena itu mencari ilmu adalah seutama-utamanya amal”. Demikian Imam Al-Ghazali sangat memperhatikan kehidupan dunia dan akhirat sekaligus, sehingga tercipta kebahagiaan bersama di dunia dan akhirat. Selanjutnya beliau juga mengatakan “Manusia itu tergabung dalam agama dan dunia, agama tidak teratur kecuali dengan teraturnya dunia karena sesungguhnya dunia itu adalah ladang akhirat. Dunia adalah alat yang menyampaikan kepada Allah SWT. bagi yang mengambilnya sebagai tempat menetap dan tanah air”. Seiring dengan kepribadiannya, beliau tidak memperhatikan kehidupan dunia semata-mata atau kehidupan akhirat semata-mata, tetapi beliau menganjurkan untuk berusaha dan bekerja bagi keduanya tanpa meremehkan salah satunya. Jadi pendidikan yang diharapkan bagi masyarakat muslim khususnya menurut Imam Al-Ghazali tidak sempit dan tidak terbatas bagi kehidupan dunia atau akhirat semata-mata, tetapi harus mencakup keduanya. Akan tetapi kesenangan dan kebahagiaan di dunia adalah sarana untuk mencapai kebahagiaan akhirat, karena kebahagiaan dunia bersifat sementara. Jadi kebahagiaan di dunia merupakan tujuan sementara yang harus dicapai untuk menuju tujuan yang lebih tinggi yaitu mendekatkan diri kepada Allah SWT. dalam rangka mencapai kebahagiaan akhirat. Berangkat dari uraian diatas, Imam Al-Ghazali merumuskan bahwa tujuan pendidikan secara umum adalah untuk menyempurnakan manusia. Yakni manusia yang hidup bahagia di dunia pendidikan yang dirumuskan Al-Ghazali didasari oleh pemikirannya tentang manusia. Menurutnya manusia terdiri atas dua unsur jasad dan ruh jiwa, keduanya mempunyai sifat yang berbeda Imam Al-Ghazali, Ihya’………………., 42. Zainuddin, Seluk Beluk..........., 46. Imam Al-Ghazali, Ihya’………………., 42. 10 tetapi saling mengikat artinya berbeda dalam sifat tetapi sama dalam tindakan. Jasad tidak akan dapat bergerak tanpa ruh atau jiwa. Begitu pula jiwa atau ruh tidak akan mampu bertindak melaksanakan kehendak Sang Maha Penggerak kecuali dengan adanya jasad. Sehingga walau jasad terpisah untuk sementara waktu dengan kematian, kelak akan dibangkitkan dan menyatu kembali untuk menerima balasan atas tindakan yang dilakukan keduanya ketika hidup di dunia. Menurut Abidin Ibn Rusn dalam bukunya “Pemikiran Al-Ghazali Tentang Pendidikan” bahwa pendidikan menurut Imam Ghazali adalah proses memanusiakan sejak masa kejadiannya sampai akhir hayatnya melalui berbagai ilmu pengetahuan yang disampaikan dalam bentuk pengajaran secara bertahap, dimana proses pengajaran itu menjadi tanggung jawab orang tua dan masyarakat menuju pendekatan diri kepada Allah sehingga menjadi manusia sempurna. Menurut Al-Ghazali, pendidikan dalam prosesnya haruslah mengarah kepada pendekatan diri kepada Allah dan kesempurnaan insani, mengarahkan manusia untuk mencapai tujuan hidupnya yaitu bahagia di dunia dan di akhirat. Pendekatan diri kepada Allah merupakan tujuan pendidikan. Orang dapat mendekatkan diri kepada Allah setelah memperoleh ilmu pengetahuan itu sendiri dan ilmu itu tidak dapat diperoleh manusia kecuali setelah melalui pengajaran. Dan dengan ilmu yang diperoleh, maka manusia akan dapat menggali dan mengembangkan potensinya sehingga dapat diraihnya profesi manusia sesuai dengan bakat dan kemampuannya. Syarat untuk mencapai tujuan itu, manusia harus mampu untuk mengembangkan ilmu pengetahuan baik yang termasuk fardhu ain maupun fardhu kifayah. Oleh karena itu, pengiriman para pelajar dan mahasiswa ke negara lain untuk memperoleh spesifikasi ilmu-ilmu kealaman demi kemajuan Negara tersebut, menurut konsep ini tepat sekali. Sebagai implikasi dari Abidin Ibn Rusn, Pemikiran………...., 56. 11 tujuan pendidikan, umat Islam dalam menuntut ilmu untuk menegakkan urusan keduniaan atau melaksanakan tugas-tugas keakhiratan tidak harus dan tidak terbatas kepada negara-negara Islam, akan tetapi boleh dimana saja bahkan di negara anti Islam sekalipun. Dengan menguasai ilmu-ilmu fardhu kifayah selanjutnya manusia dapat menguasai profesi-profesi tertentu kedokteran, pertanian, perusahaan dan manusia dapat melaksanakan tugas-tugas keduniaan dan dapat bekerja dengan sebaik-baiknya. Maka dalam tujuan-tujuan pendidikan ini diharapkan dapat terwujudnya kemampuan manusia yang dapat melaksanakan tugas-tugas keduniaan dengan baik. Ilmu itu untuk diamalkan karena hal itu merupakan langkah awal seseorang dalam belajar guna untuk mensucikan jiwa dari kerendahan budi dan sifat-sifat tercela, dan motivasi pertama adalah untuk menghidupkan syari’at dan misi bukan untuk mencari kemegahan duniawi. Mengejar pangkat atau popularitas. Imam Al-Ghazali berkata “Barang siapa mengetahui, mengamalkan dan mengajarkan ilmunya maka dialah orang yang disebut sebagai orang besar di kerajaan langit. Ia seperti matahari yang menerangi kepada lainnya dan ia menerangi pada dirinya. Dan seperti minyak kasturi yang mengharumi lainnya sedangkan ia sendiri harum. Sedangkan orang yang mengetahui dan tidak mengamalkannya adalah seperti buku yang memberi faidah kepada lainnya padahal ia sendiri kosong dari ilmu”. Jadi sumber kebahagiaan di dunia dan akhirat adalah ilmu yang diamalkan. Menurut Imam Al-Ghazali bahwa ilmu itu dikaitkan dengan ma’rifat artinya pengetahuan atau pengenalan manusia terhadap Tuhannya dengan mata batin Imam Al-Ghazali, Ihya’........, Jilid 1, 170. 12 kemudian merefleksikannya dalam seluruh tingkah laku yang bernilai penghambaan kepada-Nya. Selain itu Al-Ghazali melihat ma’rifat sebagai upaya untuk mengenal dan mengetahui dengan sebenar-benarnya dan penuh keyakinan bahwa hanya Allah-lah yang berhak disembah. Karena Dia-lah yang Maha Agung dan Maha Kuasa. Beliau juga memandang bahwa dunia ini hanyalah padang pengembaraan menuju tempat kembali yakni akhirat. Jadi dunia ini bukan merupakan hal pokok, tidak abadi akan rusak, dunia hanya tempat lewat sementara, tidak kekal dan maut senantiasa mengintai setiap manusia. Dan sebagai sarana untuk meraih kebahagiaan hidup akhirat yang utama dan abadi adalah dunia dengan mencari kebahagiaan akhirat yang merupakan sarana untuk mengantarkan makhluknya kepada Allah SWT. bagi orang yang mengambil dunia sebagai tempat tinggal permanen bukan tempat tinggal yang abadi. Ini menunjukkan bahwa tujuan pendidikan tidak sama sekali menistakan dunia, melainkan dunia itu hanya sebagai alat sarana. Hal ini berdasarkan firman Allah SWT. surat Al-Hadid ayat 20 Artinya “ Kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu”. Tujuan pendidikan yang diinginkan adalah untuk mendapatkan keridhaan-Nya, karena agama merupakan sistem kehidupan yang menitikberatkan pada pengamalan akhirat. Manusia dapat mendekatkan diri kepada Allah SWT. dengan melaksanakan ibadah wajib dan ibadah sunnah, disamping itu juga manusia harus senantiasa mengkaji ilmu-ilmu fardhu ain dan apabila manusia hanya menekuni M. Solihin, Epistimologi Ilmu Dalam Sudut Pandang Al-Ghazali Bandung CV. Pustaka Setia, 2001, 34. Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahnya Semarang Al-Waah, 1993, 903. 13 ilmu fardhu kifayah saja, maka orang tersebut tidak semakin dekat kepada Allah bahkan semakin jauh dari-Nya. Dan hal ini dapat dinyatakan bahwa semakin lama seorang duduk di bangku pendidikan semakin bertambah ilmu pengetahuannya, maka semakin mendekat kepada Allah SWT. Manusia dapat mencapai kesempurnaan lantaran usahanya mengamalkan fadhilah keutamaan melalui pengetahuan, dimana sumber kebahagiaan di dunia dan di akhirat adalah ilmu yang diamalkan untuk kebahagiaan di dunia dan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. akibatnya dengan fadhilah ini manusia dapat meraih kebahagiaan di akhirat. Berangkat dari uraian diatas dapat diketahui bahwa tujuan pendidikan secara umum menurut Imam Al-Ghazali adalah sebagai berikut 1. Mendekatkan diri kepada Allah SWT, yang wujudnya adalah kemampuan dan kesadaran diri melaksanakan ibadah wajib dan sunah. 2. Menggali dan mengembangkan potensi atau fitrah manusia. 3. Mewujudkan profesionalisasi manusia untuk mengemban tugas keduniaan dengan sebaik-baiknya. 4. Membentuk manusia yang berakhlak mulia, suci jiwanya dari kerendahan budi dan sifat-sifat Mengembangkan sifat-sifat manusia yang utama sehingga menjadi manusia yang manusiawi. Abidin Ibn Rusn, Pemikiran………....,58. Fathiyah Hasan Sulaiman, Al-Madzhabul………………, 25. Abidin Ibn Rusn, Pemikiran………....,60. 14 KESIMPULAN Dari hasil studi terhadap pemikiran Imam Al-Ghazali dapat diketahui dengan jelas bahwa taqarrub mendekatkan diri kepada Allah adalah tujuan pendidikan Islam yang terpenting. Meskipun demikian, beliau tidak mengesampingkan masalah-masalah duniawi, karenanya beliau masih memberi ruang dalam system pendidikannya bagi perkembangan ilmu duniawi. Dalam pandangannya, mempersiapkan diri untuk masalah-masalah dunia itu hanya dimaksudkan sebagai jalan menuju hidup di akhirat yang lebih utama dan kekal. Menguasai ilmu bagi Imam Al-Ghazali adalah sebagai media untuk taqarrub kepada Allah dimana tak satupun bisa sampai kepadanya tanpa ilmu. Tingkat termulia bagi seorang manusia adalah kebahagiaan yang abadi, diantara wujud yang paling utama adalah wujud yang menjadi perantara kebahagiaan, sedangkan kebahagiaan itu tak mungkin tercapai kecuali dengan ilmu dan amal, dan amal tak mungkin dicapai kecuali jika ilmu tentang cara beramal dikuasai. Dengan demikian, maka modal kebahagiaan di dunia dan akhirat tak lain adalah ilmu. 15 DAFTAR PUSTAKA Ainin, Husayn Ahmad, Seratus Tokoh Dalam Sejarah Islam, Bandung PT. Remaja Rosdakarya, 1997. Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Semarang Al-Waah, 1993. Al-Ghazali, Imam, Ihya’ Ulumiddin, Jilid I, Alih bahasa Moh. Zuhri, Semarang CV. Asy-Syifa’, 1993. Al-Ghazali, Imam, Munqidh Minad Ad-Dhalal, Setitik Cahaya Dalam Kegelapan Surabaya Pustaka Progresif, 2001. Al-Ghazali, Imam, Pembuka dan Penerang, Kitab Asli Tanbih Al-Mughtarrin, Bandung PT. Al-Ma’arif, 2001. Khan, Shafique Ali, Filsafat Pendidikan Al-Ghazali, Bandung CV. Pustaka Setia, 2005. Nata, Abudin, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, Seri Kajian Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta PT. Remaja Rosdakarta, 2000. Rusn, Abidin Ibn, Pemikiran Al-Ghazali Tentang Pendidikan, Yogyakarta Pustaka Pelajar, 1998. Sadullah, Uyah, Pengantar Filsafat Pendidikan, Bandung Alfabeta, 2003. Solihin, M., Epistimologi Ilmu Dalam Sudut Pandang Al-Ghazali, Bandung CV. Pustaka Setia, 2001. Sulaiman, Fathiyah Hasan, Al-Madzhabul Tarbawi Indal Ghazaly, Sistem Pendidikan Versi Al-Ghazaly, Bandung Al-Ma’arif, 1986. Uhbiyati, Nur, Ilmu Pendidikan Islam II, Bandung CV. Pustaka Setia, 1997. Zainuddin dkk, Seluk Beluk Pendidikan Dari Al-Ghazali, Jakarta Bumi Aksara, 1991. . Ali ImronAri Saidul MujazinMoral education plays an important role in forming superior human beings. This paper aims to describe the moral values contained in poetry or Geguritan "Nurani Peduli" by Handoyo Wibowo and look at the process of internalizing these moral values in students of the Baitul Huda Islamic elementary school Semarang city through the Javanese language course. In addition, this paper also aims to see the implications of internalizing these moral values for students. This paper uses a qualitative-phenomenological type of research that uses students, teachers, and school principals as research subjects. Based on the results of the study it was concluded that First, the moral values contained in geguritan include harmony, wisdom, humility, awareness, and development of taste. Second, the internalization process is carried out in three stages, namely the information stage by providing material on the moral values contained in Geguritan "Nurani Peduli", the appreciation stage through direction and guidance and exemplary students, and the value application stage by providing motivation and encouragement to students to apply good grades in the form of actions. Third, the implications of internalization can be seen from three aspects, namely cognitive, affective, and psychomotor. Characterized by the integration of learning materials with an attitude of empathy, awareness, tolerance, and a sense of responsibility in social AininAhmadAinin, Husayn Ahmad, Seratus Tokoh Dalam Sejarah Islam, Bandung PT. Remaja Rosdakarya, ImamDan PenerangAl-Ghazali, Imam, Pembuka dan Penerang, Kitab Asli Tanbih Al-Mughtarrin, Bandung PT. Al-Ma'arif, Ilmu Dalam Sudut Pandang Al-GhazaliM SolihinSolihin, M., Epistimologi Ilmu Dalam Sudut Pandang Al-Ghazali, Bandung CV. Pustaka Setia, 2001.GqvVC.